KATA PENGANTAR
Alhamdullilah puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. Karena atas
rahmatnya kami dapat menyelesaikan tugas kelompok mata kuliah ASWAJA
yang berjudul “ Sejarah ahlussunnah wal jama’ah.”
Dalam penyelesaian makalah ini penulis banyak mendapatkan bantuan dan
bimbingan dari berbagai pihak, untuk itu melalui kata pengantar ini penulis
mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan makalah ini dan tidak lupa pula
penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen mata kuliah Aswaja.
Sebagi bantuan
dan dorongan serta bimbingan yang telah diberikan kepada penulis dapat diterima
menjadi amal saleh dan diterima Allah SWT. Semoga maklah ini bermanfaat bagi
penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya .
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
belakang Masalah
Islam masuk ke Indonesia sejak zaman Khulafaur
Rasyidin tepatnya pada masa Khalifah Utsman bin Affan. Penyebaran Islam di
Indonesia masuk melalui dua jalur utama yaitu Jalur Selatan yang bermadzhab
Syafi’i (Arab, Yaman, India, Pakistan, Bangladesh, Malaka, Indonesia) dan Jalur
Utara (Jalur Sutara) yang bermadzhab Hanafi (Turki, persia, Kazakhstan,
Uzbekistan, Afganistan, Cina, Malaka, Indonesia). Penyebaran Islam semakin
berhasil, khususnya di Pulau Jawa sejak abad ke-13 oleh Wali Sanga. Dari murid
– murid Wali Sanga inilah kemudian secara turun – temurun menghasilkan Ulama –
ulama besar di wilayah Nusantara seperti Syaikhuna Khoil Bangkalan (Madura),
Syaikh Arsyad Al Banjari (Banjar, Kalimantan, Syaikh Yusuf Sulawesi, dan lain –
lain.
Telaah terhadap Ahlussunnah Wal Jama’ah ( Aswaja )
sebagai bagaian dari kajian keislaman –merupakan upaya yang mendudukkan aswaja
secara proporsional, bukannya semata-mata untuk mempertahankan sebuah aliran
atau golongan tertentu yang mungkin secara subyektif kita anggap baik karena
rumusan dan konsep pemikiran teologis yang diformulasikan oleh suatu aliran,
sangat dipengaruhi oleh suatu problem teologis pada masanya dan mempunyai sifat
dan aktualisasinya tertentu.
Pemaksaan suatu aliran tertentu yang pernah berkembang
di era tertentu untuk kita yakini, sama halnya dengan aliran teologi sebagai
dogma dan sekaligus mensucikan pemikiran keagamaan tertentu. Padahal aliran
teologi merupakan fenomena sejarah yang senantiasa membutuhkan interpretasi
sesuai dengan konteks zaman yang melingkupinya. Jika hal ini mampu kita
antisipasi berarti kita telah memelihara kemerdekaan (hurriyah); yakni
kebebasan berfikir (hurriyah al-ra’yi), kebebasan berusaha dan berinisiatif
(hurriyah al-irodah) serta kebebasan berkiprah dan beraktivitas (hurriyah
al-harokah).
Selama kurun waktu berdirinya (1926) hingga sekitar
tahun 1994, pengertian Aswaja tersebut bertahan di tubuh Nahdlatul Ulama. Baru
pada sekitar pertengahan dekade 1990 tersebut, muncul gugatan yang
mempertanyakan, tepatkah Aswaja dianut sebagai madzhab, atau lebih tepat
dipergunakan dengan cara lain?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ahlusssunnah Wal Jamaah
Ahlussunnah Wal-Jama'ah
adalah istilah bagi kelompok umat Islam yang dijamin keselamatannya di akhirat
oleh Rasulullah . Istilah Ahlussunnah
Wal-Jama'ah ini menjadi rebutan semua kalangan. Setiap kelompok
mengklaim dirinya sebagai Ahlussunnah
Wal-Jama'ah, sementara kelompok yang lain dianggap sebagai golongan ahli
bid'ah yang tersesat dan tidak akan selamat kelak di akhirat. Tidak jarang pula
di antara kelompok tersebut menggunakan istilah Ahlussunnah Wal-Jama'ah untuk kepentingan sesaat. Oleh karena
itu sebelum menguraikan sejarah Ahlussunnah
Wal-Jama'ah, perlu kiranya memberikan penjelasan tuntas tentang definisi
dan hakikat Ahlussunnah Wal-Jama'ah
secara ilmiah dan akademis, agar diketahui apa sebenarnya Ahlussunnah Wal-Jama'ah, sehingga
nantinya dapat diketahui pula
siapa sebenarnya Ahlussunnah
Wal-Jama'ah.
Secara kebahasaan, Ahlussunnah
Wal-Jama’ah adalah istilah yang tersusun dari tiga kata:
Pertama, kata Ahl, berarti keluarga, pengikut atau golongan.
Kedua, kata al-sunnah, yang
memiliki dua arti kemungkinan;
Pertama yaitu segala sesuatu
yang telah diajarkan oleh Nabi , baik melalui perbuatan, ucapan dan pengakuan
Nabi ,[1]
dan
Kedua yaitu al-thariqah
(jalan dan jejak), maksudnya Ahlussunnah
Wal-Jama'ah itu mengikuti jalan dan jejak para sahabat Nabi dan tabi'in dalam memahami teks-teks
keagamaan dan mengamalkan ajaran agama.[2]
Ketiga, kata al-jama’ah, yang secara kebahasaan
dapat diartikan dengan sejumlah besar orang-orang yang menjalin dan menjaga
kebersamaan dalam mencapai suatu tujuan yang sama, sebagai kebalikan dari al-firqah (orang-orang yang
memisahkan diri dari golongannya). Dalam beberapa hadits shahih, Nabi menyebut
kelompok yang selamat dengan nama al-jama'ah.
Seperti dalam hadits:
عَنْ
مُعَاوِيَةَ بْنِ أَبِي سُفْيَانَ t أَنَّ رَسُولَ اللهِ e قَالَ: أَلاَ إِنَّ مَنْ قَبْلَكُمْ مِنْ
أَهْلِ الْكِتَابِ افْتَرَقُوا عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً، وَإِنَّ
هَذِهِ الْمِلَّةَ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِينَ، ثِنْتَانِ وَسَبْعُونَ
فِي النَّارِ، وَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ، وَهِيَ الْجَمَاعَةُ. (رواه أبو داود (3981)، والدارمي (2/241) وأحمد (16329)،
والحاكم (407) والآجري في " الشريعة " (18)، وابن بطة في الإبانة (277)،
وابن أبي عاصم في السنة (2)، واللالكائي في " شرح السنة " (130). وصححه
الحاكم، ووافقه الحافظ الذهبي. وقال الحافظ ابن حجر في " تخريج الكشاف "
(ص/63): " و إسناده حسن " .
"Dari Mu'awiyah bin Abi Sufyan , bahwa Rasulullah bersabda: "Sesungguhnya orang sebelum kamu
dari pengikut Ahlil-kitab terpecah belah menjdi tujuh puluh dua golongan. Dan
umat ini akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan, tujuh puluh dua
golongan akan masuk ke neraka, dan satu golongan yang akan masuk surga, yaitu
golongan al-jama'ah"[3]
Dalam hadits lain, Rasulullah J juga bersabda:
وَعَنْ
عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ t
قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ e:
« مَنْ أَرَادَ بُحْبُوْحَةَ الْجَنَّةِ فَلْيَلْزَمِ الْجَمَاعَةَ، فَإِنَّ
الشَّيْطَانَ مَعَ الْوَاحِدِ، وَهُوَ مِنَ اْلاِثْنَيْنِ أَبْعَدُ». (رواه
الترمذي (2091)، والنسائي في الكبرى (9219)، وأحمد (172) وقال الترمذي: هذا حديث
حسن صحيح، وصححه الحاكم : (356).
"Dari Umar bin al-Khaththab, berkata: "Rasulullah bersabda: "Barangsiapa yang menginginkan
tempat yang lapang di surga, maka ikutilah ajaran al-jama'ah. Karena
syetan itu bersama orang yang sendirian. Dan syetan akan lebih jauh dari dua
orang."[4]
Dalam segi terminologis, ada lima pendapat tentang makna yang menjadi
maksud kata al-jama'ah dalam
istilah Ahlussunnah Wal-Jama'ah.
Pertama, maksud kata al-jama'ah
dalam istilah tersebut ialah al-sawad
al-a'zham (kelompok mayoritas) di antara kaum Muslimin. Hal ini
didasarkan pada hadits:
عَنْ
أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ t
يَقُولُ، سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ e يَقُولُ: إِنَّ أُمَّتِيْ لاَ تَجْتَمِعُ عَلَى
ضَلاَلَةٍ، فَإِذَا رَأَيْتُمْ اِخْتِلاَفًا فَعَلَيْكُمْ بِالسَّوَادِ
اْلأَعْظَمِ. رواه ابن ماجه (3950)، وعبد بن حميد في مسنده (1220)، والطبراني في
مسند الشاميين (2069)، واللالكائي في اعتقاد أهل السنة (153)، وأبو نعيم في الحلية
(9/238)، وصححه الحافظ السيوطي في الجامع الصغير (1/88).
"Dari Anas bin Malik , berkata: "Aku mendengar
Rasulullah bersabda: "Sesungguhnya
umatku tidak akan bersepakat pada kesesatan. Oleh
karena itu, apabila kalian melihat terjadinya perselisihan, maka ikutilah
kelompok mayoritas.[5]
Dalam hadits ini, Nabi menerangkan
bahwa umat Islam tidak akan bersepakat (berijma') pada suatu kesesatan. Hukum
yang menjadi kesepakatan di antara mereka, dapat dipastikan kebenarannya dan
tidak akan tersesat dari jalan kebenaran. Namun manakala terjadi perbedaan
pendapat di kalangan umat Islam, Nabi memerintahkan kita agar mengikuti
kelompok mayoritas, karena kelompok mayoritaslah yang akan mengikuti jalan
kebenaran dan keselamatan. Oleh karena itu, tepat sekali apabila menafsirkan
kata al-jama'ah yang harus
diikuti oleh kaum Muslimin ketika terjadi perpecahan di kalangan mereka dengan
makna al-sawad al-a'zham
(kelompok mayoritas).
Kedua, maksud kata al-jama'ah
dalam istilah tersebut ialah para sahabat Nabi . Hal ini didasarkan pada
hadits:
عَنْ
عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرٍو t
قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ e "إِنَّ بَنِي إِسْرَائِيلَ تَفَرَّقَتْ
عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلاَثٍ
وَسَبْعِينَ مِلَّةً كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلاَّ مِلَّةً وَاحِدَةً قَالُوا
وَمَنْ هِيَ يَا رَسُولَ اللهِ قَالَ مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي".
(رواه الترمذي (2565) وقال: هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ ).
"Dari Abdullah
bin Amr, bekata: "Rasulullah bersabda: "Sesungguhnya umat Bani Isra'il
terpecah belah menjadi tujuh puluh dua golongan. Dan umatku akan terpecah belah
menjadi tujuh puluh tiga golongan, semuanya akan masuk neraka kecuali satu
golongan yang akan selamat." Para sahabat bertanya:
"Siapa satu golongan yang selamat itu wahai Rasulullah?" Beliau
menjawab: "Golongan yang mengikuti ajaranku dan ajaran sahabatku."[6]
Dalam hadits ini, Nabi menjelaskan
bahwa di antara tujuh puluh tiga kelompok yang berpecah belah di antara
umatnya, hanya satu kelompok yang akan selamat, yaitu kelompok yang setia
mengikuti ajaran Nabi dan ajaran
sahabatnya. Substansi hadits ini tepat untuk menafsirkan kata al-jama'ah yang harus diikuti oleh
kaum Muslimin ketika terjadi perpecahan di antara mereka, dengan generasi sahabat
Nabi , karena kelompok yang selamat adalah kelompok yang mengikuti ajaran
Nabi dan sahabatnya.
Ketiga, maksud kata al-jama'ah dalam istilah tersebut
ialah para ulama yang mencapai tingkatan mujtahid. Hal ini didasarkan pada
kenyataan bahwa kaum Muslimin harus mengikuti pendapat para ulama yang mencapai
tingkatan mujtahid dalam memahami teks-teks keagamaan dan dalam melaksanakan
ajaran-ajaran agama. Keempat,
maksud kata al-jama'ah dalam
istilah tersebut ialah kesepakatan kaum Muslimin terhadap suatu hukum
keagamaan. Dan secara eksplisit, pendapat ini menyatakan bahwa kata al-jama'ah yang dijamin sebagai
kelompok selamat oleh Nabi dalam hadits-hadits shahih adalah kelompok yang
menjadikan ijma' (kesepakatan para mujtahid) sebagai salah satu dasar pengambilan
hukum agama. Dan kelima,
sekelompok kaum Muslimin apabila bersepakat pada kepemimpinan seseorang.
Beberapa pendapat yang berbeda tersebut apabila diperhatikan dengan cermat,
sebenarnya kembali dan bermuara pada arti dan maksud yang sama.[7]
Hal ini dapat kita lihat dengan memperhatikan hubungan pendapat yang satu
dengan pendapat yang lainnya. Misalnya antara pendapat pertama yang mengatakan
bahwa maksud kata al-jama'ah
dalam istilah Ahlussunnah Wal-Jama'ah
di atas adalah mayoritas kaum Muslimin (al-sawad
al-a'zham), jika dihubungkan dengan pendapat kedua yang mengatakan bahwa
kata al-jama'ah dalam istilah
tersebut adalah kelompok para sahabat Nabi . Antara keduanya tidak ada
perbedaan secara substansial, karena secara riil, mayoritas kaum Muslimin
hingga saat ini masih mengikuti ajaran para sahabat Nabi . Demikian pula jika
pendapat tersebut kita hubungkan dengan pendapat-pendapat lainnya. Kita dapati
bahwa mayoritas kaum Muslimin secara riil masih mengikuti pendapat dan
metodologi para ulama mujtahid dalam memahami teks-teks keagamaan dan
mengamalkan ajaran-ajaran agama, dalam menerima ijma' (konsensus) sebagai salah
satu dalil dalam pengambilan hukum agama, dan dalam menerima seorang pemimpin
yang sesuai dengan ajaran Nabi dan
sahabatnya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kelima pendapat tersebut pada dasarnya
hanya berbeda secara verbal, tidak secara substansial.[8]
Menurut Imam Asy’ari, Ahlusssunnah Wal Jamaah adalah golongan yang
berpegang teguh kepada al-Qur’an, hadis, dan apa yang diriwayatkan sahabat,
tabi’in, imam-imam hadis, dan apa yang disampaikan oleh Abu Abdillah Ahmad ibn
Muhammad ibn Hanbal.[9]
Menurut KH. M. Hasyim Asy’ari, Ahlusssunnah Wal Jamaah adalah
golongan yang berpegang teguh kepada sunnah Nabi, para sahabat, dan mengikuti
warisan para wali dan ulama. Secara spesifik, Ahlusssunnah Wal Jamaah yang
berkembang di Jawa adalah mereka yang dalam fikih mengikuti Imam Syafi’i, dalam
akidah mengikuti Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari, dan dalam tasawuf mengikuti Imam
al-Ghazali dan Imam Abu al-Hasan al-Syadzili.[10] Menurut Muhammad Khalifah
al-Tamimy, Ahlusssunnah Wal Jamaah adalah para sahabat, tabiin, tabiit tabi’in
dan siapa saja yang berjalan menurut pendirian imam-imam yang memberi petunjuk
dan orang-orang yang mengikutinya dari seluruh umat semuanya.[11]
Definisi di atas meneguhkan kekayaan intelektual dan peradaban yang
dimiliki Ahlusssunnah Wal Jamaah, karena tidak hanya bergantung kepada
al-Qur’an dan hadits, tapi juga mengapresiasi dan mengakomodasi warisan
pemikiran dan peradaban dari para sahabat dan orang-orang salih yang sesuai
dengan ajaran-ajaran Nabi. Terpaku dengan al-Qur’an dan hadis dengan membiarkan
sejarah para sahabat dan orang-orang saleh adalah bentuk kesombongan, karena
merekalah generasi yang paling otentik dan orisinal yang lebih mengetahui
bagaimana cara memahami, mengamalkan dan menerjemahkan ajaran Rasul dalam perilaku
setiap hari, baik secara individu, sosial, maupun kenegaraan. Berpegang kepada
al-Qur’an dan hadis ansich, bisa mengakibatkan hilangnya esensi (ruh) agama,
karena akan terjebak pada aliran dhahiriyah (tekstualisme) yang mudah menuduh
bid’ah kepada komunitas yang dijamin masuk surga, seperti khalifah empat.[12]
B. Lahirnya istilah ahlus sunnah wal jamaah
Pada masa Nabi dan generasi awal
sahabat, istilah Ahlussunnah
Wal-Jama'ah belum ada dan belum dikenal di kalangan kaum Muslimin.
Karena pada saat itu, kaum Muslimin masih bersatu dan belum lahir
kelompok-kelompok yang menyimpang dari ajaran Islam yang murni. Namun kemudian,
setelah kelompok-kelompok yang menyimpang dari ajaran Islam yang murni mulai
bermunculan pada akhir generasi sahabat Nabi , seperti aliran Khawarij,
Murji'ah, Saba'iyah (Syi'ah) dan Qadariyah, istilah Ahlussunnah Wal-Jama'ah mulai diperkenalkan sebagai nama bagi
mereka yang masih setia pada ajaran Islam yang murni dan steril dari ajaran
bid'ah yang menyimpang dari kebenaran. Hal ini dapat kita buktikan dengan
memperhatikan beberapa riwayat yang menyebutkan bahwa istilah Ahlussunnah Wal-Jama'ah diriwayatkan
dari sahabat Nabi generasi junior (shighar al-shahabah) seperti Ibn
Abbas, Ibn Umar dan Abi Sa'id al-Khudri . Misalnya Ibn Abbas (3 SH-68 H/619-688 M) berkata:
قَالَ
ابْنُ عَبَّاسٍ t في قَوْلِهِ تَعَالى : يَوْمَ تَبْيَضُّ وُجُوْهٌ وَتَسْوَدُّ
وُجُوْهٌ (سورة : آل عمران آية رقم : 106) فَأَمَّا الَّذِيْنَ ابْيَضَّتْ
وُجُوْهُهُمْ فَأَهْلُ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ وَأُولُو الْعِلْمِ، وَأَمَّا
الَّذِيْنَ اسْوَدَّتْ وُجُوْهُهُمْ فَأَهْلُ الْبِدَعِ وَالضَّلاَلَةِ. (رواه ابن
أبي حاتم في التفسير (3/124) وأبو نصر في الإبانة
والخطيب في تاريخ بغداد (3/334) واللالكائي في شرح أصول اعتقاد أهل السنة
(1/90)، وابن كثير في التفسير (2/92) والسيوطي في الدر المنثور (2/407).
"Ibn Abbas berkata ketika menafsirkan firman Allah:
"Pada hari yang di waktu itu ada muka yang putih
berseri, dan ada pula muka yang hitam muram.” (QS. Alu-Imram : 106).
"Adapun orang-orang yang wajahnya putih berseri, adalah pengikut
Ahlussunnah Wal-Jama'ah dan orang-orang yang berilmu. Sedangkan orang-orang
yang wajahnya hitam muram, adalah pengikut bid'ah dan kesesatan."[13]
Pada generasi
tabi'in dan ulama salaf sesudahnya, istilah Ahlussunnah Wal-Jama'ah semakin populer dan dibicarakan oleh
ulama-ulama terkemuka, di antaranya:
1. Khalifah yang saleh,
Umar bin Abdul Aziz (61-101 H/681-720 M) dalam risalah-nya yang membantah ajaran Qadariyah, telah memberikan
penjelasan tentang akidah Ahlussunnah
Wal-Jama’ah berkaitan dengan qadha'
dan qadar Allah.[14]
2. Al-Imam al-Hasan bin
Yasar al-Bashri (21-110 H/642-729 M) dalam satu keterangannya tentang posisi Ahlussunnah Wal-Jama'ah.[15]
3. Al-Imam Muhammad bin
Sirin (33-110 H/654-729 M) yang pernah mengatakan, “Para ulama dulu tidak
pernah mempertanyakan tentang sanad.
Akan tetapi setelah terjadinya fitnah, mereka menuntut adanya sanad. Maka apabila sanad-nya melalui jalur Ahlussunnah, mereka menerima
haditsnya. Dan apabila sanad-nya
melalui jalur Ahlul-Bid’ah,
mereka menolak haditsnya”[16]
4. Al-Imam Sufyan bin Sa’id al-Tsauri (97-161 H/715-778 M), yang pernah
berkata: “Berilah perlakuan yang baik kepada golongan Ahlussunnah.”[17]
5. Al-Imam Imam Malik bin Anas, pendiri madzhab Maliki, ketika ditanya tentang
siapa Ahlussunnah Wal-Jama'ah,
beliau menjawab: "Ahlussunnah
adalah mereka yang tidak memiliki julukan secara khusus, seperti julukan
Jahmiyah, Qadariyah dan Rafidhiyah."[18]
Pada masa periode salaf, istilah Ahlussunnah
Wal-Jama'ah dijadikan nama bagi kalangan umat Islam yang mengikuti
ajaran Islam yang murni yang diajarkan oleh Nabi dan sahabat. Sehingga istilah ini menjadi
nama bagi kaum Muslimin yang bersih dari ajaran bid'ah seperti ajaran Syi'ah,
Khawarij, Qadariyah, Jahmiyah, Murji'ah dan lain-lain, hingga akhirnya istilah
ini menjadi nama bagi pengikut dua imam terkemuka, yaitu al-Imam Abu al-Hasan
al-Asy'ari dan al-Imam Abu Manshur al-Maturidi.
C. Sejarah lahirnya aswaja dalam sudut pandang ideology pemikiraan
Setelah Nabi wafat, sekian banyak kelompok bermunculan dalam Islam seperti
Mu’tazilah yang disebut dengan kelompok Qadariyah karena paham mereka yang
mengingkari qadar. Kelompok
Jahamiyah yang disebut dengan Jabariyah (fatalisme) pengikut Jahm bin Shafwan
yang berpandangan bahwa manusia tidak memiliki kekuasaan dan inisiatif apa pun
terhadap perbuatannya, ia hanya seperti bulu yang terbang di udara dan hanya
dapat diombang-ambingkan udara ke mana-mana. Kelompok Khawarij yang menentang
Sayidina Ali bin Abi Thalib t dan mengkafirkan pelaku dosa besar. Kelompok
Syi’ah yang sangat ekstrim mengkultuskan Sayidina Ali dan anak cucunya dan
mengkafirkan para sahabat. Kelompok Murji`ah yang berpandangan bahwa Allah
tidak akan menyiksa orang mukmin yang melakukan dosa besar. Kelompok Karramiyah
yang berpandangan bahwa Allah ditempati perkara baru (hawadits) dalam Dzat dan perkataan-Nya, dan mereka juga
berpandangan bahwa Allah tidak memiliki batas dari lima arah kecuali satu batas
dari arah bawah. Kelompok Musyabbihah dan Mujassimah –cikal bakal kelompok
Wahhabi dewasa ini– yang mengeluarkan pandangan-padangan tentang Dzat Allah
yang tidak dapat dibenarkan oleh dalil agama dan akal seperti menetapkan bahwa
Allah itu bergerak, berpindah tempat, memiliki batas, memiliki arah, duduk,
mendudukkan Nabi e di sampingnya, terlentang, bertempat dan lain-lain yang
mereka serap dari agama dualisme (Majusi) dan politeisme.
Selanjutnya tidak sedikit pula orang-orang yang kreatif dan rajin
menyebarluaskan akidah kekafiran di antara kaum Muslimin, menerjemahkan
buku-buku filsafat Yunani, buku-buku kelompok zindik (zanadiqah) dan buku-buku agama dualisme Persia, sehingga
pengaruh dari penyebaran buku-buku tersebut sangat dahsyat terhadap akidah kaum
Muslimin, dan persoalan menjadi kian gawat serius. Sehingga setelah Khalifah
al-Mahdi (127-169 H/745-785 M) – khalifah ketiga dari dinasti Abbasiyah -
berkuasa, ia memburu kelompok zindik dan melakukan tindakan eksekusi (hukuman
mati) terhadap sebagian besar mereka. Ia seorang Khalifah yang sangat konsisten
terhadap akidah Ahlussunnah
Wal-Jama’ah dan tercatat sebagai Khalifah pertama yang mengeluarkan
instruksi kepada para ulama agar menulis kitab-kitab jadal (ilmu kalam) yang membantah pandangan-pandangan kelompok
yang menyimpang dari ajaran Ahlussunnah
Wal-Jama’ah[19]
Sehingga berdasarkan instruksinya, tidak sedikit para ulama yang menyusun
kitab-kitab yang isinya membentangkan dalil-dalil Ahlussunnah Wal-Jama’ah, menghilangkan keserupaan-keserupaan (syubuhat) Ahlul-Bid’ah, menjelaskan kebenaran dan mengabdikan dirinya
kepada agama. Sebelum wafatnya, Khalifah al-Mahdi memberikan wasiat kepada
anaknya dan calon penggantinya, yaitu Khalifah al-Hadi (147-170 H/764-786 M)
agar memburu kelompok zindik. Sehingga setelah al-Mahdi wafat, Khalifah al-Hadi
sangat serius memburu dan melakukan eksekusi terhadap sebagian besar mereka.
Di sisi lain, kelompok-kelompok diluar Ahlussunnah Wal-Jama’ah memiliki sekian senjata argumentasi yang
tidak dapat dihadapi kecuali dengan senjata serupa. Sehingga hal tersebut
menyeret perhatian para ulama, setapak demi setapak, untuk menghadapi mereka
dalam beberapa fase. Karena apabila persoalan akidah yang telah dirusak oleh
kalangan ahli bid'ah tersebut dibiarkan begitu saja, maka keraguan terhadap
akidah Islam akan dapat mudah menyelusup ke dalam hati kaum Muslimin sehingga
persoalan akan menjadi kian serius.
Dalam kondisi gawat itulah, tepatnya setelah tahun 260 Hijriah,[20]
dimana kelompok-kelompok ahli bid'ah, seperti Mu'tazilah, Murji'ah, Mujassimah
dan lain-lain semakin gencar. Sementara ajaran Ahlussunnah Wal-Jama'ah sangat terancam dan kaum Muslimin berada
dalam kondisi kritis yang penanganannya membutuhkan seorang ulama pembaharu (mujaddid) untuk mengembalikan ajaran
Islam ke pangkalannya yang benar, ternyata Allah telah menyiapkan dua ulama
besar yang akan menjadi panutan mayoritas kaum Muslimin sepanjang masa, yaitu
al-Imam Abu Al-Hasan al-Asy’ari dan al-Imam Abu Manshur al-Maturidi. Kedua imam
yang agung ini memberikan penjelasan akidah Ahlussunnah Wal-Jama'ah yang diajarkan oleh para sahabat Nabi e
dan generasi salaf yang saleh penerus mereka, dengan menyampaikan dalil-dalil naqli (tradisional) dan 'aqli (rasional). Keduanya juga menyampaikan
bantahan terhadap keserupaan-keserupaan kelompok ahli bid'ah seperti
Mu'tazilah, Murji'ah, Syi'ah dan lain-lain dengan bantahan yang sempurna. Lalu
metodologi dan pandangan-pandangan beliau berdua dalam menguraikan akidah Ahlussunnah Wal-Jama'ah dan membantah
ajaran aliran-aliran bid'ah secara sempurna diikuti oleh mayoritas ulama kaum
Muslimin Ahlussunnah Wal-Jama'ah
dari pengikut empat madzhab pada saat itu, sehingga mulai saat itu mulailah
terjadi pergeseran istilah Ahlussunnah
Wal-Jama'ah menjadi istilah Asy'ariyah dan Maturidiyah. Pada akhirnya,
pengikut Ahlussunnah Wal-Jama'ah
disebut dengan pengikut madzhab al-Asy'ari dan madzhab al-Maturidi
D. Sejarah aswaja dan lahirnya firqah dalam islam dalam sudut pandang
politik dan sosial
Setelah Nabi Muhammad
Saw wafat, kepala negara atau pemimpin dari negara Islam yang dibuat oleh Nabi
Muhammad adalah Abu Bakar Ash Shidiq. Abu Bakar dipilih sebagai pemimpin
melalui sebuah musyawarah yang demokratis. Nabi Muhammad sema sekali tidak
menunjuk pemimpin yang akan menggantikannya, sehingga pada akhirnya para
sahabat menunjuk Abu Bakar sebagai pemimpin. Selanjutnya, pasca-Abu Bakar
wafat, kepemimpinan digantikan oleh Umar Bin Khattab yang dikenal dengan
beberapa ijtihadnya yang melampaui ajaran tekstual Nabi.
Pasca-Umar Bin
Khattab wafat, kepemimpinannya diganti diganti oleh Ustman Bin Affan melalui
sebuah pemilihan juga. Inilah dasar-dasar demokrasi praktis yang sudah dijalani
pada masa khalifah Islam. Inilah kepiawaian Nabi Muhammad bahwa menjelang ia
wafat sekalipun, Nabi tidak menunjuk pemimpin sehingga melahirkan sebuah sistem
demokrasi praktis yang sehat pada masa awal-awal negera Islam pasca-Nabi
Muhammad wafat.
Sejak Utsman Bin
Affan wafat karena dibunuh pemberontak, kemelut muncul yang akhirnya perang antar-mukmin
terjadi, yaitu perang antara kubu Ali dan Muawiyah. Peperangan secara militer
dimenangkan oleh Ali Bin Abi Thalib, tetapi kemenangan secara diplomatis
dimenangkan oleh Muawiyah yang akhirnya membawa Muawiyah sebagai khalifah.
Peristiwa ini lahir istilah populer yang dikenal dengan tahkim, yaitu kelompok
Muawiyah mengibarkan bendera putih dengan Al Quran berada di ujung tombok
sebagai tawaran damai.
Berawal dari sini,
muncul kelompok Islam baru yang menolak adanya tahkim dikenal dengan Khawarij.
Kata khawarij diambil dari kata “kharaja” yang berarti keluar. Dari sini,
golongan Islam sudah pecah menjadi tiga, yaitu Syiah (kelompok pendukung Ali,
dari awal, tahkim, hingga akhir hayat Ali), Khawarij (pendukung Ali yang
kemudian keluar pasca-peristiwa tahkim. Khawarij adalah golongan yang tidak
membela Ali maupun Muawiyah karena berpendapat bahwa keduanya tidak menggunakan
hukum Allah atau Al Quran), dan pendukung Muawiyah.
Jadi, tiga golongan
Islam pada awalnya (terjadi sekitar tahun 40H) yang muncul adalah tiga:
Syiah-Ali, Khawarij, dan Muawiyah. Saat perundingan tahkim terjadi, Ali
mengutus Abu Musa Al Asy’ari yang berlatar tokoh agama, sementara
Muawiyah mengutus Amru bin Ash yang berlatar tokoh politik.
Selanjutnya, untuk
menguatkan kekuasaan Muawiyah dengan dalil agama, Muawiyah membuat aliran atau
golongan Islam bernama Jabariyah yang mengajarkan bahwa setiap tindakan manusia
adalah kehendak Allah. Sehingga, apa yang kita lakukan sudah menjadi takdir
Allah. Aliran Jabariyah juga didukung sejumlah ulama yang dekat dengan
Muawiyah. Dunia politik juga berlaku pada zaman ini. Boleh jadi, ulama yang
mendukung dan menyebarkan ajaran Jabariyah untuk dekat dengan kekuasaan saja.
Ini hanya spekulasi politik saja. Hal ini bisa dijumpai pada ulama sekarang ini
yang mendukung tokoh politik tertentu dalam Pemilu.
Saat ajaran
Jabariyah menyebar, tidak semua ikut aliran ini. Aliran Jabariyah digunakan
untuk melegimitasi atas kekuasaan Muawiyah dari tangan Ali, karena peperangan
dan kemenangan Muawiyah semuanya sudah ditakdirkan oleh Allah. Dari sini,
aliran Islam sudah empat, yaitu Syiah, Khawarij, Muawiyah, dan Jabariyah
(kelanjutan dari Muawiyah). Semua pengikut Muawiyah bisa dikatakan setuju dan
ikut aliran Jabariyah. Salah satu dalil dalam Al Quran yang digunakan Jabariyah
adalah “Wamaa ramaita idzromaita walaaa kinnalllaaha ramaa”
وما رميت إذ رميت ولكن الله رمى
Artinya: “Tidaklah
engkau memanah, pada saat memanah, akan tetapi Allah lah yang memanah.”
Merebaknya ajaran
Jabariyah membuat situasi semakin rumit, banyak orang-orang yang malas bekerja
karena yakin bahwa apa yang ia lakukan adalah kehendak Allah. Pun, pengemis
banyak bermunculan akibat doktrin aliran Jabariyah ini dan perekonomian mulai
goyah. Banyak orang yang sekadar beribadah ritual, tetapi tidak berusaha dan
bekerja karena yakin bahwa rejeki sudah diatur oleh Allah. Aliran ini dalam
istilah modern dikenal dengan “fatalism”. Padahal, aliran Jabariyah secara
politis digunakan Muawiyah untuk melegitimasi caranya mengalahkan Ali melalui
tahkim atau arbitrase, bukan muncul secara “murni” sebagai ajaran untuk
kemaslahatan umat.
Respons atas kemelut
ini, cucu Ali Bin Abi Thalib yang bernama Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ali
bin Abi Thalib membuat aliran baru yang kemudian dikenal dengan Qodariyah. Aliran
Qodariyah mengajarkan kepada umat Muslim bahwa manusia memiliki kehendak dan
bertanggung jawab atas setiap perbuatannya. Dalam hal ini, Allah tidak memiliki
ikut campur dalam setiap kehendak manusia. Dalil Al Quran yang populer untuk
melegitimasi aliran ini adalah QS Ar-Ra’d ayat 11 yang artinya: “Sesungguhnya
Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum, sehingga mereka mengubah keadaan
yang ada pada diri mereka sendiri.”
Aliran Qodariyah
muncul sebagai doktrin untuk melawan dan melakukan kritik terhadap aliran
Jabariyah yang kian meresahkan umat. Pencuri pun akan mengaku bahwa apa yang
dia lakukan adalah kehendak Allah. Dari sini aliran Jabariyah mulai luntur
seiring runtuhnya kekhalifahan Muawiyah (Umayah) yang diganti dengan
kekhalifahan Dinasti Abassiyah. Pada pemerintahan Dinasti Abassiyah ini,
doktrin Qodariyah menjadi aliran paling populer hingga menjadi pondasi dan
semangat untuk melakukan pembangunan negara. Tak ayal, paham Qodariyah paling
tidak membantu Dinasti Abassiyah untuk melakukan reformasi besar-besaran dan
menjadi negara maju dalam berbagai aspek, seperti ilmu pengetahuan.
Seiring populernya
aliran Qodariyah, paham ini kemudian mengalami metamorfosa menjadi aliran
Mu’tazilah yang serba menggunakan logika dalam setiap ijtihadnya. Bahkan, keturunan
Abas selanjutnya menjadikan ajaran Mu’tazilah sebagai aliran resmi negara di
mana setiap warga wajib menggunakan doktrin Mu’tazilah sebagai aliran pemikiran
(manhajul fikr) umatnya. Beberapa peristiwa sampai pada pembunuhan terhadap
setiap warganya yang tidak menggunakan aliran mu’tazilah.
Berawal dari sini,
seorang ulama besar pada masanya yang mulanya pengikut Mu’tazilah dan
mengatakan keluar untuk mendirikan madzab atau aliran baru dengan semangat “maa
anna alaihi wa ashabihi.” Ulama tersebut bernama Abu Hasan Al Asy’ari. Al
Asy’ari menyatakan netral, bukan menjadi bagian dari Jabariyah atau Qodariyah
atau Mu’tazilah, tetapi ia ingin membangun kembali semangat ajaran yang dipesan
Nabi Muhammad untuk mengikuti sunnah dan para sahabatnya.
Oleh Al Asy’ari,
paham tersebut ia sebut sebagai Ahlussunah wal Jama’ah. Dari sini, sudah bisa
dimengerti bahwa Jabariyah adalah aliran fatalism yang menganut kepada takdir.
Sementara, Qodariyah adalah bertolak belakang dengan Jabariyah, yaitu manusia
punya kehendak dan berlanjut dengan aliran Mu’tazilah di mana manusia punya
kehendak sepenuhnya (free will) dan mengedepankan rasio atau akal sepenuhnya.
Berbeda dengan ajaran Asy’ariyah yang menyatakan bahwa manusia punya kehendak,
tetapi dalam porsi tertentu dibatasi oleh takdir Allah.
Dalam hal ini, ulama
besar seperti Abu Mansur Al Maturidi juga mempelopori aliran bernama Al
Maturidiyah yang juga dengan semangat “maa anna alaihi wa ashabihi”. Dua tokoh
ini bisa dikatakan sebagai bapak Ahlussunah wal Jama’ah dalam bidang tauhid
atau teologi. Sementara itu, ulama-ulama besar yang ijtihad fiqihnya
mendasarkan pada Ahlussunah kemudian kita kenal dengan imam empat madzab, yakni
Imam Hanafi, Imam Syafi’I, Imam Hambali, dan Imam Maliki.
Imam Hambali menjadi
korban atas doktrin Mu’tazilah hingga imam Hambali dipenjara dan dihukum oleh
dua khalifah berturut-turut (al Ma’mun dan al Mu’tasim) dalam pemerintahan
Abbasiyah. Sementara itu, ulama Aswaja di bidang tasawuf yang dikenal pertama
kali adalah Imam al Gazali dan Imam Abu Qasim Al-Junaidy. Inilah sejarah Aswaja
pada fase sosial-politik.
E. Tokoh tokoh
ahlussunnah wal jamaah
Sebagaimana telah kita sebutkan di atas bahwa Ahlussunnah adalah
mayoritas umat Islam. Ini berarti dalam menuliskan tokoh-tokoh Ahlussunnah akan
meliputi berbagai sosok agung antar generasi ke generasi dan dari masa ke masa.
Melakukan “sensus” terhadap mereka tidak akan cukup dengan hanya menuliskannya
dalam satu jilid buku saja, bahkan dalam puluhan jilid sekalipun. Sebagaimana
anda lihat sekarang ini berapa banyak karya-karya para ulama terdahulu yang
ditulis dalam mengungkapkan biografi ulama Ahlussunnah, termasuk dalam hal ini
penulisan biografi yang ditulis menurut komunitas tertentu sesuai disiplin
mereka masing-masing, seperti komunitas kaum sufi, komunitas ahli hadists, para
ahli tafsir, atau lainnya. Dapat kita pastikan bahwa kebanyakan ulama-ulama
yang telah dituliskan biografinya tersebut adalah para pengikut al-Imâm
al-Asy’ari.
Di antara karya komprehensif dalam menuliskan biografi ulama
Ahlussunnah pengikut al-Imâm Abu al-Hasan al-Asy’ari adalah kitab karya al-Imâm
al-Hâfizh Abu al-Qasim Ibn Asakir dengan judul Tabyîn Kadzib al-Muftarî Fîmâ
Nusiba Ilâ al-Imâm Abî al-Hasan al-Asy’ari. Kitab ini ditulis Ibn Asakir untuk
membela al-Imâm al-Asy’ari dari tuduhan-tuduhan dusta yang dialamatkan
kepadanya. Di dalamnya, selain biografi al-Imâm al-Asy’ari, disebutkan pula
beberapa tokoh Ahlussunnah yang benar-benar telah “pasang badan” dalam
mengibarkan madzhab al-Imâm Abu al-Hasan al-Asy’ari ini.
Karya lainnya adalah tulisan al-Imâm Tajuddin as-Subki; putra dari
Qâdlî al-Qudlât al-Imâm al-Mujtahid Taqiyuddin as-Subki yang berjudul Thabaqât
asy-Syâfi’iyyah al-Kubrâ. Kitab ini sangat besar, dalam belasan jilid, berisi
penyebutan biografi para ulama terkemuka di kalangan madzhab asy-Syafi’i.
Dipastikan bahwa mayorits ulama yang disebutkan dalam kitab ini adalah para
pengikut al-Imâm al-Asy’ari. Bahkan dalam bukunya ini al-Imâm Tajuddin membuat
pasal khusus dalam penyebutan tokoh-tokoh yang memiliki andil besar dalam
penyebaran akidah Ahlussunnah madzhab al-Imâm Abu al-Hasan al-Asy’ari.
Berikut ini kita sebutkan beberapa nama tokoh terkemuka yang
memiliki andil besar dalam penyebaran akidah Asy’ariyyah. Ulama kita di
kalangan Ahlussunnah mengatakan bahwa menyebut nama orang-orang saleh adalah
sebab bagi turunnya segala rahmat dan karunia Allah; Bi Dzikr ash-Shâlihîn
Tatanazzal ar-Rahamât”. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa al-Imâm Ahmad ibn
Hanbal berkata tentang salah seorang yang sangat saleh bernama Shafwan ibn
Sulaim: “Dia (Shafwan ibn Sulaim) adalah orang saleh yang bila disebut namanya
maka hujan akan turun”. Karenanya, semoga dengan penyebutan orang-orang saleh
berikut ini, kita mendapatkan karunia dan rahmat dari Allah. Amin.
Angkatan yang semasa dengan al-Imâm Abu al-Hasan sendiri, yaitu
mereka yang belajar kepadanya dan mengambil pendapat-pendapatnya, di antaranya:
Abu al-Hasan al-Bahili, Abu Sahl ash-Shu’luki (w 369 H), Abu Ishaq
al-Isfirayini (w 418 H), Abu Bakar al-Qaffal asy-Syasyi (w 365 H), Abu Zaid
al-Marwazi (w 371 H), Abu Abdillah ibn Khafif asy-Syirazi; seorang sufi
terkemuka (w 371 H), Zahir ibn Ahmad as-Sarakhsi (w 389 H), Abu Bakr al-Jurjani
al-Isma’ili (w 371 H), Abu Bakar al-Audani (w 385 H), Abu al-Hasan Abd al-Aziz
ibn Muhammad yang dikenal dengan sebutan ad-Dumal, Abu Ja’far as-Sulami
an-Naqqasy (w 379 H), Abu Abdillah al-Ashbahani (w 381 H), Abu Muhammad
al-Qurasyi az-Zuhri (w 382 H), Abu Manshur ibn Hamsyad (w 388 H), Abu al-Husain
ibn Sam’un salah seorang sufi ternama (w 387 H), Abu Abd ar-Rahman asy-Syuruthi
al-Jurjani (w 389 H), Abu Abdillah Muhammad ibn Ahmad; Ibn Mujahid ath-Tha’i,
Bundar ibn al-Husain ibn Muhammad al-Muhallab yang lebih dikenal Abu al-Husain
ash-Shufi (w 353 H), dan Abu al-Hasan
Ali ibn Mahdi ath-Thabari.
Nama-nama ulama terkemuka ini hanya mereka yang hidup di waktu yang
sama dengan imam abul hasan al asy’ari, dan itupun hanya sebagiannya saja. Bila
hendak kita sebutkan satu persatu, termasuk yang berada di bawah tingkatan
mereka dalam keilmuannya, maka sangat banyak sekali, tidak terhitung jumlahnya
F. Madzhab asy’ari dan madzhab fiqh yang empat
Dalam bidang fiqih dan amaliah, Ahlussunnah wal jama’ah mengikuti
pola bermadzhab dengan mengikuti salah satu madzhab fiqh yang dideklarasikan
oleh para ulama yang mencapai tingkatan mujtahid mutlaq. Beberapa madzhab fiqh
yang sempat eksis dan diikuti oleh kaum Muslimin Ahlussunnah wal Jama’ah ialah
madzhab Hanafi. Maliki, Syafi’i, Hanbali, madzhab Sufyan al-Tsauri, Sufyan bin
Uyainah, ibn Jarir, Dawud al-Zhahiri, al-Laits bin Sa’ad, al-Auza’i, Abu Tsaur
dan lain-lain. Namun kemudian dalam perjalanan panjang sejarah Islam, sebagian
besar madzhab-madzhab tersebut tersisih dalam kompetisi sejarah dan kehilangan
pengikut, kecuali empat madzhab yang tetap eksis dan berkembang hingga dewasa
ini. Pengikut empat madzhab tersebut, diakui sebagai kaum Ahlussunnah Wal
Jama’ah.
Berkaitan dengan hal tersebut, disini perlu dikemukakan sebuah
pertanyaan, dimanakah letak posisi madzhab al-Asy’ari di kalangan pengikut
madzhab fiqh yang empat? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, marilah kita ikuti
penjelasan berikut ini secara rinci tentang posisi madzhab al-Asy’ari di
kalangan pengikut madzhab fiqh yang empat.
1. Madzhab Hanafi
Madzhab Hanafi ini didirikan oleh al-Imam abu Hanifah an-Nu’man bin
Tsabit al-Kufi (80 – 150 H / 699-767 M). Pada mulanya madzhab Hanafi ini
diikuti oleh kaum Muslimin yang tinggal di Irak, daerah tempat kelahiran abu
Hanifah, pendirinya. Namun kemudian, setelah Abu Yusuf menjabat sebagai hakim
agung pada masa Daulah Abbasiyyah, madzhab Hanafi menjadi populer di
negeri-negeri Persia, Mesir, Syam dan Maroko. Dewasa ini, madzhab Hanafi
diikuti oleh kaum Muslimin di Negara-negara Asia Tengah, yang dalam referensi
klasik dikenal dengan negeri seberang Sungai Jihun (sungai Amu Daria dan Sir
Daria), Negara Pakistan, Afghanistan, India, Bangladesh, Turki, Albania, Bosnia
dan lain-lain.
Dalam bidang ideologi, mayoritas pengikut madzhab Hanafi mengikuti
madzhab al-Maturidi. Sedangkan ideologi madzhab al-Maturidi sama dengan ideologi
madzha al-Asy’ari. Antara keduanya memang terjadi perbedaan dalam beberapa
masalah, tetapi perbedaan tersebut hanya bersifat verbalistik (lafzhi), tidak
bersifat prinsip dan substantif (haqiqi dan ma’nawi). Oleh karena itu dapatlah
dikatakan bahwa pengikut madzhab al-Maturidi adalah pengikut madzhab al-Asy’ari
juga. Demikian pula sebaliknya, pengikut madzhab al-Asy’ari adalah pengikut
madzhab al-Maturidi juga. Dalam hal tersebut al-Imam Tajuddin as-Subki
mengatakan, “Mayoritas pengikut Hanafi adalah pengikut madzhab al-Asy’ari,
kecuali sebagian kecil yang mengikuti Mu’tazilah.”
2. Madzhab Maliki
Madzhab Maliki ini
dinisbahkan kepada pendirinya, al-Imam Malik bin Anas al-Ashbahi (93-179
H/712-795 M). Madzhab ini diikuti oleh mayoritas kaum muslimin di Negara-negara
Afrika, seperti Libya, Tunisia, Maroko, Aljazair, Sudan, Mesir, dan lain-lain.
Dalam bidang teologi, seluruh pengikut madzhab Maliki mengikuti madzhab
al-Asy’ari tanpa terkecuali. Berdasarkan penelitian al-Imam Tajuddin as-Subki,
belum ditemukan di kalangan pengikut madzhab Maliki, seorang yang mengikuti
selain madzhab al-Asy’ari.
3. Madzhab Syafi’i
Madzhab Syafi’i ini didirikan oleh al-Imam Abu Abdillah Muhammad
bin Idris Asy-Syafi’i (150-204 H/767-820 M). Madzhab Syafi’i ini diakui sebagai
madzhab fiqh terbesar jumlah pengikutnya di seluruh dunia. Tidak ada madzhab
fiqh yang memiliki jumlah beitu besar seperti madzhab Syafi’i, yang diikuti
oleh mayoritas kaum Muslimin Asia Tenggara seperti Indonesia, Malaysia.
Filipina, Singapura, Thailand, India bagian Selatan seperti daerah Kirala dan
Kalkutta, mayoritas Negara-negara Syam seperti Syiria, Yordania, Lebanon,
Palestina, sebagian besar penduduk Kurdistan, Kaum Sunni di Iran, mayoritas
penduduk Mesir dan lain-lain.
Dalam bidang ideologi, mayoritas pengikut madzhab Syafi’i mengikuti
madzhab al-Asy’ari sebagaimana ditegaskan oleh al-Imam Tajuddin as-Subki,
kecuali beberapa gelintir tokoh yang mengikuti faham Mujassimah dan Mu’tazilah.
4. Madzhab Hanbali
Madzhab Hanbali ini didirikan oleh al-Imam Abu Abdillah Ahmad bin
Muhammad bin Hanbal al-Syaibani (164-241 H/780-855 M). Madzhab Hanali ini
adalah madzhab yang paling sedikit jumlah pengikutnya, karena tersebarnya
madzhab ini berjalan setelah madzhab-madzhab lain tersosialisasi dan mengakar
di tengah masyarakat. Madzhab ini diikuti oleh mayoritas penduduk Najd,
sebagian kecil penduduk Syam dan Mesir. Dalam bidang ideologi, mayoritas ulama
Hanbali yang utama (fudhala’), pada abad
pertengahan dan sebelumnya, mengikuti madzhab al-Asy’ari. Di antara tokoh-tokoh
madzhab Hanbali yang mengikuti madzhab al-Asy’ari ialah al-Imam ibn Sam’un
al-Wa’izh, Abu Khaththab al-Kalwadzani, Abu al-Wafa bin ‘Aqil, al-Hafizh ibn
al-Jawzi dan lain-lain. Namun kemudian sejak abad pertengahan terjadi
kesenjangan hubungan antara pengikut madzhab al-Asy’ari dengan pengikut madzhab
Hanbali.
Berdasarkan penelitian al-Hafizh ibn Asakir al-Dimasyqi, pada
awal-awal metamorfosa berdirinya madzhab al-Asy’ari, para ulama Hanbali
bergandengan tangan dengan para ulama al-Asy’ari dalam menghadapi kelompok-kelompok
ahli id’ah seperti Mu’tazilah, Syi’ah, Khawarij, Murji’ah dan lain-lain. Ulama
Hanbali dalam melawan argumentasi kelompok-kelompok ahli bid’ah, biasanya
menggunakan senjata argumentasi ulama al-Asy’ari. Dalam bidang teologi dan
ushul fiqh, para ulama Hanbali memang belajar kepada ulama madzhab al-Asy’ari.
Hingga akhirnya terjadi perselisihan antara madzhab al-Asy’ari dan madzhab
Hanbali pada masa al-Imam Abu Nashr al-Qusyairi dan pemerintahan Perdana
Menteri Nizham al-Mulk. Sejak saat itu, mulai terpolarisasi kebencian antara
pengikut madzhab al-Asy’ari dan madzhab Hanbali. [21]
G. Mengapa harus madzhab fiqh yang empat
Beberapa madzhab fiqh yang sempat eksis dan diikuti oleh kaum
Muslimin Ahlussunnah wal Jama’ah ialah madzhab Hanafi. Maliki, Syafi’i,
Hanbali, madzhab Sufyan al-Tsauri, Sufyan bin Uyainah, ibn Jarir, Dawud
al-Zhahiri, al-Laits bin Sa’ad, al-Auza’i, Abu Tsaur dan lain-lain. Namun
kemudian dalam perjalanan panjang sejarah Islam, sebagian besar madzhab-madzhab
tersebut tersisih dalam kompetisi sejarah dan kehilangan pengikut, kecuali
empat madzhab yang tetap eksis dan berkembang hingga dewasa ini. Pengikut empat
madzhab tersebut, diakui sebagai kaum Ahlussunnah Wal Jama’ah.
Namun ada beberapa alasan kenapa pada saat ini aswaja hanya
mengikuti empat madzhab saja alasan tersebut di dasari atas beberapa factor di
antaranya:
Pertama : Kualitas
pribadi dan keilmuan mereka sudah masyhur. Jika disebut nama mereka hampir
dapat dipastikan mayoritas umat Islam di dunia mengenal dan tidak perlu lagi
menjelaskan secara detail.
Kedua : Keempat Imam
Madzhab tersebut merupakan Imam Mujtahid Mutlaq Mustaqil, yaitu Imam Mujtahid
yang mampu secara mandiri menciptakan Manhaj al-Fikr, pola, metode, proses dan
prosedur istinbath dengan seluruh perangkat yang dibutuhkan, imam Ghazali belum
mencapai derajat seperti empat Imam Madzhab itu. Beliau masih mengikuti madzhab
Imam Syafi’i.
Ketiga : Para Imam
Madzhab itu mempunyai murid yang sangat konsisten mengajar dan mengembangkan
madzhabnya yang didukung oleh buku induk yang masih terjamin keasliannya hingga
saat ini.
Keempat : Ternyata
para Imam Madzhab itu mempunyai mata rantai dan jaringan intelektual di antara
mereka.
Imam Abu Hanifah pada waktu menunaikan ibadah haji sempat bertemu
dengan Imam Malik di Madinah. Hal itu merupakan pertemuan dua tokoh besar dari
dua aliran yang berbeda. Imam Abu Hanifah sebagai tokoh aliran ahl al-ra’yi, sedang
Imam Malik merupakan tokoh aliran ahl al-Hadits. Kedua tokoh ini sempat
melakukan dialog ilmiah interaktif di Madinah, yang berakhir dengan sikap
saling memuji dan mengakui kepakaran masing-masing di hadapan pengikutnya.
Peristiwa itu kemudian mendorong salah seorang murid senior Imam
Abu Hanifah, yakni Imam Muhammad bin Hasan, belajar kepada Imam Malik di
Madinah selama dua tahun.
Imam Syafi’i yang cukup lama menjadi murid Imam Malik dan selama
sembilan tahun mengikuti Madzhab Maliki, tertarik mempelajari Madzhab Hanafi.
Ia berguru kepada Imam Muhammad bin Hasan, yang waktu itu menggantikan Abu
hanifah yang sudah wafat.
Ternyata Imam Muhammad bin Hasan ini sudah pernah bertemu akrab
dengan Imam Syafi’i sewaktu sama-sama belajar kepada Imam Malik di Madinah. Di
antara keduanya saling tertarik dan mengagumi. Itu terbukti, waktu Imam Syafi’i
ditangkap oleh pemerintah Abbasiyah karena difitnah terlibat gerakan “Alawiyah”
di Yaman, yang membela dan memberikan jaminan adalah Imam Muhammad bin Hasan.
Dan yang terakhir : Selama Imam Syafi’i berada di Baghdad yang
kedua, Imam Ahmad bin Hambal cukup lama belajar kepada Imam Syafi’i. Kalau
diperhatikan, ternyata keempat Imam Madzhab tersebut mempunyai sikap tawadlu’
dan saling menghormati. Kebesaran dan popularitas masing-masing tidak
mempengaruhi sikap dan perilaku akhlaqul karimahnya. Itu merupaka citra terpuji
dari para pemegang amanah keilmuan yang luar biasa. Hal demikian patut
diteladani oleh para pengikut madzhab selanjutnya.[22]
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Melacak akar-akar sejarah munculnya istilah ahlul sunnah waljamaah, secara
etimologis bahwa aswaja sudah terkenal sejak Rosulullah SAW. Sebagai
konfigurasi sejarah, maka secara umum aswaja mengalami perkembangan dengan tiga
tahab secara evolutif. Pertama, tahap embrional pemikiran sunni dalam bidang
teologi bersifat eklektik, yakni memilih salah satu pendapat yang dianggap
paling benar. Pada tahap ini masih merupakan tahap konsolidasi, tokoh yang
menjadi penggerak adalah Hasan Al-Basri (110 H/728 M). Kedua, proses
konsolidasi awal mencapai puncaknya setelah Imam Al-Syafi’i (205 H/820 M)
berhasil menetapkan hadist sebagai sumber hukum kedua setelah Al- qur’an dalam
konstruksi pemikiran hukum Islam. Pada tahap ini, kajian dan diskusi tentang
teologi sunni berlangsung secara intensif. Ketiga, merupakan kristalisasi teologi sunni disatu pihak menolak
rasionalisme dogma, di lain pihak menerima metode rasional dalam memahami
agama. para Ulama’ NU di Indonesia menganggap aswaja sebagai upaya
pembakuan atau menginstitusikan prinsip-prinsip tawasuth (moderat), tasamuh
(toleran) dan tawazzun (seimbang) serta ta’addul (Keadilan). Perkembangan
selanjutnya oleh Said Aqil Shiroj dalam mereformulasikan aswaja sebagai metode
berfikir (manhaj al-fikr) keagamaan yang mencakup semua aspek kehidupan yang
berdasarkan atas dasar modernisasi, menjaga keseimbangan dan toleransi, tidak
lain dan tidak bukan adalah dalam rangka memberikan warna baru terhadap cetak
biru (blue print) yang sudah mulai tidak menarik lagi dihadapan dunia modern.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Hafizh Ibn Hajar, Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari, (13/
Jalal Muhammad Musa, Nasy'at al-Asy'ariyyah wa Tathawwuruha, hal. 15
Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud (3981),
al-Darimi (2/241) Ahmad (16329), al-Hakim (407), al-Ajuri dalam al-Syari'ah (18), Ibn Baththah dalam
al-Ibanah (277), Ibn Abi 'Ashim dalam al-Sunnah (2), dan al-Lalika'i dalam Syarh Ushul I'tiqad Ahl al-Sunnah
(1/23/1). Al-Hafizh Ibn Hajar menilai hadits ini hasan dalam Takhrij al-Kasysyaf (hal. 63).
Hadits ini diriwayatkan oleh al-Tirmidzi
(2091), al-Nasa'i dalam al-Kubra
(9219), Ahmad (172). Al-Tirmidzi berkata: "Hadits ini hasan shahih". Dan al-Hakim menilainya
shahih (356)
Hadits ini
diriwayatkan oleh Ibn Majah (3950), Abd bin Humaid dalam al-Musnad (1220), al-Thabarani dalam Musnad al-Syamiyyin (2069),
al-Lalika'i dalam Syarh Ushul I'tiqad
Ahl al-Sunnah (153) dan Abu Nu'aim dalam Hilyat al-Auliya' (9/238). Al-Hafizh al-Suyuthi menilai hadits
ini shahih dalam al-Jami' al-Shaghir
(1/88). Demikian pula Syaikh Syu'aib al-Arna'uth juga menilai hadits tersebut
kuat dan dapat dijadikan hujjah
berdasarkan syawahid-nya dalam tahqiq Siyar A'lam al-Nubala'
(12/196-197).
Hadits ini diriwayatkan oleh al-Tirmidzi (2565)
dan ia mengatakan: "Hadits ini
hasan dan gharib."
Al-Hafizh Abu Bakr al-Ajuri, al-Syari'ah (1/23).
Abi al-Hasan Ali ibn
Ismail al-Asy’ari, al-Ibanah An Ushul al-Diyanah, Beirut : Dar al-Kutub
al-Ilmiyyah
Misrawi,
Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari, Moderasi, Keumatan, Dan Kebangsaan, Jakarta :
Kompas, 2010, cet. 1
Sahilun A. Nasir,
Pemikiran Kalam (Teologi Islam), Sejarah, Ajaran, dan Perkembangannya, Jakarta
: Rajawali Press, 2010, cet. 1
Jamal Makmur Asmani,
Manhaj Pemikiran Aswaja, dalam
http://aswajacenterpati.wordpress.com/2012/04/02/manhaj-pemikiran-aswaja/ di
akses Selasa, 8 Januari 2014
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibn Abi Hatim
dalam al-Tafsir (3/124), Abu
Nashr dalam al-Ibanah,
al-Khathib dalam Tarikh Baghdad
(3/334), al-Lalika'i dalam Syarh Ushul
I'tiqd Ahl al-Sunnah (1/90), Ibn Katsir dalam al-Tafsir (2/92) dan al-Suyuthi dalam al-Durr al-Mantsur (2/407).
Al-Hafizh Abu Nu’aim, Hilyat al-Auliya’, juz V
Ibn 'Abdil Barr, al-Intiqa' fi Fadhail al-A'immat al-Tsalatsah al-Fuqaha'
Al-Hafizh Jalaluddin Al-Suyuthi, Tarikh Al-Khulafa’
Al-Hafizh Ibn Asakir al-Dimasyqi, Tabyin Kidzb al-Muftari
Tajuddin as-Subki,
Thabaqat al-Syafi’iyyah al-Kubra, juz 3, (Kairo: al-Halabi), Halaman 366, edisi
Abdul Fattah Muhammad al-Halw dan Mahmud al-Thanahi. Dan Mu’id an-Ni’am wa
Mubid an-Niqam (Kairo: al-Khanji, 1993), halaman 75, edisi Muhammad Ali
an-Najjar.
Tim PWNU Jawa Timur,
Aswaja An-Nahdliyah: Ajaran Ahlussunnah wa al-Jama’ah yang Berlaku di
Lingkungan Nahdlatul Ulama, Surabaya: Khalista dan Lajnah Ta’lif wa Nasyr (LTN)
NU Jawa Timur, 2007,
[1]Al-Hafizh Ibn Hajar,
Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari,
(13/245).
[3] Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud (3981),
al-Darimi (2/241) Ahmad (16329), al-Hakim (407), al-Ajuri dalam al-Syari'ah (18), Ibn Baththah dalam
al-Ibanah (277), Ibn Abi 'Ashim dalam al-Sunnah (2), dan al-Lalika'i dalam Syarh Ushul I'tiqad Ahl al-Sunnah
(1/23/1). Al-Hafizh Ibn Hajar menilai hadits ini hasan dalam Takhrij al-Kasysyaf (hal. 63).
[4] Hadits ini diriwayatkan oleh al-Tirmidzi
(2091), al-Nasa'i dalam al-Kubra
(9219), Ahmad (172). Al-Tirmidzi berkata: "Hadits ini hasan shahih". Dan al-Hakim menilainya
shahih (356)
[5] Hadits
ini diriwayatkan oleh Ibn Majah (3950), Abd bin Humaid dalam al-Musnad (1220), al-Thabarani dalam Musnad al-Syamiyyin (2069),
al-Lalika'i dalam Syarh Ushul I'tiqad
Ahl al-Sunnah (153) dan Abu Nu'aim dalam Hilyat al-Auliya' (9/238). Al-Hafizh al-Suyuthi menilai hadits
ini shahih dalam al-Jami' al-Shaghir
(1/88). Demikian pula Syaikh Syu'aib al-Arna'uth juga menilai hadits tersebut
kuat dan dapat dijadikan hujjah
berdasarkan syawahid-nya dalam tahqiq Siyar A'lam al-Nubala'
(12/196-197).
[6] Hadits ini diriwayatkan oleh al-Tirmidzi (2565)
dan ia mengatakan: "Hadits ini
hasan dan gharib."
[9] Abi al-Hasan Ali ibn
Ismail al-Asy’ari, al-Ibanah An Ushul al-Diyanah, Beirut : Dar al-Kutub
al-Ilmiyyah, t.t., hlm. 14
[10] Zuhairi Misrawi, Hadratussyaikh Hasyim
Asy’ari, Moderasi, Keumatan, Dan Kebangsaan, Jakarta : Kompas, 2010, cet. 1,
hlm. 107
[11] Sahilun A. Nasir,
Pemikiran Kalam (Teologi Islam), Sejarah, Ajaran, dan Perkembangannya, Jakarta
: Rajawali Press, 2010, cet. 1, hlm. 190
[12] Jamal Makmur Asmani,
Manhaj Pemikiran Aswaja, dalam http://aswajacenterpati.wordpress.com/2012/04/02/manhaj-pemikiran-aswaja/
di akses Selasa, 8 Januari 2014
[13] Hadits ini diriwayatkan oleh Ibn Abi Hatim
dalam al-Tafsir (3/124), Abu
Nashr dalam al-Ibanah, al-Khathib
dalam Tarikh Baghdad (3/334),
al-Lalika'i dalam Syarh Ushul I'tiqd
Ahl al-Sunnah (1/90), Ibn Katsir dalam al-Tafsir (2/92) dan al-Suyuthi dalam al-Durr al-Mantsur (2/407).
[21] Tajuddin as-Subki, Thabaqat
al-Syafi’iyyah al-Kubra, juz 3, (Kairo: al-Halabi), Halaman 366, edisi Abdul
Fattah Muhammad al-Halw dan Mahmud al-Thanahi. Dan Mu’id an-Ni’am wa Mubid
an-Niqam (Kairo: al-Khanji, 1993), halaman 75, edisi Muhammad Ali an-Najjar.
[22] Tim PWNU Jawa Timur,
Aswaja An-Nahdliyah: Ajaran Ahlussunnah wa al-Jama’ah yang Berlaku di
Lingkungan Nahdlatul Ulama, Surabaya: Khalista dan Lajnah Ta’lif wa Nasyr (LTN)
NU Jawa Timur, 2007, hal, 22
Tidak ada komentar:
Posting Komentar