Kamis, 01 November 2018

Sejarah ahlussunnah wal jama’ah


KATA PENGANTAR

Alhamdullilah puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. Karena atas rahmatnya kami dapat menyelesaikan tugas kelompok mata kuliah ASWAJA yang berjudul “ Sejarah ahlussunnah wal jama’ah.”

            Dalam penyelesaian  makalah ini penulis banyak mendapatkan bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, untuk itu melalui kata pengantar ini penulis mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan makalah ini dan tidak lupa pula penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen mata kuliah Aswaja.
           Sebagi bantuan dan dorongan serta bimbingan yang telah diberikan kepada penulis dapat diterima menjadi amal saleh dan diterima Allah SWT. Semoga maklah ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya .



BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar belakang Masalah
Islam masuk ke Indonesia sejak zaman Khulafaur Rasyidin tepatnya pada masa Khalifah Utsman bin Affan. Penyebaran Islam di Indonesia masuk melalui dua jalur utama yaitu Jalur Selatan yang bermadzhab Syafi’i (Arab, Yaman, India, Pakistan, Bangladesh, Malaka, Indonesia) dan Jalur Utara (Jalur Sutara) yang bermadzhab Hanafi (Turki, persia, Kazakhstan, Uzbekistan, Afganistan, Cina, Malaka, Indonesia). Penyebaran Islam semakin berhasil, khususnya di Pulau Jawa sejak abad ke-13 oleh Wali Sanga. Dari murid – murid Wali Sanga inilah kemudian secara turun – temurun menghasilkan Ulama – ulama besar di wilayah Nusantara seperti Syaikhuna Khoil Bangkalan (Madura), Syaikh Arsyad Al Banjari (Banjar, Kalimantan, Syaikh Yusuf Sulawesi, dan lain – lain.
Telaah terhadap Ahlussunnah Wal Jama’ah ( Aswaja ) sebagai bagaian dari kajian keislaman –merupakan upaya yang mendudukkan aswaja secara proporsional, bukannya semata-mata untuk mempertahankan sebuah aliran atau golongan tertentu yang mungkin secara subyektif kita anggap baik karena rumusan dan konsep pemikiran teologis yang diformulasikan oleh suatu aliran, sangat dipengaruhi oleh suatu problem teologis pada masanya dan mempunyai sifat dan aktualisasinya tertentu.
Pemaksaan suatu aliran tertentu yang pernah berkembang di era tertentu untuk kita yakini, sama halnya dengan aliran teologi sebagai dogma dan sekaligus mensucikan pemikiran keagamaan tertentu. Padahal aliran teologi merupakan fenomena sejarah yang senantiasa membutuhkan interpretasi sesuai dengan konteks zaman yang melingkupinya. Jika hal ini mampu kita antisipasi berarti kita telah memelihara kemerdekaan (hurriyah); yakni kebebasan berfikir (hurriyah al-ra’yi), kebebasan berusaha dan berinisiatif (hurriyah al-irodah) serta kebebasan berkiprah dan beraktivitas (hurriyah al-harokah).
Selama kurun waktu berdirinya (1926) hingga sekitar tahun 1994, pengertian Aswaja tersebut bertahan di tubuh Nahdlatul Ulama. Baru pada sekitar pertengahan dekade 1990 tersebut, muncul gugatan yang mempertanyakan, tepatkah Aswaja dianut sebagai madzhab, atau lebih tepat dipergunakan dengan cara lain?


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Ahlusssunnah Wal Jamaah
Ahlussunnah Wal-Jama'ah adalah istilah bagi kelompok umat Islam yang dijamin keselamatannya di akhirat oleh Rasulullah . Istilah Ahlussunnah Wal-Jama'ah ini menjadi rebutan semua kalangan. Setiap kelompok mengklaim dirinya sebagai Ahlussunnah Wal-Jama'ah, sementara kelompok yang lain dianggap sebagai golongan ahli bid'ah yang tersesat dan tidak akan selamat kelak di akhirat. Tidak jarang pula di antara kelompok tersebut menggunakan istilah Ahlussunnah Wal-Jama'ah untuk kepentingan sesaat. Oleh karena itu sebelum menguraikan sejarah Ahlussunnah Wal-Jama'ah, perlu kiranya memberikan penjelasan tuntas tentang definisi dan hakikat Ahlussunnah Wal-Jama'ah secara ilmiah dan akademis, agar diketahui apa sebenarnya Ahlussunnah Wal-Jama'ah, sehingga nantinya dapat diketahui pula siapa sebenarnya Ahlussunnah Wal-Jama'ah.
Secara kebahasaan, Ahlussunnah Wal-Jama’ah adalah istilah yang tersusun dari tiga kata:
Pertama, kata Ahl, berarti keluarga, pengikut atau golongan.
Kedua, kata al-sunnah, yang memiliki dua arti kemungkinan;
Pertama yaitu segala sesuatu yang telah diajarkan oleh Nabi , baik melalui perbuatan, ucapan dan pengakuan Nabi ,[1] dan
Kedua  yaitu al-thariqah (jalan dan jejak), maksudnya Ahlussunnah Wal-Jama'ah itu mengikuti jalan dan jejak para sahabat Nabi dan tabi'in dalam memahami teks-teks keagamaan dan mengamalkan ajaran agama.[2]
Ketiga, kata al-jama’ah, yang secara kebahasaan dapat diartikan dengan sejumlah besar orang-orang yang menjalin dan menjaga kebersamaan dalam mencapai suatu tujuan yang sama, sebagai kebalikan dari al-firqah (orang-orang yang memisahkan diri dari golongannya). Dalam beberapa hadits shahih, Nabi menyebut kelompok yang selamat dengan nama al-jama'ah. Seperti dalam hadits:
عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ أَبِي سُفْيَانَ t أَنَّ رَسُولَ اللهِ e قَالَ: أَلاَ إِنَّ مَنْ قَبْلَكُمْ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ افْتَرَقُوا عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً، وَإِنَّ هَذِهِ الْمِلَّةَ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِينَ، ثِنْتَانِ وَسَبْعُونَ فِي النَّارِ، وَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ، وَهِيَ الْجَمَاعَةُ. (رواه أبو داود (3981)، والدارمي (2/241) وأحمد (16329)، والحاكم (407) والآجري في " الشريعة " (18)، وابن بطة في الإبانة (277)، وابن أبي عاصم في السنة (2)، واللالكائي في " شرح السنة " (130). وصححه الحاكم، ووافقه الحافظ الذهبي. وقال الحافظ ابن حجر في " تخريج الكشاف " (ص/63): " و إسناده حسن " .
"Dari Mu'awiyah bin Abi Sufyan , bahwa Rasulullah  bersabda: "Sesungguhnya orang sebelum kamu dari pengikut Ahlil-kitab terpecah belah menjdi tujuh puluh dua golongan. Dan umat ini akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan, tujuh puluh dua golongan akan masuk ke neraka, dan satu golongan yang akan masuk surga, yaitu golongan al-jama'ah"[3]
Dalam hadits lain, Rasulullah J juga bersabda:
وَعَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ t قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ e: « مَنْ أَرَادَ بُحْبُوْحَةَ الْجَنَّةِ فَلْيَلْزَمِ الْجَمَاعَةَ، فَإِنَّ الشَّيْطَانَ مَعَ الْوَاحِدِ، وَهُوَ مِنَ اْلاِثْنَيْنِ أَبْعَدُ». (رواه الترمذي (2091)، والنسائي في الكبرى (9219)، وأحمد (172) وقال الترمذي: هذا حديث حسن صحيح، وصححه الحاكم : (356).
"Dari Umar bin al-Khaththab, berkata: "Rasulullah  bersabda: "Barangsiapa yang menginginkan tempat yang lapang di surga, maka ikutilah ajaran al-jama'ah. Karena syetan itu bersama orang yang sendirian. Dan syetan akan lebih jauh dari dua orang."[4]
Dalam segi terminologis, ada lima pendapat tentang makna yang menjadi maksud kata al-jama'ah dalam istilah Ahlussunnah Wal-Jama'ah.
Pertama, maksud kata al-jama'ah dalam istilah tersebut ialah al-sawad al-a'zham (kelompok mayoritas) di antara kaum Muslimin. Hal ini didasarkan pada hadits:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ t يَقُولُ، سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ e يَقُولُ: إِنَّ أُمَّتِيْ لاَ تَجْتَمِعُ عَلَى ضَلاَلَةٍ، فَإِذَا رَأَيْتُمْ اِخْتِلاَفًا فَعَلَيْكُمْ بِالسَّوَادِ اْلأَعْظَمِ. رواه ابن ماجه (3950)، وعبد بن حميد في مسنده (1220)، والطبراني في مسند الشاميين (2069)، واللالكائي في اعتقاد أهل السنة (153)، وأبو نعيم في الحلية (9/238)، وصححه الحافظ السيوطي في الجامع الصغير (1/88).
"Dari Anas bin Malik , berkata: "Aku mendengar Rasulullah  bersabda: "Sesungguhnya umatku tidak akan bersepakat pada kesesatan. Oleh karena itu, apabila kalian melihat terjadinya perselisihan, maka ikutilah kelompok mayoritas.[5]
Dalam hadits ini, Nabi  menerangkan bahwa umat Islam tidak akan bersepakat (berijma') pada suatu kesesatan. Hukum yang menjadi kesepakatan di antara mereka, dapat dipastikan kebenarannya dan tidak akan tersesat dari jalan kebenaran. Namun manakala terjadi perbedaan pendapat di kalangan umat Islam, Nabi memerintahkan kita agar mengikuti kelompok mayoritas, karena kelompok mayoritaslah yang akan mengikuti jalan kebenaran dan keselamatan. Oleh karena itu, tepat sekali apabila menafsirkan kata al-jama'ah yang harus diikuti oleh kaum Muslimin ketika terjadi perpecahan di kalangan mereka dengan makna al-sawad al-a'zham (kelompok mayoritas).
Kedua, maksud kata al-jama'ah dalam istilah tersebut ialah para sahabat Nabi . Hal ini didasarkan pada hadits:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرٍو t قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ e "إِنَّ بَنِي إِسْرَائِيلَ تَفَرَّقَتْ عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِينَ مِلَّةً كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلاَّ مِلَّةً وَاحِدَةً قَالُوا وَمَنْ هِيَ يَا رَسُولَ اللهِ قَالَ مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي". (رواه الترمذي (2565) وقال: هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ ).
"Dari Abdullah bin Amr, bekata: "Rasulullah  bersabda: "Sesungguhnya umat Bani Isra'il terpecah belah menjadi tujuh puluh dua golongan. Dan umatku akan terpecah belah menjadi tujuh puluh tiga golongan, semuanya akan masuk neraka kecuali satu golongan yang akan selamat." Para sahabat bertanya: "Siapa satu golongan yang selamat itu wahai Rasulullah?" Beliau menjawab: "Golongan yang mengikuti ajaranku dan ajaran sahabatku."[6]
Dalam hadits ini, Nabi  menjelaskan bahwa di antara tujuh puluh tiga kelompok yang berpecah belah di antara umatnya, hanya satu kelompok yang akan selamat, yaitu kelompok yang setia mengikuti ajaran Nabi  dan ajaran sahabatnya. Substansi hadits ini tepat untuk menafsirkan kata al-jama'ah yang harus diikuti oleh kaum Muslimin ketika terjadi perpecahan di antara mereka, dengan generasi sahabat Nabi , karena kelompok yang selamat adalah kelompok yang mengikuti ajaran Nabi  dan sahabatnya.
Ketiga, maksud kata al-jama'ah dalam istilah tersebut ialah para ulama yang mencapai tingkatan mujtahid. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa kaum Muslimin harus mengikuti pendapat para ulama yang mencapai tingkatan mujtahid dalam memahami teks-teks keagamaan dan dalam melaksanakan ajaran-ajaran agama. Keempat, maksud kata al-jama'ah dalam istilah tersebut ialah kesepakatan kaum Muslimin terhadap suatu hukum keagamaan. Dan secara eksplisit, pendapat ini menyatakan bahwa kata al-jama'ah yang dijamin sebagai kelompok selamat oleh Nabi dalam hadits-hadits shahih adalah kelompok yang menjadikan ijma' (kesepakatan para mujtahid) sebagai salah satu dasar pengambilan hukum agama. Dan kelima, sekelompok kaum Muslimin apabila bersepakat pada kepemimpinan seseorang.
Beberapa pendapat yang berbeda tersebut apabila diperhatikan dengan cermat, sebenarnya kembali dan bermuara pada arti dan maksud yang sama.[7] Hal ini dapat kita lihat dengan memperhatikan hubungan pendapat yang satu dengan pendapat yang lainnya. Misalnya antara pendapat pertama yang mengatakan bahwa maksud kata al-jama'ah dalam istilah Ahlussunnah Wal-Jama'ah di atas adalah mayoritas kaum Muslimin (al-sawad al-a'zham), jika dihubungkan dengan pendapat kedua yang mengatakan bahwa kata al-jama'ah dalam istilah tersebut adalah kelompok para sahabat Nabi . Antara keduanya tidak ada perbedaan secara substansial, karena secara riil, mayoritas kaum Muslimin hingga saat ini masih mengikuti ajaran para sahabat Nabi . Demikian pula jika pendapat tersebut kita hubungkan dengan pendapat-pendapat lainnya. Kita dapati bahwa mayoritas kaum Muslimin secara riil masih mengikuti pendapat dan metodologi para ulama mujtahid dalam memahami teks-teks keagamaan dan mengamalkan ajaran-ajaran agama, dalam menerima ijma' (konsensus) sebagai salah satu dalil dalam pengambilan hukum agama, dan dalam menerima seorang pemimpin yang sesuai dengan ajaran Nabi  dan sahabatnya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kelima pendapat tersebut pada dasarnya hanya berbeda secara verbal, tidak secara substansial.[8]

Menurut Imam Asy’ari, Ahlusssunnah Wal Jamaah adalah golongan yang berpegang teguh kepada al-Qur’an, hadis, dan apa yang diriwayatkan sahabat, tabi’in, imam-imam hadis, dan apa yang disampaikan oleh Abu Abdillah Ahmad ibn Muhammad ibn Hanbal.[9]
Menurut KH. M. Hasyim Asy’ari, Ahlusssunnah Wal Jamaah adalah golongan yang berpegang teguh kepada sunnah Nabi, para sahabat, dan mengikuti warisan para wali dan ulama. Secara spesifik, Ahlusssunnah Wal Jamaah yang berkembang di Jawa adalah mereka yang dalam fikih mengikuti Imam Syafi’i, dalam akidah mengikuti Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari, dan dalam tasawuf mengikuti Imam al-Ghazali dan Imam Abu al-Hasan al-Syadzili.[10] Menurut Muhammad Khalifah al-Tamimy, Ahlusssunnah Wal Jamaah adalah para sahabat, tabiin, tabiit tabi’in dan siapa saja yang berjalan menurut pendirian imam-imam yang memberi petunjuk dan orang-orang yang mengikutinya dari seluruh umat semuanya.[11]
Definisi di atas meneguhkan kekayaan intelektual dan peradaban yang dimiliki Ahlusssunnah Wal Jamaah, karena tidak hanya bergantung kepada al-Qur’an dan hadits, tapi juga mengapresiasi dan mengakomodasi warisan pemikiran dan peradaban dari para sahabat dan orang-orang salih yang sesuai dengan ajaran-ajaran Nabi. Terpaku dengan al-Qur’an dan hadis dengan membiarkan sejarah para sahabat dan orang-orang saleh adalah bentuk kesombongan, karena merekalah generasi yang paling otentik dan orisinal yang lebih mengetahui bagaimana cara memahami, mengamalkan dan menerjemahkan ajaran Rasul dalam perilaku setiap hari, baik secara individu, sosial, maupun kenegaraan. Berpegang kepada al-Qur’an dan hadis ansich, bisa mengakibatkan hilangnya esensi (ruh) agama, karena akan terjebak pada aliran dhahiriyah (tekstualisme) yang mudah menuduh bid’ah kepada komunitas yang dijamin masuk surga, seperti khalifah empat.[12]
B.     Lahirnya istilah ahlus sunnah wal jamaah
Pada masa Nabi  dan generasi awal sahabat, istilah Ahlussunnah Wal-Jama'ah belum ada dan belum dikenal di kalangan kaum Muslimin. Karena pada saat itu, kaum Muslimin masih bersatu dan belum lahir kelompok-kelompok yang menyimpang dari ajaran Islam yang murni. Namun kemudian, setelah kelompok-kelompok yang menyimpang dari ajaran Islam yang murni mulai bermunculan pada akhir generasi sahabat Nabi , seperti aliran Khawarij, Murji'ah, Saba'iyah (Syi'ah) dan Qadariyah, istilah Ahlussunnah Wal-Jama'ah mulai diperkenalkan sebagai nama bagi mereka yang masih setia pada ajaran Islam yang murni dan steril dari ajaran bid'ah yang menyimpang dari kebenaran. Hal ini dapat kita buktikan dengan memperhatikan beberapa riwayat yang menyebutkan bahwa istilah Ahlussunnah Wal-Jama'ah diriwayatkan dari sahabat Nabi  generasi junior (shighar al-shahabah) seperti Ibn Abbas, Ibn Umar dan Abi Sa'id al-Khudri . Misalnya Ibn Abbas  (3 SH-68 H/619-688 M) berkata:
قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ t في قَوْلِهِ تَعَالى : يَوْمَ تَبْيَضُّ وُجُوْهٌ وَتَسْوَدُّ وُجُوْهٌ (سورة : آل عمران آية رقم : 106) فَأَمَّا الَّذِيْنَ ابْيَضَّتْ وُجُوْهُهُمْ فَأَهْلُ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ وَأُولُو الْعِلْمِ، وَأَمَّا الَّذِيْنَ اسْوَدَّتْ وُجُوْهُهُمْ فَأَهْلُ الْبِدَعِ وَالضَّلاَلَةِ. (رواه ابن أبي حاتم في التفسير (3/124) وأبو نصر في الإبانة والخطيب في تاريخ بغداد (3/334) واللالكائي في شرح أصول اعتقاد أهل السنة (1/90)، وابن كثير في التفسير (2/92) والسيوطي في الدر المنثور (2/407).
"Ibn Abbas  berkata ketika menafsirkan firman Allah: "Pada hari yang di waktu itu ada muka yang putih berseri, dan ada pula muka yang hitam muram.” (QS. Alu-Imram : 106). "Adapun orang-orang yang wajahnya putih berseri, adalah pengikut Ahlussunnah Wal-Jama'ah dan orang-orang yang berilmu. Sedangkan orang-orang yang wajahnya hitam muram, adalah pengikut bid'ah dan kesesatan."[13]
Pada generasi tabi'in dan ulama salaf sesudahnya, istilah Ahlussunnah Wal-Jama'ah semakin populer dan dibicarakan oleh ulama-ulama terkemuka, di antaranya:
1.      Khalifah yang saleh, Umar bin Abdul Aziz (61-101 H/681-720 M) dalam risalah-nya yang membantah ajaran Qadariyah, telah memberikan penjelasan tentang akidah Ahlussunnah Wal-Jama’ah berkaitan dengan qadha' dan qadar Allah.[14]
2.      Al-Imam al-Hasan bin Yasar al-Bashri (21-110 H/642-729 M) dalam satu keterangannya tentang posisi Ahlussunnah Wal-Jama'ah.[15]
3.      Al-Imam Muhammad bin Sirin (33-110 H/654-729 M) yang pernah mengatakan, “Para ulama dulu tidak pernah mempertanyakan tentang sanad. Akan tetapi setelah terjadinya fitnah, mereka menuntut adanya sanad. Maka apabila sanad-nya melalui jalur Ahlussunnah, mereka menerima haditsnya. Dan apabila sanad-nya melalui jalur Ahlul-Bid’ah, mereka menolak haditsnya”[16]
4.      Al-Imam Sufyan bin Sa’id al-Tsauri (97-161 H/715-778 M), yang pernah berkata: “Berilah perlakuan yang baik kepada golongan Ahlussunnah.”[17]
5.      Al-Imam Imam Malik bin Anas, pendiri madzhab Maliki, ketika ditanya tentang siapa Ahlussunnah Wal-Jama'ah, beliau menjawab: "Ahlussunnah adalah mereka yang tidak memiliki julukan secara khusus, seperti julukan Jahmiyah, Qadariyah dan Rafidhiyah."[18]
Pada masa periode salaf, istilah Ahlussunnah Wal-Jama'ah dijadikan nama bagi kalangan umat Islam yang mengikuti ajaran Islam yang murni yang diajarkan oleh Nabi  dan sahabat. Sehingga istilah ini menjadi nama bagi kaum Muslimin yang bersih dari ajaran bid'ah seperti ajaran Syi'ah, Khawarij, Qadariyah, Jahmiyah, Murji'ah dan lain-lain, hingga akhirnya istilah ini menjadi nama bagi pengikut dua imam terkemuka, yaitu al-Imam Abu al-Hasan al-Asy'ari dan al-Imam Abu Manshur al-Maturidi.
C.    Sejarah lahirnya aswaja dalam sudut pandang ideology pemikiraan
Setelah Nabi wafat, sekian banyak kelompok bermunculan dalam Islam seperti Mu’tazilah yang disebut dengan kelompok Qadariyah karena paham mereka yang mengingkari qadar. Kelompok Jahamiyah yang disebut dengan Jabariyah (fatalisme) pengikut Jahm bin Shafwan yang berpandangan bahwa manusia tidak memiliki kekuasaan dan inisiatif apa pun terhadap perbuatannya, ia hanya seperti bulu yang terbang di udara dan hanya dapat diombang-ambingkan udara ke mana-mana. Kelompok Khawarij yang menentang Sayidina Ali bin Abi Thalib t dan mengkafirkan pelaku dosa besar. Kelompok Syi’ah yang sangat ekstrim mengkultuskan Sayidina Ali dan anak cucunya dan mengkafirkan para sahabat. Kelompok Murji`ah yang berpandangan bahwa Allah tidak akan menyiksa orang mukmin yang melakukan dosa besar. Kelompok Karramiyah yang berpandangan bahwa Allah ditempati perkara baru (hawadits) dalam Dzat dan perkataan-Nya, dan mereka juga berpandangan bahwa Allah tidak memiliki batas dari lima arah kecuali satu batas dari arah bawah. Kelompok Musyabbihah dan Mujassimah –cikal bakal kelompok Wahhabi dewasa ini– yang mengeluarkan pandangan-padangan tentang Dzat Allah yang tidak dapat dibenarkan oleh dalil agama dan akal seperti menetapkan bahwa Allah itu bergerak, berpindah tempat, memiliki batas, memiliki arah, duduk, mendudukkan Nabi e di sampingnya, terlentang, bertempat dan lain-lain yang mereka serap dari agama dualisme (Majusi) dan politeisme.          
Selanjutnya tidak sedikit pula orang-orang yang kreatif dan rajin menyebarluaskan akidah kekafiran di antara kaum Muslimin, menerjemahkan buku-buku filsafat Yunani, buku-buku kelompok zindik (zanadiqah) dan buku-buku agama dualisme Persia, sehingga pengaruh dari penyebaran buku-buku tersebut sangat dahsyat terhadap akidah kaum Muslimin, dan persoalan menjadi kian gawat serius. Sehingga setelah Khalifah al-Mahdi (127-169 H/745-785 M) – khalifah ketiga dari dinasti Abbasiyah - berkuasa, ia memburu kelompok zindik dan melakukan tindakan eksekusi (hukuman mati) terhadap sebagian besar mereka. Ia seorang Khalifah yang sangat konsisten terhadap akidah Ahlussunnah Wal-Jama’ah dan tercatat sebagai Khalifah pertama yang mengeluarkan instruksi kepada para ulama agar menulis kitab-kitab jadal (ilmu kalam) yang membantah pandangan-pandangan kelompok yang menyimpang dari ajaran Ahlussunnah Wal-Jama’ah[19] Sehingga berdasarkan instruksinya, tidak sedikit para ulama yang menyusun kitab-kitab yang isinya membentangkan dalil-dalil Ahlussunnah Wal-Jama’ah, menghilangkan keserupaan-keserupaan (syubuhat) Ahlul-Bid’ah, menjelaskan kebenaran dan mengabdikan dirinya kepada agama. Sebelum wafatnya, Khalifah al-Mahdi memberikan wasiat kepada anaknya dan calon penggantinya, yaitu Khalifah al-Hadi (147-170 H/764-786 M) agar memburu kelompok zindik. Sehingga setelah al-Mahdi wafat, Khalifah al-Hadi sangat serius memburu dan melakukan eksekusi terhadap sebagian besar mereka.
Di sisi lain, kelompok-kelompok diluar Ahlussunnah Wal-Jama’ah memiliki sekian senjata argumentasi yang tidak dapat dihadapi kecuali dengan senjata serupa. Sehingga hal tersebut menyeret perhatian para ulama, setapak demi setapak, untuk menghadapi mereka dalam beberapa fase. Karena apabila persoalan akidah yang telah dirusak oleh kalangan ahli bid'ah tersebut dibiarkan begitu saja, maka keraguan terhadap akidah Islam akan dapat mudah menyelusup ke dalam hati kaum Muslimin sehingga persoalan akan menjadi kian serius.
Dalam kondisi gawat itulah, tepatnya setelah tahun 260 Hijriah,[20] dimana kelompok-kelompok ahli bid'ah, seperti Mu'tazilah, Murji'ah, Mujassimah dan lain-lain semakin gencar. Sementara ajaran Ahlussunnah Wal-Jama'ah sangat terancam dan kaum Muslimin berada dalam kondisi kritis yang penanganannya membutuhkan seorang ulama pembaharu (mujaddid) untuk mengembalikan ajaran Islam ke pangkalannya yang benar, ternyata Allah telah menyiapkan dua ulama besar yang akan menjadi panutan mayoritas kaum Muslimin sepanjang masa, yaitu al-Imam Abu Al-Hasan al-Asy’ari dan al-Imam Abu Manshur al-Maturidi. Kedua imam yang agung ini memberikan penjelasan akidah Ahlussunnah Wal-Jama'ah yang diajarkan oleh para sahabat Nabi e dan generasi salaf yang saleh penerus mereka, dengan menyampaikan dalil-dalil naqli (tradisional) dan 'aqli (rasional). Keduanya juga menyampaikan bantahan terhadap keserupaan-keserupaan kelompok ahli bid'ah seperti Mu'tazilah, Murji'ah, Syi'ah dan lain-lain dengan bantahan yang sempurna. Lalu metodologi dan pandangan-pandangan beliau berdua dalam menguraikan akidah Ahlussunnah Wal-Jama'ah dan membantah ajaran aliran-aliran bid'ah secara sempurna diikuti oleh mayoritas ulama kaum Muslimin Ahlussunnah Wal-Jama'ah dari pengikut empat madzhab pada saat itu, sehingga mulai saat itu mulailah terjadi pergeseran istilah Ahlussunnah Wal-Jama'ah menjadi istilah Asy'ariyah dan Maturidiyah. Pada akhirnya, pengikut Ahlussunnah Wal-Jama'ah disebut dengan pengikut madzhab al-Asy'ari dan madzhab al-Maturidi

D.    Sejarah aswaja dan lahirnya firqah dalam islam dalam sudut pandang politik dan sosial
Setelah Nabi Muhammad Saw wafat, kepala negara atau pemimpin dari negara Islam yang dibuat oleh Nabi Muhammad adalah Abu Bakar Ash Shidiq. Abu Bakar dipilih sebagai pemimpin melalui sebuah musyawarah yang demokratis. Nabi Muhammad sema sekali tidak menunjuk pemimpin yang akan menggantikannya, sehingga pada akhirnya para sahabat menunjuk Abu Bakar sebagai pemimpin. Selanjutnya, pasca-Abu Bakar wafat, kepemimpinan digantikan oleh Umar Bin Khattab yang dikenal dengan beberapa ijtihadnya yang melampaui ajaran tekstual Nabi.
Pasca-Umar Bin Khattab wafat, kepemimpinannya diganti diganti oleh Ustman Bin Affan melalui sebuah pemilihan juga. Inilah dasar-dasar demokrasi praktis yang sudah dijalani pada masa khalifah Islam. Inilah kepiawaian Nabi Muhammad bahwa menjelang ia wafat sekalipun, Nabi tidak menunjuk pemimpin sehingga melahirkan sebuah sistem demokrasi praktis yang sehat pada masa awal-awal negera Islam pasca-Nabi Muhammad wafat.
Sejak Utsman Bin Affan wafat karena dibunuh pemberontak, kemelut muncul yang akhirnya perang antar-mukmin terjadi, yaitu perang antara kubu Ali dan Muawiyah. Peperangan secara militer dimenangkan oleh Ali Bin Abi Thalib, tetapi kemenangan secara diplomatis dimenangkan oleh Muawiyah yang akhirnya membawa Muawiyah sebagai khalifah. Peristiwa ini lahir istilah populer yang dikenal dengan tahkim, yaitu kelompok Muawiyah mengibarkan bendera putih dengan Al Quran berada di ujung tombok sebagai tawaran damai.
Berawal dari sini, muncul kelompok Islam baru yang menolak adanya tahkim dikenal dengan Khawarij. Kata khawarij diambil dari kata “kharaja” yang berarti keluar. Dari sini, golongan Islam sudah pecah menjadi tiga, yaitu Syiah (kelompok pendukung Ali, dari awal, tahkim, hingga akhir hayat Ali), Khawarij (pendukung Ali yang kemudian keluar pasca-peristiwa tahkim. Khawarij adalah golongan yang tidak membela Ali maupun Muawiyah karena berpendapat bahwa keduanya tidak menggunakan hukum Allah atau Al Quran), dan pendukung Muawiyah.
Jadi, tiga golongan Islam pada awalnya (terjadi sekitar tahun 40H) yang muncul adalah tiga: Syiah-Ali, Khawarij, dan Muawiyah. Saat perundingan tahkim terjadi, Ali mengutus Abu Musa Al Asy’ari  yang berlatar tokoh agama, sementara Muawiyah mengutus Amru bin Ash yang berlatar tokoh politik.
Selanjutnya, untuk menguatkan kekuasaan Muawiyah dengan dalil agama, Muawiyah membuat aliran atau golongan Islam bernama Jabariyah yang mengajarkan bahwa setiap tindakan manusia adalah kehendak Allah. Sehingga, apa yang kita lakukan sudah menjadi takdir Allah. Aliran Jabariyah juga didukung sejumlah ulama yang dekat dengan Muawiyah. Dunia politik juga berlaku pada zaman ini. Boleh jadi, ulama yang mendukung dan menyebarkan ajaran Jabariyah untuk dekat dengan kekuasaan saja. Ini hanya spekulasi politik saja. Hal ini bisa dijumpai pada ulama sekarang ini yang mendukung tokoh politik tertentu dalam Pemilu.
Saat ajaran Jabariyah menyebar, tidak semua ikut aliran ini. Aliran Jabariyah digunakan untuk melegimitasi atas kekuasaan Muawiyah dari tangan Ali, karena peperangan dan kemenangan Muawiyah semuanya sudah ditakdirkan oleh Allah. Dari sini, aliran Islam sudah empat, yaitu Syiah, Khawarij, Muawiyah, dan Jabariyah (kelanjutan dari Muawiyah). Semua pengikut Muawiyah bisa dikatakan setuju dan ikut aliran Jabariyah. Salah satu dalil dalam Al Quran yang digunakan Jabariyah adalah “Wamaa ramaita idzromaita walaaa kinnalllaaha ramaa”
وما رميت إذ رميت ولكن الله رمى
Artinya: “Tidaklah engkau memanah, pada saat memanah, akan tetapi Allah lah yang memanah.”
Merebaknya ajaran Jabariyah membuat situasi semakin rumit, banyak orang-orang yang malas bekerja karena yakin bahwa apa yang ia lakukan adalah kehendak Allah. Pun, pengemis banyak bermunculan akibat doktrin aliran Jabariyah ini dan perekonomian mulai goyah. Banyak orang yang sekadar beribadah ritual, tetapi tidak berusaha dan bekerja karena yakin bahwa rejeki sudah diatur oleh Allah. Aliran ini dalam istilah modern dikenal dengan “fatalism”. Padahal, aliran Jabariyah secara politis digunakan Muawiyah untuk melegitimasi caranya mengalahkan Ali melalui tahkim atau arbitrase, bukan muncul secara “murni” sebagai ajaran untuk kemaslahatan umat.
Respons atas kemelut ini, cucu Ali Bin Abi Thalib yang bernama Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ali bin Abi Thalib membuat aliran baru yang kemudian dikenal dengan Qodariyah. Aliran Qodariyah mengajarkan kepada umat Muslim bahwa manusia memiliki kehendak dan bertanggung jawab atas setiap perbuatannya. Dalam hal ini, Allah tidak memiliki ikut campur dalam setiap kehendak manusia. Dalil Al Quran yang populer untuk melegitimasi aliran ini adalah QS Ar-Ra’d ayat 11 yang artinya: “Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum, sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.”
Aliran Qodariyah muncul sebagai doktrin untuk melawan dan melakukan kritik terhadap aliran Jabariyah yang kian meresahkan umat. Pencuri pun akan mengaku bahwa apa yang dia lakukan adalah kehendak Allah. Dari sini aliran Jabariyah mulai luntur seiring runtuhnya kekhalifahan Muawiyah (Umayah) yang diganti dengan kekhalifahan Dinasti Abassiyah. Pada pemerintahan Dinasti Abassiyah ini, doktrin Qodariyah menjadi aliran paling populer hingga menjadi pondasi dan semangat untuk melakukan pembangunan negara. Tak ayal, paham Qodariyah paling tidak membantu Dinasti Abassiyah untuk melakukan reformasi besar-besaran dan menjadi negara maju dalam berbagai aspek, seperti ilmu pengetahuan.
Seiring populernya aliran Qodariyah, paham ini kemudian mengalami metamorfosa menjadi aliran Mu’tazilah yang serba menggunakan logika dalam setiap ijtihadnya. Bahkan, keturunan Abas selanjutnya menjadikan ajaran Mu’tazilah sebagai aliran resmi negara di mana setiap warga wajib menggunakan doktrin Mu’tazilah sebagai aliran pemikiran (manhajul fikr) umatnya. Beberapa peristiwa sampai pada pembunuhan terhadap setiap warganya yang tidak menggunakan aliran mu’tazilah.
Berawal dari sini, seorang ulama besar pada masanya yang mulanya pengikut Mu’tazilah dan mengatakan keluar untuk mendirikan madzab atau aliran baru dengan semangat “maa anna alaihi wa ashabihi.” Ulama tersebut bernama Abu Hasan Al Asy’ari. Al Asy’ari menyatakan netral, bukan menjadi bagian dari Jabariyah atau Qodariyah atau Mu’tazilah, tetapi ia ingin membangun kembali semangat ajaran yang dipesan Nabi Muhammad untuk mengikuti sunnah dan para sahabatnya.
Oleh Al Asy’ari, paham tersebut ia sebut sebagai Ahlussunah wal Jama’ah. Dari sini, sudah bisa dimengerti bahwa Jabariyah adalah aliran fatalism yang menganut kepada takdir. Sementara, Qodariyah adalah bertolak belakang dengan Jabariyah, yaitu manusia punya kehendak dan berlanjut dengan aliran Mu’tazilah di mana manusia punya kehendak sepenuhnya (free will) dan mengedepankan rasio atau akal sepenuhnya. Berbeda dengan ajaran Asy’ariyah yang menyatakan bahwa manusia punya kehendak, tetapi dalam porsi tertentu dibatasi oleh takdir Allah.
Dalam hal ini, ulama besar seperti Abu Mansur Al Maturidi juga mempelopori aliran bernama Al Maturidiyah yang juga dengan semangat “maa anna alaihi wa ashabihi”. Dua tokoh ini bisa dikatakan sebagai bapak Ahlussunah wal Jama’ah dalam bidang tauhid atau teologi. Sementara itu, ulama-ulama besar yang ijtihad fiqihnya mendasarkan pada Ahlussunah kemudian kita kenal dengan imam empat madzab, yakni Imam Hanafi, Imam Syafi’I, Imam Hambali, dan Imam Maliki.
Imam Hambali menjadi korban atas doktrin Mu’tazilah hingga imam Hambali dipenjara dan dihukum oleh dua khalifah berturut-turut (al Ma’mun dan al Mu’tasim) dalam pemerintahan Abbasiyah. Sementara itu, ulama Aswaja di bidang tasawuf yang dikenal pertama kali adalah Imam al Gazali dan Imam Abu Qasim Al-Junaidy. Inilah sejarah Aswaja pada fase sosial-politik.

E.     Tokoh tokoh ahlussunnah wal jamaah
Sebagaimana telah kita sebutkan di atas bahwa Ahlussunnah adalah mayoritas umat Islam. Ini berarti dalam menuliskan tokoh-tokoh Ahlussunnah akan meliputi berbagai sosok agung antar generasi ke generasi dan dari masa ke masa. Melakukan “sensus” terhadap mereka tidak akan cukup dengan hanya menuliskannya dalam satu jilid buku saja, bahkan dalam puluhan jilid sekalipun. Sebagaimana anda lihat sekarang ini berapa banyak karya-karya para ulama terdahulu yang ditulis dalam mengungkapkan biografi ulama Ahlussunnah, termasuk dalam hal ini penulisan biografi yang ditulis menurut komunitas tertentu sesuai disiplin mereka masing-masing, seperti komunitas kaum sufi, komunitas ahli hadists, para ahli tafsir, atau lainnya. Dapat kita pastikan bahwa kebanyakan ulama-ulama yang telah dituliskan biografinya tersebut adalah para pengikut al-Imâm al-Asy’ari.
Di antara karya komprehensif dalam menuliskan biografi ulama Ahlussunnah pengikut al-Imâm Abu al-Hasan al-Asy’ari adalah kitab karya al-Imâm al-Hâfizh Abu al-Qasim Ibn Asakir dengan judul Tabyîn Kadzib al-Muftarî Fîmâ Nusiba Ilâ al-Imâm Abî al-Hasan al-Asy’ari. Kitab ini ditulis Ibn Asakir untuk membela al-Imâm al-Asy’ari dari tuduhan-tuduhan dusta yang dialamatkan kepadanya. Di dalamnya, selain biografi al-Imâm al-Asy’ari, disebutkan pula beberapa tokoh Ahlussunnah yang benar-benar telah “pasang badan” dalam mengibarkan madzhab al-Imâm Abu al-Hasan al-Asy’ari ini.
Karya lainnya adalah tulisan al-Imâm Tajuddin as-Subki; putra dari Qâdlî al-Qudlât al-Imâm al-Mujtahid Taqiyuddin as-Subki yang berjudul Thabaqât asy-Syâfi’iyyah al-Kubrâ. Kitab ini sangat besar, dalam belasan jilid, berisi penyebutan biografi para ulama terkemuka di kalangan madzhab asy-Syafi’i. Dipastikan bahwa mayorits ulama yang disebutkan dalam kitab ini adalah para pengikut al-Imâm al-Asy’ari. Bahkan dalam bukunya ini al-Imâm Tajuddin membuat pasal khusus dalam penyebutan tokoh-tokoh yang memiliki andil besar dalam penyebaran akidah Ahlussunnah madzhab al-Imâm Abu al-Hasan al-Asy’ari.
Berikut ini kita sebutkan beberapa nama tokoh terkemuka yang memiliki andil besar dalam penyebaran akidah Asy’ariyyah. Ulama kita di kalangan Ahlussunnah mengatakan bahwa menyebut nama orang-orang saleh adalah sebab bagi turunnya segala rahmat dan karunia Allah; Bi Dzikr ash-Shâlihîn Tatanazzal ar-Rahamât”. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa al-Imâm Ahmad ibn Hanbal berkata tentang salah seorang yang sangat saleh bernama Shafwan ibn Sulaim: “Dia (Shafwan ibn Sulaim) adalah orang saleh yang bila disebut namanya maka hujan akan turun”. Karenanya, semoga dengan penyebutan orang-orang saleh berikut ini, kita mendapatkan karunia dan rahmat dari Allah. Amin.
Angkatan yang semasa dengan al-Imâm Abu al-Hasan sendiri, yaitu mereka yang belajar kepadanya dan mengambil pendapat-pendapatnya, di antaranya: Abu al-Hasan al-Bahili, Abu Sahl ash-Shu’luki (w 369 H), Abu Ishaq al-Isfirayini (w 418 H), Abu Bakar al-Qaffal asy-Syasyi (w 365 H), Abu Zaid al-Marwazi (w 371 H), Abu Abdillah ibn Khafif asy-Syirazi; seorang sufi terkemuka (w 371 H), Zahir ibn Ahmad as-Sarakhsi (w 389 H), Abu Bakr al-Jurjani al-Isma’ili (w 371 H), Abu Bakar al-Audani (w 385 H), Abu al-Hasan Abd al-Aziz ibn Muhammad yang dikenal dengan sebutan ad-Dumal, Abu Ja’far as-Sulami an-Naqqasy (w 379 H), Abu Abdillah al-Ashbahani (w 381 H), Abu Muhammad al-Qurasyi az-Zuhri (w 382 H), Abu Manshur ibn Hamsyad (w 388 H), Abu al-Husain ibn Sam’un salah seorang sufi ternama (w 387 H), Abu Abd ar-Rahman asy-Syuruthi al-Jurjani (w 389 H), Abu Abdillah Muhammad ibn Ahmad; Ibn Mujahid ath-Tha’i, Bundar ibn al-Husain ibn Muhammad al-Muhallab yang lebih dikenal Abu al-Husain ash-Shufi  (w 353 H), dan Abu al-Hasan Ali ibn Mahdi ath-Thabari.
Nama-nama ulama terkemuka ini hanya mereka yang hidup di waktu yang sama dengan imam abul hasan al asy’ari, dan itupun hanya sebagiannya saja. Bila hendak kita sebutkan satu persatu, termasuk yang berada di bawah tingkatan mereka dalam keilmuannya, maka sangat banyak sekali, tidak terhitung jumlahnya
F.     Madzhab asy’ari dan madzhab fiqh yang empat
Dalam bidang fiqih dan amaliah, Ahlussunnah wal jama’ah mengikuti pola bermadzhab dengan mengikuti salah satu madzhab fiqh yang dideklarasikan oleh para ulama yang mencapai tingkatan mujtahid mutlaq. Beberapa madzhab fiqh yang sempat eksis dan diikuti oleh kaum Muslimin Ahlussunnah wal Jama’ah ialah madzhab Hanafi. Maliki, Syafi’i, Hanbali, madzhab Sufyan al-Tsauri, Sufyan bin Uyainah, ibn Jarir, Dawud al-Zhahiri, al-Laits bin Sa’ad, al-Auza’i, Abu Tsaur dan lain-lain. Namun kemudian dalam perjalanan panjang sejarah Islam, sebagian besar madzhab-madzhab tersebut tersisih dalam kompetisi sejarah dan kehilangan pengikut, kecuali empat madzhab yang tetap eksis dan berkembang hingga dewasa ini. Pengikut empat madzhab tersebut, diakui sebagai kaum Ahlussunnah Wal Jama’ah.
Berkaitan dengan hal tersebut, disini perlu dikemukakan sebuah pertanyaan, dimanakah letak posisi madzhab al-Asy’ari di kalangan pengikut madzhab fiqh yang empat? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, marilah kita ikuti penjelasan berikut ini secara rinci tentang posisi madzhab al-Asy’ari di kalangan pengikut madzhab fiqh yang empat.
1.      Madzhab Hanafi
Madzhab Hanafi ini didirikan oleh al-Imam abu Hanifah an-Nu’man bin Tsabit al-Kufi (80 – 150 H / 699-767 M). Pada mulanya madzhab Hanafi ini diikuti oleh kaum Muslimin yang tinggal di Irak, daerah tempat kelahiran abu Hanifah, pendirinya. Namun kemudian, setelah Abu Yusuf menjabat sebagai hakim agung pada masa Daulah Abbasiyyah, madzhab Hanafi menjadi populer di negeri-negeri Persia, Mesir, Syam dan Maroko. Dewasa ini, madzhab Hanafi diikuti oleh kaum Muslimin di Negara-negara Asia Tengah, yang dalam referensi klasik dikenal dengan negeri seberang Sungai Jihun (sungai Amu Daria dan Sir Daria), Negara Pakistan, Afghanistan, India, Bangladesh, Turki, Albania, Bosnia dan lain-lain.
Dalam bidang ideologi, mayoritas pengikut madzhab Hanafi mengikuti madzhab al-Maturidi. Sedangkan ideologi madzhab al-Maturidi sama dengan ideologi madzha al-Asy’ari. Antara keduanya memang terjadi perbedaan dalam beberapa masalah, tetapi perbedaan tersebut hanya bersifat verbalistik (lafzhi), tidak bersifat prinsip dan substantif (haqiqi dan ma’nawi). Oleh karena itu dapatlah dikatakan bahwa pengikut madzhab al-Maturidi adalah pengikut madzhab al-Asy’ari juga. Demikian pula sebaliknya, pengikut madzhab al-Asy’ari adalah pengikut madzhab al-Maturidi juga. Dalam hal tersebut al-Imam Tajuddin as-Subki mengatakan, “Mayoritas pengikut Hanafi adalah pengikut madzhab al-Asy’ari, kecuali sebagian kecil yang mengikuti Mu’tazilah.”
2.      Madzhab Maliki
Madzhab Maliki ini dinisbahkan kepada pendirinya, al-Imam Malik bin Anas al-Ashbahi (93-179 H/712-795 M). Madzhab ini diikuti oleh mayoritas kaum muslimin di Negara-negara Afrika, seperti Libya, Tunisia, Maroko, Aljazair, Sudan, Mesir, dan lain-lain. Dalam bidang teologi, seluruh pengikut madzhab Maliki mengikuti madzhab al-Asy’ari tanpa terkecuali. Berdasarkan penelitian al-Imam Tajuddin as-Subki, belum ditemukan di kalangan pengikut madzhab Maliki, seorang yang mengikuti selain madzhab al-Asy’ari.
3.      Madzhab Syafi’i
Madzhab Syafi’i ini didirikan oleh al-Imam Abu Abdillah Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i (150-204 H/767-820 M). Madzhab Syafi’i ini diakui sebagai madzhab fiqh terbesar jumlah pengikutnya di seluruh dunia. Tidak ada madzhab fiqh yang memiliki jumlah beitu besar seperti madzhab Syafi’i, yang diikuti oleh mayoritas kaum Muslimin Asia Tenggara seperti Indonesia, Malaysia. Filipina, Singapura, Thailand, India bagian Selatan seperti daerah Kirala dan Kalkutta, mayoritas Negara-negara Syam seperti Syiria, Yordania, Lebanon, Palestina, sebagian besar penduduk Kurdistan, Kaum Sunni di Iran, mayoritas penduduk Mesir dan lain-lain.
Dalam bidang ideologi, mayoritas pengikut madzhab Syafi’i mengikuti madzhab al-Asy’ari sebagaimana ditegaskan oleh al-Imam Tajuddin as-Subki, kecuali beberapa gelintir tokoh yang mengikuti faham Mujassimah dan Mu’tazilah.
4.      Madzhab Hanbali
Madzhab Hanbali ini didirikan oleh al-Imam Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal al-Syaibani (164-241 H/780-855 M). Madzhab Hanali ini adalah madzhab yang paling sedikit jumlah pengikutnya, karena tersebarnya madzhab ini berjalan setelah madzhab-madzhab lain tersosialisasi dan mengakar di tengah masyarakat. Madzhab ini diikuti oleh mayoritas penduduk Najd, sebagian kecil penduduk Syam dan Mesir. Dalam bidang ideologi, mayoritas ulama Hanbali  yang utama (fudhala’), pada abad pertengahan dan sebelumnya, mengikuti madzhab al-Asy’ari. Di antara tokoh-tokoh madzhab Hanbali yang mengikuti madzhab al-Asy’ari ialah al-Imam ibn Sam’un al-Wa’izh, Abu Khaththab al-Kalwadzani, Abu al-Wafa bin ‘Aqil, al-Hafizh ibn al-Jawzi dan lain-lain. Namun kemudian sejak abad pertengahan terjadi kesenjangan hubungan antara pengikut madzhab al-Asy’ari dengan pengikut madzhab Hanbali.
Berdasarkan penelitian al-Hafizh ibn Asakir al-Dimasyqi, pada awal-awal metamorfosa berdirinya madzhab al-Asy’ari, para ulama Hanbali bergandengan tangan dengan para ulama al-Asy’ari dalam menghadapi kelompok-kelompok ahli id’ah seperti Mu’tazilah, Syi’ah, Khawarij, Murji’ah dan lain-lain. Ulama Hanbali dalam melawan argumentasi kelompok-kelompok ahli bid’ah, biasanya menggunakan senjata argumentasi ulama al-Asy’ari. Dalam bidang teologi dan ushul fiqh, para ulama Hanbali memang belajar kepada ulama madzhab al-Asy’ari. Hingga akhirnya terjadi perselisihan antara madzhab al-Asy’ari dan madzhab Hanbali pada masa al-Imam Abu Nashr al-Qusyairi dan pemerintahan Perdana Menteri Nizham al-Mulk. Sejak saat itu, mulai terpolarisasi kebencian antara pengikut madzhab al-Asy’ari dan madzhab Hanbali. [21]
G.    Mengapa harus madzhab fiqh yang empat
Beberapa madzhab fiqh yang sempat eksis dan diikuti oleh kaum Muslimin Ahlussunnah wal Jama’ah ialah madzhab Hanafi. Maliki, Syafi’i, Hanbali, madzhab Sufyan al-Tsauri, Sufyan bin Uyainah, ibn Jarir, Dawud al-Zhahiri, al-Laits bin Sa’ad, al-Auza’i, Abu Tsaur dan lain-lain. Namun kemudian dalam perjalanan panjang sejarah Islam, sebagian besar madzhab-madzhab tersebut tersisih dalam kompetisi sejarah dan kehilangan pengikut, kecuali empat madzhab yang tetap eksis dan berkembang hingga dewasa ini. Pengikut empat madzhab tersebut, diakui sebagai kaum Ahlussunnah Wal Jama’ah.
Namun ada beberapa alasan kenapa pada saat ini aswaja hanya mengikuti empat madzhab saja alasan tersebut di dasari atas beberapa factor di antaranya:
Pertama : Kualitas pribadi dan keilmuan mereka sudah masyhur. Jika disebut nama mereka hampir dapat dipastikan mayoritas umat Islam di dunia mengenal dan tidak perlu lagi menjelaskan secara detail.
Kedua : Keempat Imam Madzhab tersebut merupakan Imam Mujtahid Mutlaq Mustaqil, yaitu Imam Mujtahid yang mampu secara mandiri menciptakan Manhaj al-Fikr, pola, metode, proses dan prosedur istinbath dengan seluruh perangkat yang dibutuhkan, imam Ghazali belum mencapai derajat seperti empat Imam Madzhab itu. Beliau masih mengikuti madzhab Imam Syafi’i.
Ketiga : Para Imam Madzhab itu mempunyai murid yang sangat konsisten mengajar dan mengembangkan madzhabnya yang didukung oleh buku induk yang masih terjamin keasliannya hingga saat ini.
Keempat : Ternyata para Imam Madzhab itu mempunyai mata rantai dan jaringan intelektual di antara mereka.
Imam Abu Hanifah pada waktu menunaikan ibadah haji sempat bertemu dengan Imam Malik di Madinah. Hal itu merupakan pertemuan dua tokoh besar dari dua aliran yang berbeda. Imam Abu Hanifah sebagai tokoh aliran ahl al-ra’yi, sedang Imam Malik merupakan tokoh aliran ahl al-Hadits. Kedua tokoh ini sempat melakukan dialog ilmiah interaktif di Madinah, yang berakhir dengan sikap saling memuji dan mengakui kepakaran masing-masing di hadapan pengikutnya.
Peristiwa itu kemudian mendorong salah seorang murid senior Imam Abu Hanifah, yakni Imam Muhammad bin Hasan, belajar kepada Imam Malik di Madinah selama dua tahun.
Imam Syafi’i yang cukup lama menjadi murid Imam Malik dan selama sembilan tahun mengikuti Madzhab Maliki, tertarik mempelajari Madzhab Hanafi. Ia berguru kepada Imam Muhammad bin Hasan, yang waktu itu menggantikan Abu hanifah yang sudah wafat.
Ternyata Imam Muhammad bin Hasan ini sudah pernah bertemu akrab dengan Imam Syafi’i sewaktu sama-sama belajar kepada Imam Malik di Madinah. Di antara keduanya saling tertarik dan mengagumi. Itu terbukti, waktu Imam Syafi’i ditangkap oleh pemerintah Abbasiyah karena difitnah terlibat gerakan “Alawiyah” di Yaman, yang membela dan memberikan jaminan adalah Imam Muhammad bin Hasan.
Dan yang terakhir : Selama Imam Syafi’i berada di Baghdad yang kedua, Imam Ahmad bin Hambal cukup lama belajar kepada Imam Syafi’i. Kalau diperhatikan, ternyata keempat Imam Madzhab tersebut mempunyai sikap tawadlu’ dan saling menghormati. Kebesaran dan popularitas masing-masing tidak mempengaruhi sikap dan perilaku akhlaqul karimahnya. Itu merupaka citra terpuji dari para pemegang amanah keilmuan yang luar biasa. Hal demikian patut diteladani oleh para pengikut madzhab selanjutnya.[22]


BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
            Melacak akar-akar sejarah munculnya istilah ahlul sunnah waljamaah, secara etimologis bahwa aswaja sudah terkenal sejak Rosulullah SAW. Sebagai konfigurasi sejarah, maka secara umum aswaja mengalami perkembangan dengan tiga tahab secara evolutif. Pertama, tahap embrional pemikiran sunni dalam bidang teologi bersifat eklektik, yakni memilih salah satu pendapat yang dianggap paling benar. Pada tahap ini masih merupakan tahap konsolidasi, tokoh yang menjadi penggerak adalah Hasan Al-Basri (110 H/728 M). Kedua, proses konsolidasi awal mencapai puncaknya setelah Imam Al-Syafi’i (205 H/820 M) berhasil menetapkan hadist sebagai sumber hukum kedua setelah Al- qur’an dalam konstruksi pemikiran hukum Islam. Pada tahap ini, kajian dan diskusi tentang teologi sunni berlangsung secara intensif. Ketiga, merupakan kristalisasi teologi sunni disatu pihak menolak rasionalisme dogma, di lain pihak menerima metode rasional dalam memahami agama.  para Ulama’ NU di Indonesia menganggap aswaja sebagai upaya pembakuan atau menginstitusikan prinsip-prinsip tawasuth (moderat), tasamuh (toleran) dan tawazzun (seimbang) serta ta’addul (Keadilan). Perkembangan selanjutnya oleh Said Aqil Shiroj dalam mereformulasikan aswaja sebagai metode berfikir (manhaj al-fikr) keagamaan yang mencakup semua aspek kehidupan yang berdasarkan atas dasar modernisasi, menjaga keseimbangan dan toleransi, tidak lain dan tidak bukan adalah dalam rangka memberikan warna baru terhadap cetak biru (blue print) yang sudah mulai tidak menarik lagi dihadapan dunia modern.



DAFTAR PUSTAKA


Al-Hafizh Ibn Hajar, Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari, (13/
Jalal Muhammad Musa, Nasy'at al-Asy'ariyyah wa Tathawwuruha, hal. 15
Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud (3981), al-Darimi (2/241) Ahmad (16329), al-Hakim (407), al-Ajuri dalam al-Syari'ah (18), Ibn Baththah dalam al-Ibanah (277), Ibn Abi 'Ashim dalam al-Sunnah (2), dan al-Lalika'i dalam Syarh Ushul I'tiqad Ahl al-Sunnah (1/23/1). Al-Hafizh Ibn Hajar menilai hadits ini hasan dalam Takhrij al-Kasysyaf (hal. 63).

Hadits ini diriwayatkan oleh al-Tirmidzi (2091), al-Nasa'i dalam al-Kubra (9219), Ahmad (172). Al-Tirmidzi berkata: "Hadits ini hasan shahih". Dan al-Hakim menilainya shahih (356)

Hadits ini diriwayatkan oleh Ibn Majah (3950), Abd bin Humaid dalam al-Musnad (1220), al-Thabarani dalam Musnad al-Syamiyyin (2069), al-Lalika'i dalam Syarh Ushul I'tiqad Ahl al-Sunnah (153) dan Abu Nu'aim dalam Hilyat al-Auliya' (9/238). Al-Hafizh al-Suyuthi menilai hadits ini shahih dalam al-Jami' al-Shaghir (1/88). Demikian pula Syaikh Syu'aib al-Arna'uth juga menilai hadits tersebut kuat dan dapat dijadikan hujjah berdasarkan syawahid-nya dalam tahqiq Siyar A'lam al-Nubala' (12/196-197).

Hadits ini diriwayatkan oleh al-Tirmidzi (2565) dan ia mengatakan: "Hadits ini hasan dan gharib."

Al-Hafizh Abu Bakr al-Ajuri, al-Syari'ah (1/23).

Abi al-Hasan Ali ibn Ismail al-Asy’ari, al-Ibanah An Ushul al-Diyanah, Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyyah

Misrawi, Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari, Moderasi, Keumatan, Dan Kebangsaan, Jakarta : Kompas, 2010, cet. 1

Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam), Sejarah, Ajaran, dan Perkembangannya, Jakarta : Rajawali Press, 2010, cet. 1

Jamal Makmur Asmani, Manhaj Pemikiran Aswaja, dalam http://aswajacenterpati.wordpress.com/2012/04/02/manhaj-pemikiran-aswaja/ di akses Selasa, 8 Januari 2014

Hadits ini diriwayatkan oleh Ibn Abi Hatim dalam al-Tafsir (3/124), Abu Nashr dalam al-Ibanah, al-Khathib dalam Tarikh Baghdad (3/334), al-Lalika'i dalam Syarh Ushul I'tiqd Ahl al-Sunnah (1/90), Ibn Katsir dalam al-Tafsir (2/92) dan al-Suyuthi dalam al-Durr al-Mantsur (2/407).

Al-Hafizh Abu Nu’aim, Hilyat al-Auliya’, juz V

Ibn 'Abdil Barr, al-Intiqa' fi Fadhail al-A'immat al-Tsalatsah al-Fuqaha'

Al-Hafizh Jalaluddin Al-Suyuthi, Tarikh Al-Khulafa’

Al-Hafizh Ibn Asakir al-Dimasyqi, Tabyin Kidzb al-Muftari

Tajuddin as-Subki, Thabaqat al-Syafi’iyyah al-Kubra, juz 3, (Kairo: al-Halabi), Halaman 366, edisi Abdul Fattah Muhammad al-Halw dan Mahmud al-Thanahi. Dan Mu’id an-Ni’am wa Mubid an-Niqam (Kairo: al-Khanji, 1993), halaman 75, edisi Muhammad Ali an-Najjar.


Tim PWNU Jawa Timur, Aswaja An-Nahdliyah: Ajaran Ahlussunnah wa al-Jama’ah yang Berlaku di Lingkungan Nahdlatul Ulama, Surabaya: Khalista dan Lajnah Ta’lif wa Nasyr (LTN) NU Jawa Timur, 2007,



[1]Al-Hafizh Ibn Hajar, Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari, (13/245).
[2] Jalal Muhammad Musa, Nasy'at al-Asy'ariyyah wa Tathawwuruha, hal. 15
[3] Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud (3981), al-Darimi (2/241) Ahmad (16329), al-Hakim (407), al-Ajuri dalam al-Syari'ah (18), Ibn Baththah dalam al-Ibanah (277), Ibn Abi 'Ashim dalam al-Sunnah (2), dan al-Lalika'i dalam Syarh Ushul I'tiqad Ahl al-Sunnah (1/23/1). Al-Hafizh Ibn Hajar menilai hadits ini hasan dalam Takhrij al-Kasysyaf (hal. 63).
[4] Hadits ini diriwayatkan oleh al-Tirmidzi (2091), al-Nasa'i dalam al-Kubra (9219), Ahmad (172). Al-Tirmidzi berkata: "Hadits ini hasan shahih". Dan al-Hakim menilainya shahih (356)
[5] Hadits ini diriwayatkan oleh Ibn Majah (3950), Abd bin Humaid dalam al-Musnad (1220), al-Thabarani dalam Musnad al-Syamiyyin (2069), al-Lalika'i dalam Syarh Ushul I'tiqad Ahl al-Sunnah (153) dan Abu Nu'aim dalam Hilyat al-Auliya' (9/238). Al-Hafizh al-Suyuthi menilai hadits ini shahih dalam al-Jami' al-Shaghir (1/88). Demikian pula Syaikh Syu'aib al-Arna'uth juga menilai hadits tersebut kuat dan dapat dijadikan hujjah berdasarkan syawahid-nya dalam tahqiq Siyar A'lam al-Nubala' (12/196-197).
[6] Hadits ini diriwayatkan oleh al-Tirmidzi (2565) dan ia mengatakan: "Hadits ini hasan dan gharib."
[7] Al-Hafizh Abu Bakr al-Ajuri, al-Syari'ah (1/23).
[8] Lihat misalnya: Al-Syathibi, al-I'tisham (2/260-265).
[9] Abi al-Hasan Ali ibn Ismail al-Asy’ari, al-Ibanah An Ushul al-Diyanah, Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, t.t., hlm. 14
[10] Zuhairi Misrawi, Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari, Moderasi, Keumatan, Dan Kebangsaan, Jakarta : Kompas, 2010, cet. 1, hlm. 107

[11] Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam), Sejarah, Ajaran, dan Perkembangannya, Jakarta : Rajawali Press, 2010, cet. 1, hlm. 190
[12] Jamal Makmur Asmani, Manhaj Pemikiran Aswaja, dalam http://aswajacenterpati.wordpress.com/2012/04/02/manhaj-pemikiran-aswaja/ di akses Selasa, 8 Januari 2014
[13] Hadits ini diriwayatkan oleh Ibn Abi Hatim dalam al-Tafsir (3/124), Abu Nashr dalam al-Ibanah, al-Khathib dalam Tarikh Baghdad (3/334), al-Lalika'i dalam Syarh Ushul I'tiqd Ahl al-Sunnah (1/90), Ibn Katsir dalam al-Tafsir (2/92) dan al-Suyuthi dalam al-Durr al-Mantsur (2/407).
[14] Al-Hafizh Abu Nu’aim, Hilyat al-Auliya’, juz V, hal. 346
[15] Sunan al-Darimi, hadits nomor 218
[16] Shahih Muslim, bagian mukadimah
[17] Ibn al-Jauzi, Talbis Iblis, hal. 25
[18] Ibn 'Abdil Barr, al-Intiqa' fi Fadhail al-A'immat al-Tsalatsah al-Fuqaha', hal. 35
[19] Al-Hafizh Jalaluddin Al-Suyuthi, Tarikh Al-Khulafa’, hal. 253
[20] Al-Hafizh Ibn Asakir al-Dimasyqi, Tabyin Kidzb al-Muftari, hal. 164
[21] Tajuddin as-Subki, Thabaqat al-Syafi’iyyah al-Kubra, juz 3, (Kairo: al-Halabi), Halaman 366, edisi Abdul Fattah Muhammad al-Halw dan Mahmud al-Thanahi. Dan Mu’id an-Ni’am wa Mubid an-Niqam (Kairo: al-Khanji, 1993), halaman 75, edisi Muhammad Ali an-Najjar.

[22] Tim PWNU Jawa Timur, Aswaja An-Nahdliyah: Ajaran Ahlussunnah wa al-Jama’ah yang Berlaku di Lingkungan Nahdlatul Ulama, Surabaya: Khalista dan Lajnah Ta’lif wa Nasyr (LTN) NU Jawa Timur, 2007, hal, 22

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

NOVEL "JERUK MAKAN JERUK "

Pagi duniaku, Suasana pagi yang sejuk bagi seorang pemuda yang mencoba menjadi seorang pendidik di sebuah lembaga MTs dipedalaman desa...