A. QURBAN
1. Pengertian dan Hukum Qurban
Qurban berasal dari bahasa Arab yang
diambil dari kata : qaruba – yaqrabu – qurban wa
qurbaanan. Artinya, “dekat” atau “mendekatkan diri”, mendekati atau
menghampiri. Menurut istilah, qurban adalah segala sesuatu yang digunakan untuk
mendekatkan diri kepada Allah baik berupa hewan sembelihan maupun. Dengan niat ibadah guna
mendekatkan diri kepada Allah swt. Hewan yang digunakan untuk qurban adalah
binatang ternak, seperti kambing, sapi, dan unta.[1]
Dalam
bahasa Arab, hewan kurban disebut juga dengan istilah udh-hiyah atau
adh-dhahiyah , dengan bentuk jamaknya al adhaahi. Kata ini diambil dari kata
dhuha, yaitu waktu matahari mulai tegak yang disyariatkan untuk melakukan
penyembelihan kurban, yakni kira-kira pukul 07.00 – 10.00. Udh-hiyah adalah
hewan kurban (unta, sapi, dan kambing) yang disembelih pada hari raya Qurban
dan hari-hari tasyriq sebagai taqarrub (pendekatan diri) kepada Allah (Sayyid
Sabiq, Fikih Sunnah XIII/155; Al Jabari, 1994).
Ibadah qurban hukumnya sunnah muakkad, artinya sunnah
yang sangat dianjurkan bagi orang yang sudah mampu. Sebagaimana firman Allah
swt
“Sesungguhnya
Kami telah memberi kepadanya nikmat yang banyak.Maka dirikanlah salat karena
Tuhanmu,dan berkurbanlah.”(Al-Kausar:1-2)
“Dan
bagi tiap-tiap umat Telah kami syariatkan penyembelihan (kurban), supaya mereka
menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang Telah direzkikan Allah kepada
mereka, Maka Tuhanmu ialah Tuhan yang Maha Esa, Karena itu berserah dirilah
kamu kepada-Nya. dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh
(kepada Allah).”
Dan Dalam hadits dinyatakan,dari Abu Hurairah r.a.
berkata,bahwasanya Rasulullah Saw. bersabda :
وَعَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم
( مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ وَلَمْ يُضَحِّ, فَلَا يَقْرَبَنَّ مُصَلَّانَا ) رَوَاهُ
أَحْمَدُ, وَابْنُ
مَاجَه, وَصَحَّحَهُ اَلْحَاكِمُ, لَكِنْ رَجَّحَ اَلْأَئِمَّةُ غَيْرُهُ وَقْفَه
ُ
Dari Abu Hurairah
Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:
"Barangsiapa mempunyai kemudahan untuk berkurban, namun ia belum
berkurban, maka janganlah sekali-kali ia mendekati tempat sholat kami."
Riwayat Ahmad dan Ibnu Majah. Hadits shahih menurut Hakim. Hadits mauquf
menurut para imam hadits selainnya.[2]
2.
Hukum Qurban
Dalam hal ini para ulama terbagi
dalam dua pendapat:
a.
Pertama, wajib bagi orang yang berkelapangan.
Ulama yang berpendapat demikian adalah Rabi’ah (guru Imam Malik), Al Auza’i,
Abu Hanifah, Imam Ahmad dalam salah satu pendapatnya, Laits bin Sa’ad serta
sebagian ulama pengikut Imam Malik, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dan Syaikh
Ibnu ‘Utsaimin rahimahumullah. Syaikh Ibn Utsaimin mengatakan: “Pendapat
yang menyatakan wajib itu tampak lebih kuat dari pada pendapat yang menyatakan
tidak wajib. Akan tetapi hal itu hanya diwajibkan bagi yang mampu…” (lih. Syarhul
Mumti’, III/408) Diantara dalilnya adalah hadits Abu Hurairah yang
menyatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa
yang berkelapangan (harta) namun tidak mau berqurban maka jangan sekali-kali
mendekati tempat shalat kami.” (HR. Ibnu Majah 3123, Al Hakim 7672 dan
dihasankan oleh Syaikh Al Albani)
b.
Pendapat kedua menyatakan Sunnah Mu’akkadah
(ditekankan). Dan ini adalah pendapat mayoritas ulama yaitu Malik, Syafi’i,
Ahmad, Ibnu Hazm dan lain-lain. Ulama yang mengambil pendapat ini berdalil
dengan riwayat dari Abu Mas’ud Al Anshari radhiyallahu ‘anhu. Beliau
mengatakan, “Sesungguhnya aku sedang tidak akan berqurban. Padahal aku
adalah orang yang berkelapangan. Itu kulakukan karena aku khawatir kalau-kalau
tetanggaku mengira qurban itu adalah wajib bagiku.” (HR. Abdur Razzaq dan
Baihaqi dengan sanad shahih). Demikian pula dikatakan oleh Abu Sarihah, “Aku
melihat Abu Bakar dan Umar sementara mereka berdua tidak berqurban.” (HR.
Abdur Razzaaq dan Baihaqi, sanadnya shahih) Ibnu Hazm berkata, “Tidak ada
riwayat sahih dari seorang sahabatpun yang menyatakan bahwa qurban itu wajib.”[3]
Dalil-dalil di atas merupakan
dalil pokok yang digunakan masing-masing pendapat. Jika dijabarkan semuanya
menunjukkan masing-masing pendapat sama kuat. Sebagian ulama memberikan jalan
keluar dari perselisihan dengan menasehatkan: “…selayaknya bagi mereka yang
mampu, tidak meninggalkan berqurban. Karena dengan berqurban akan lebih
menenangkan hati dan melepaskan tanggungan, wallahu a’lam.”[4]
3.
Hukum Daging Qurban (makan)
a. Qurban Sunah
Setiap orang yang berkurban, dianjurkan untuk makan daging
kurbannya. Sebagaimana yang Allah tegaskan dalam Alquran:
Artinya : Dan Telah kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebahagian dari syi'ar Allah, kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya, Maka sebutlah olehmu nama Allah ketika kamu menyembelihnya dalam keadaan berdiri (dan Telah terikat). Kemudian apabila Telah roboh (mati), Maka makanlah sebahagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta. Demikianlah kami Telah menundukkan untua-unta itu kepada kamu, Mudah-mudahan kamu bersyukur.
Artinya : Dan Telah kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebahagian dari syi'ar Allah, kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya, Maka sebutlah olehmu nama Allah ketika kamu menyembelihnya dalam keadaan berdiri (dan Telah terikat). Kemudian apabila Telah roboh (mati), Maka makanlah sebahagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta. Demikianlah kami Telah menundukkan untua-unta itu kepada kamu, Mudah-mudahan kamu bersyukur.
Ulama sepakat, ayat ini berlaku untuk lurban atau hadyu
yang sunah.
b.
Qurban Nadzar
Kurban karena nadzar, termasuk kurban yang hukumnya wajib.
Ulama berbeda pendapat tentang hukum makan daging kurban wajib, bagi
shohibul kurban (pelaku qurban).
1)
Pemilik kurban
nadzar tidak boleh ikut memakannya, dan wajib dia serahkan seluruhnya kepada
orang lain. Ini adalah pendapat Hanafiyah, Syafiiyah, dan mayoritas Madzhab
Hanbali.
An-Nawawi
mengatakan:
فرع في مذاهب
العلماء في الاكل من الضحية والهدية الواجبين. قد ذكرنا أن مذهبنا أنه لا يجوز
الاكل منهما سواء كان جبرانا أو منذورا وكذا قال الاوزاعي وداود الظاهري لا يجوز
الاكل من الواجب
(pasal) tentang pendapat para ulama mengenai hukum makan
hewan qurban atau hadyu yang wajib. Telah kami tegaskan bahwa madzhab
kami berpendapat, tidak boleh makan kurban dan hadyu yang wajib, baik
karena memaksa diri sendiri atau karena nadzar. Demikian yang menjadi pendapat
Al-Auza’i, Daud Ad-Dzahiri, tidak boleh akan qurban wajib.[5]
Dalam Fatawa ar-Ramli –ulama Madzhab Syafiiyah– beliau
ditanya tentang orang yang menentukan, bahwa kambing X miliknya akan
dikurbankan. Bolehkan pemiliknya makan?
Beliau menjawab:
بأن الشاة المذكورة
تصير بلفظه المذكور أضحية, وقد زال ملكه عنها فيحرم عليه أكله من الأضحية الواجبة
Kambing yang disebutkan di pertanyaan di atas, statusnya
menjadi kambing kurban disebabkan ucapan pemiliknya (menegaskan bahwa itu untuk
qurban). Sehingga kepemilikan dia telah hilang. Karena itu, haram baginya untuk
makan daging qurban wajib.[6]
Sementara Ibnu Qudamah mengatakan:
وَإِنْ نَذَرَ
أُضْحِيَّةً فِي ذِمَّتِهِ ثُمَّ ذَبَحَهَا، فَلَهُ أَنْ يَأْكُلَ مِنْهَا.وَقَالَ
الْقَاضِي: مِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ مَنَعَ الْأَكْلَ مِنْهَا.وَهُوَ ظَاهِرُ
كَلَامِ أَحْمَدَ
Jika ada orang yang nadzar untuk qurban, kemudian dia
menyembelih qurban, maka dia boleh memakannya. Sementara al-Qodhi Abu Ya’la
menaagatakan: Diantara ulama madzhab kami (Hanbali) ada yang melarang
memakannya, dan itu yang nampak dari perkataan Imam Ahmad.[7]
2)
Shohibul kurban
boleh memakannya. Ini adalah pendapat Madzhab Maliki dan sebagian ulama hambali
Dalam Ensiklopedi Fikih dinyatakan:
أمّا إذا وجبت
الأضحيّة ففي حكم الأكل منها اختلاف الفقهاء وَوُجُوبُهَا يَكُونُ
بِالنَّذْرِ أَوْ بِالتَّعْيِينِ …. فعند المالكيّة ، والأصحّ عند الحنابلة، أنّ
له أن يأكل منها ويطعم غيره
“Untuk kurban wajib, ada perselisihan ulama tentang hukum
memakannya. Dimana qurban menjadi wajib disebabkan nadzar atau dengan
penunjukan (misal: kambing X untuk kurban tahun ini)… menurut madzhab Maliki
dan pendapat yang kuat dalam amdzhab hambali, shohibul qurban boleh memakannya,
dan mensedekahkan kepada orang lain.[8]
Dalam Fatawa Syabakah Islamiyah, terdapat kesimpulan :
ومن هنا يعلم الأخ
السائل أن حكم الأكل من الأضحية التي وجبت بالنذر أو التعيين محل خلاف بين
الفقهاء، والأحوط ترك الأكل منها
Dari sini, anda bisa menyimpulkan bahwa hukum makan daging
qurban wajib karena nadzar maupun penunjukkan, termasuk masalah yang
diperselisihkan ulama. Yang lebih hati-hati, tidak ikut memakannya.[9]
4.
Ketentuan Hewan Qurban
Yang dimaksud dengan hewan qurban tersebut adalah
binatang ternak yang dipelihara dan dikomsumsi dagingnya, misalnya unta, sapi,
kerbau, kambing, atau domba. Binatang yang sah untuk menjadi qurban, ialah yang
tidak mempunyai cacat seperti ; pincang, sangat kurus, sakit, terpotong
telinganya, dll.[10] Dikatakan
syah, jika binatang tersebut memenuhi syarat-syarat binatang/hewan yang telah
ditetap kan syariat.[11] Adapun syarat-syarat binatang/hewan untuk dijadikan qurban adalah
:
a.
Cukup umurnya
b.
Domba sekurang-kurangnya berumur satu tahun;
c.
Kambing, sekurang-kurangnya berumur dua tahun;
d.
Unta sekurang-kurangnya berumur empat tahun dan masuk
tahun kelima;
e.
Sapi, sekurang-kurangnya berumur dua tahun dan masuk
tahun ketiga.
وَعَنْ جَابِرٍ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ
صلى الله عليه وسلم ( لَا تَذْبَحُوا إِلَّا مُسِنَّةً, إِلَّا أَنْ يَعْسُرَ
عَلَيْكُمْ فَتَذْبَحُوا جَذَعَةً مِنَ اَلضَّأْنِ ) رَوَاهُ مُسْلِم
Dari
Jabir bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Jangan
menyembelih kecuali hewan yang umurnya masuk tahun ketiga. Bila engkau sulit
mendapatkannya, sembelihlah kambing yang umurnya masuk tahun kelima."
Riwayat Muslim.
·
Tidak cacat , Tidak sakit, Tidak pincang, Tidak buta, Tidak kurus, Tidak putus telinga atau tanduknya[12]. Sebagaimana hadits Rasulullah SAW :
وَعَنِ اَلْبَرَاءِ بنِ عَازِبٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَامَ فِينَا رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ: ( أَرْبَعٌ لَا تَجُوزُ فِي اَلضَّحَايَا: اَلْعَوْرَاءُ اَلْبَيِّنُ عَوَرُهَا, وَالْمَرِيضَةُ اَلْبَيِّنُ مَرَضُهَا, وَالْعَرْجَاءُ اَلْبَيِّنُ ظَلْعُهَ وَالْكَسِيرَةُ اَلَّتِي لَا تُنْقِي ) رَوَاهُ اَلْخَمْسَة ُ وَصَحَّحَهُ اَلتِّرْمِذِيُّ, وَابْنُ حِبَّان
Al-Bara'
Ibnu 'Azib Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa
Sallam berdiri di tengah-tengah kami dan bersabda: "Empat macam hewan yang
tidak boleh dijadikan kurban, yaitu: yang tampak jelas butanya, tampak jelas
sakitnya, tampak jelas pincangnya, dan hewan tua yang tidak bersum-sum."
Riwayat Ahmad dan Imam Empat. Hadits shahih menurut Tirmidzi dna Ibnu Hibban
·
Waktu penyembelihan Qurban
Waktu penyembelihannya
ialah sesudah shalat ‘Idul Adha, dan akhir waktunya ialah ‘Ashar hari tasyriq,
yakni sejak tanggal 10 Dzulhijah hingga terbenamnya matahari tanggal 13
Dzulhijah.
وَعَنْ
جُنْدُبِ بْنِ سُفْيَانَ رضي الله عنه قَالَ: ( شَهِدْتُ اَلْأَضْحَى مَعَ رَسُولِ
اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَلَمَّا قَضَى صَلَاتَهُ بِالنَّاسِ, نَظَرَ إِلَى
غَنَمٍ قَدْ ذُبِحَتْ, فَقَالَ: مَنْ ذَبَحَ قَبْلَ اَلصَّلَاةِ فَلْيَذْبَحْ
شَاةً مَكَانَهَا, وَمَنْ لَمْ يَكُنْ ذَبَحَ فَلْيَذْبَحْ عَلَى اسْمِ اَللَّهِ
) مُتَّفَقٌ عَلَيْه ِ
Jundab
Ibnu Sufyan Radliyallaahu 'anhu berkata: Aku mengalami hari raya Adlha bersama
Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam Setelah beliau selesai sholat bersama
orang-orang, beliau melihat seekor kambing telah disembelih. Beliau bersabda:
"Barangsiapa menyembelih sebelum sholat, hendaknya ia menyembelih seekor
kambing lagi sebagai gantinya; dan barangsiapa belum menyembelih, hendaknya ia
menyembelih dengan nama Allah." Muttafaq Alaihi.
5. Sunnah-sunnah
waktu menyembelih Qurban
Disunnahkan sewaktu
menyembelih korban beberapa perkara berikut ini :
a.
Membaca “Bismillah Wallahu Akbar” dan Shalawat atas
Nabi s.a.w.
b.
Orang yang berkurban sendiri disunnatkan
menyembelihnya, dan jika ia wakil menyembelihkannya, maka
disunnatkan ia hadir ketika menyembelih.
c.
Berdoa supaya kurban diterima Allah.
Sunnat
membaca do’a :
بِسْمِ اَللَّهِ,
اَللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْ مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ, وَمِنْ أُمّةِ مُحَمَّدٍ )
"Dengan
nama Allah. Ya Allah, terimalah (kurban ini) dari Muhammad, keluarganya, dan
umatnya." Kemudian beliau berkurban dengannya.”
6. Hikmah Qurban
Qurban merupakan satu bentuk ibadah yang mempunyai dua
dimensi, yaitu dimensi illahiyah dan dimensi social. Melaksanakan qurban berarti
mentaati syariat Allah swt, yang membawa pahala baginya. Selain itu, qurban
berarti memberikan kebahagian bagi orang lain, khususnya faqir miskin untuk
dapat menikmati daging hewan qurban.[14]
Ada beberapa hikmah yang dapat kita ambil dari
disyariatkannya qurban, antara lain :
a.
Akan menambah cinta dan keimanannya kepada Allah Swt.
b.
Sebagai rasa syukur pada Allah Swt. atas karunia yang
dilimpahkan pada dirinya.
c.
Menambah rasa peduli dan tolong-menolong kepada orang
lainyang kurang mampu.
d.
Akan menambah persatuan dan kesatuan karena ibadah
kurban melibatkan seluruh lapisan masyarakat.[15]
B. AQIQAH
1.
Pengertian Aqiqah
Aqiqah
berasal dari kata aqiq yang berarti rambut bayi
yang baru lahir. Karena itu aqiqah selalu diartikan mengadakan, selamatan
lahirnya seorang bayi dengan menyembelih hewan (sekurangnya seekor kambing).[16] Menurut
istilah syara’ artinya menyembelih ternak pada hari ketujuh dari kelahiran
anak, yang pada hari itu anak diberi nama dan rambutnya di potong.[17]
Sebenarnya
banyak sekali pengertian aqiqah, namun dari kesemuanya dapat diambil titik
tengah sebagai berikut:
a. Aqiqah merupakan
upacara ritual yang dilaksanakan pada saat lahirnya keluarga baru atau
kelahiran baru.
b. Upacara ritual aqiqah
terdiri dari beberapa bagian anatara lain menyembelih hewan, memotong rambut,
sedekah, pemberian nama, serta acara lainnya.
c. Inti aqiqah adalah
ungkapan rasa syukur yang dituangkan dalam kurban, sedekah, emas atau perak
ataupun berupa makanan.[18]
d. Dasar Hukum Aqiqah
Hukum Aqiqah adalah sunnah muakkad, sekalipun
orang tua dalam keadaan sulit, “Aqiqah dilakukan Rasulullah dan Sahabat”.
Seperti diketahui kelahiran seorang bayi merupakan berita yang sangat menggembirakan
bagi orang tua karena itu sudah sepantasnya dirayakan dengan diselamati sebagai
tanda syukur pada Allah swt. Tetapi kemiskinan dan kekayaan diantara umat islam
menjadikan aqiqah sulit dilaksanakan apibila hukumnya wajib bagi orang miskin. Perintah
Nabi berkenaan dengan penyembelihan aqiqah ini sudah disepakati oleh seluruh
madzhab sebagai anjuran (amar-linnadab) bukan (amar-liwujub) atau
perintah wajib. Ini berarti apabila ada keluarga yang sama sekali tidak
menyembelih aqiqah untuk anak-anaknya, maka tidak ada dosa atau hutang baginya
untuk membayarnya dimasa tua atau setelah kaya nanti. Akan tetapi dalam
pandangan lain terdapat di dalam hadis Rasulullah yang berbunyi:
كُلُّ غُلاَمٍ رَهِيْـنَـةٌ بِـعَـقِـيْقَتِهِ
تُذْبَحُ عَـنْـهُ يَـوْمَ سَابِـعِـهِ وَيُـسَـمَّى فِيْـهِ وَيُـحْلَـقُ
رَأْسُـهُ
“Setiap anak yang
lahir tergadai aqiqahnya yang disembelih pada hari ketujuh, dan pada hari itu
ia diberi nama dan digunduli rambutnya.” (Hadits Sahih Riwayat Ahmad, Abu Daud,
Tirmidzi, Nasa’I, Ibnu Majah, Baihaqi dan Hakim).[19]
Menurut
hadis diatas ada yang menyatakan bahwa menyembelih hewan aqiqah itu wajib dan
bila dimasa kecilnya belum di aqiqahkan maka setelah tua dia sendiri wajib
mengeluarkan aqiqahnya.
Menurut
madzhab Hanafi, aqiqah hukumnya mubah dan tidak sampai mustahab (dianjurkan).
Hal itu dikarenakan pensyariatan qurban telah menghapus seluruh syariat
sebelumnya yang berupa penumpahan darah hewan seperti aqiqah, rajabiyah dan ‘atirah.
Dengan
demikian, siapa yang mau mengerjakan ketiga hal ini tetap diperbolehkan,
sebagaimana juga dibolehkan tidak mengerjakannya. Penghapusan seluruh hal ini
berlandaskan pada ucapan Aisyah, “Syariat kurban telah menghapus seluruh
syariat berkenaan dengan penyembelihan hewan yang dilakukan sebelumnya”.[20]
2.
Ketentuan Hewan Aqiqah
Banyak
ulama berpendapat bahwa semua hewan yang dijadikan hewan kurban, yaitu: unta,
sapi, kerbau, kambing, domba, dapat dijadikan hewan aqiqah.[21] Sedangkan
syarat-syarat hewan yang dapat disunahkan untuk aqiqah itu sama dengan syarat yang
ada pada hewan kurban, baik dari segi jenisnya, ketidak cacatannya,
kejelasannya.
Syarat-syarat
hewan yang bisa (sah) untuk dijadikan aqiqah itu sama dengan syarat-syarat
hewan untuk kurban, yaitu:
a. Tidak cacat.
b. Tidak berpenyakit.
c. Cukup umur, yaitu kira-kira
berumur satu tahun.
d. Warna bulu sebaiknya
memilih yang berwarna putih.[22]
Jenis
hewan yang disembelih Rasulullah saw dalam aqiah saat itu bukanlah inti drii
aqiqah itu sendiri, sehingga andaikan diubah dengan seekor burung kecil bahkan
tidak menyembelih hewan melainkan sekedar nasi dan lauk pauk pun selama berniat
mensyukuri nikmat lahirnya putra sah disebut aqiqah.[23]
3.
Pelaksanaan Aqiqah
Ada dua hadis yang
menerangkan tentang jumlah binatang aqiqah yang disembelih untuk seorang anak.
Hadist yang pertama, menerangkan bahwa Rasulullah saw mengaqiqahkan cucu
laki-laki beliau, masing-masing dengan seekor kambing.
(ا (رواه أبو داودعَنْ ابْنِ
عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَقَّ عَنْ
الْحَسَنِ وَالْحُسَيْنِ كَبْشًا كَبْشً
Artinya: “Dari Ibnu Abbas, bahwasannya Rasulullah SAW mengaqiqahi untuk
hasan dan Husain dengan masing-masing satu kambing (HR Abu Daud dengan riwayat
yang shahih).”[24]
Sedangkan
hadis yang kedua menerangkan bahwa seorang anak laki-laki diaqiqahkan dengan
dua ekor kambing, sedang anak perempuan diaqiqahkan dengan seekor kambing.[25] Sabda
Rasulullah SAW:
عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ قَاَلَ : قَاَلَ رَسُوْلُ
اللّهِ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَنْ اَحَبَّ مِنْكُمْ اَنْ يُنْسَكَ
عَنِ
وَلَدِهِ فَلْيَفْعَلْ
عَنِ الْغُلاَمِ شاَتَاَنِ مُكاَفأَ َتاَنِ وَعَنِ الْجاَ رِيَةِ شاَةٌ . (رواه
احمد وابو داود والنسائى)
Artinya : ” Telah berkata Rasulullah SAW : Barang siapa diantara kamu ingin
beribadat tentang anaknya hendaklah dilakukannya, untuk anak laki-laki dua ekor kambing yang
sama umurnya dan
untuk anak perempuan seekor kambing .HR. Ahmad, Abu Daud dan Nasai.
Sunnah
untuk mengaqiqahi anak laki-laki dengan dua ekor kambing ini hanya berlaku
untuk orang yang mampu melaksanakannya, karena tidak semua orang untuk
mengaqiqahi bayi laki-laki dengan dua kambing. Ini termasuk pendapat yang
wasath (tengah-tengah) yang menghimpun berbagai dalil.[26]
Menurut
banyak ulama’ aqiqah itu hanya berlaku bagi anak kecil, namun sebagian ulama
lain menyatakan bahwa aqiqah boleh dilakukan setelah seseorang itu dewasa.[27] Penyembelihan
hewan aqiqah sebaiknya dilaksanakan pada hari ke-7 atau hari ke-14 dan jika
tidak bisa maka kapan saja.
Dari
kedua pendapat ini dapat diambil kesimpulan bahwa penyembelihan aqiqah yang
paling baik ialah dilakukan pada hari ke-7 dari hari kelahiran seorang anak,
sedang bagi orang yang belum diaqiqahkan, maka aqiqah itu dapat dilakukan
setelah umur dewasa.
Perbuatan-perbuatan
yang baik dilakukan pada waktu anak baru lahir, antara lain:
a. Mengadzankan dan
mengiqamatkan
Disunatkan
mengazankan anak laki-laki dan mengiqomatkan anak perempuan yang baru lahir, sehingga
kata-kata yang pertama kali dienegar oleh seorang anak yang baru lahir itu
adalah perkataan yang baik.
b. Memberi nama
Rasulullah
menganjurkan agar orang tua segera memberi nama anaknya yang baru lahir. Para
ulama sepakat bahwa perkataan yang dijadikan nama anak yang baru lahir itu
adalah perkataan yang mempunyai arti yang baik seperti Abdullah. Dan haram
hukumnya memberi nama anak dengan perkataan yang mengandung unsur atau arti
syirik, seperti abdul uzza, abdul ka’bah dan sebagainya.
c. Mencukur rambut
Sunat
hukumnya mencukur rambut anak yang baru lahir, sekurang-kurangnya menggunting
tiga helai rambut. Biasanya dilakukan waktu mengaqiqahkannya dan waktu memberi
nama. Menurut imam malik, disamping mencukur rambut rambut sunat pula hukumnya
besedekah, sekurang-kurangnya seharga perak seberat rambut yang dipotong itu.[28]
Ada
beberapa hal yang harus dilakukan dalam mencukur rambut bayi, yaitu:
1) Diawali dengan
membaca basmallah.
2) Arah mencukur rambut
dari sebelah kanan ke kiri.
3) Dicukur secara
keseluruhan (gundul) sehingga tidak ada kotoran yang tersisa.
4) Rambut hasil cukuran
ditimbang dan jumlah timbangan dinilai dengan nilai emas atau perak kemudian
disedekahkan kepada fakir miskin.[29]
4.
Tata cara pembagian daging aqiqah.
Dalam
pembagian daging aqiqah sama dengan pembagian daging qurban namun ada beberapa
perbedaan dalam aqiqah diantaranya:
a. Disunnahkan memasak
daging sembelihan aqiqah dan tidak memberikannya dalam keadaan mentah. Imam
Ibnul Qayyim dalam kitabnya Tuhfatul Maudud, yang berbunyi: “ memasak daging
aqiqah termasuk sunnah.” [30]
b. Disunahkan untuk
memakan sebagian daging aqiqah serta menghadiahkan dan menyedekahkan
masing-masing sebanyak sepertiga dari daging seperti hewan qurban
5.
ORANG YANG AQIQAH
BOLEH MEMAKAN, BERSEDEKAH, MEMBERI MAKAN, DAN MENGHADIAHKAN DAGING
SEMBELIHANNYA, TETAPI YANG LEBIH UTAMA JIKA SEMUA DIAMALKAN
Imam Ibnu
Qayyim rahimahullah dalam kitabnya,[31]
berkata : “Karena tidak ada dalil dari Rasulullah tentang cara penggunaan atau
pembagian dagingnya maka kita kembali ke hokum asal, yaitu seseorang yang
melaksanakan aqiqah boleh memakannya, memberi makan dengannya, bersedekah
dengannya kepada orang fakir miskin atau menghadiahkannya kepada teman-teman
atau karib kerabat. Akan tetapi lebih utama kalau diamalkan semuanya, karena
dengan demikian akan membuat senang teman-temannya yang ikut menikmati daging
tersebut, berbuat baik kepada fakir miskin, dan akan memuat saling cinta antar
sesama teman. Kita memohon taufiq dan kebenaran kepada Allah Ta'ala”.[32]
BAB III
Penutup
Kesimpulan
Qurban yaitu menyembelih hewan dengan tujuan untuk ibadat kepada Allah pada
hari raya Adha dan hari-hari Tasyriq, yaitu tanggal 11, 12 ,dan 13 Dzulhijjah. Dengan
niat ibadah guna mendekatkan diri kepada Allah swt. Hewan yang digunakan untuk
qurban adalah binatang ternak, seperti kambing, sapi, dan unta.
Qurban merupakan satu bentuk ibadah yang mempunyai dua dimensi, yaitu dimensi
illahiyah dan dimensi social. Melaksanakan qurban berarti mentaati syariat
Allah swt, yang membawa pahala baginya. Selain itu, qurban berarti memberikan
kebahagian bagi orang lain, khususnya faqir miskin untuk dapat menikmati daging
hewan qurban.
Aqiqah adalah Menyembelih hewan tertentu sehubungan dengan kelahiran anak,
sesuai dengan ketentuan syara’. Sedangkan menurut pendapat lain adalah
menyembelih kambing pada hari ketujuh dari kelahiran seorang bayi. Apabila bayi
yang lahir itu laki-laki, aqiqahnya adalah duaekor kambing. Apabila bayi itu
perempuan, aqiqahnya satu ekor kambing.
Demikian makalah yang dapat kami sampaikan.
Semoga apa yanag terdapat dalam pembahasan makalah ini dapat bermanfaat bagi
kita semua pada umumnya, dan kususnya bagi para pembaca. Apabila dalam makalah
ini terdapat kesalahan baik dalam penulisan maupun pemaparannya, kami selaku
pemakalah mohon maaf. Tidak lupa kami mengharapka kritik dan saran yang
membangun, sehingga dapat dijadikan bahan perbaikan makalah yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Asqalani,
Ibnu Hajar, Bulughul Maram, (Beirut: Maktabah Tajariyatil Kubro)
Az-Zuhaili,
Wahbah, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, (Depok:
Gema Insani, 2011).
Bakry,
Hasbullah, Pedoman Islam di Indonesia, (Jakarta: Universitas
Indonesia (UI-Press), 1988).
Daradjat,
Zakiah, dkk., Ilmu Fiqih, (Jakarta:
Pusat Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam, 1983).
Idris, Abdul
Fatah, Abu Ahmadi, Fiqih Islam Lengkap, (Jakarta: Rineka Cipta, 1990).
Muhammad
‘Ishom bin Mar’I, Abu, Aqiqah (Perayaan Aqiqah Menurut Islam), (Yogyakarta:
Litera Sunny, 1997).
Saleh, Hasan, Kajian Fiqh Nabawi Dan Fiqh
Kontemporer, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008).
Ulama’I, A.
Hasan Asy’ari, Aqiqah dengan Burung pipit, (Semarang: Syar Media
Publishing, 2010).
http://a2dcollection.blogspot.com/2012/01/pengertian-dan-sejarah-aqiqah-aqiqah.html diambil pada tanggal 26 November 2013.
Dian Rosyidah, dkk, Fiqih untuk Kelas IX
untuk MTs dan SMP Islam, Jakarta : Arafah Mitra Utama, 2008.
Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, Jakarta :
Attahiriyah, cetakan ke 17, 1954.
Muhammad Cholis, dkk, Pendidikan Agama Islam,
Malang : Penerbit Universitas Negeri Malang, 2010.
Moh Rifa’i,Fiqih untuk Madrasah Aliyah,
Semarang : PT Wicaksana, 1991.
[1] Dian
Rosyidah, dkk, Fiqih untuk Kelas IX untuk MTs dan SMP Islam, Jakarta
: Arafah Mitra Utama, 2008, hal 13
[2] Muhammad
Cholis, dkk, Pendidikan Agama Islam, Malang
: Penerbit Universitas Negeri Malang, 2010, hal 50
[3] Shahih
Fiqih Sunnah, II/367-368, Taudhihul Ahkaam, IV/454)
[4] Tafsir
Adwa’ul Bayan, 1120
[5] al-Majmu’, 8:418
[6] Fatawa ar-Ramli, 4:69
[7] al-Mughni, :/444
[8] al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah,
6/115
[9] Fatawa Syabakah Islamiyah, no.
103330
[10] Sulaiman
Rasjid, Fiqih Islam, Jakarta
: Attahiriyah, cetakan ke 17, 1954, hal 448
[11] Muhammad
Cholis, dkk, Pendidikan Agama Islam, Malang
: Penerbit Universitas Negeri Malang, 2010, hal 54
[12] Dian
Rosyidah, dkk, Fiqih untuk Kelas IX untuk MTs dan SMP Islam, Jakarta
: Arafah Mitra Utama, 2008, hal 15-16 lihat juga di Sulaiman Rasjid, fiqih
Islam, hal : 448,
[13] Sulaiman
Rasjid, Fiqih Islam, Jakarta
: Attahiriyah, cetakan ke 17, 1954, hal 450
[14] Dian
Rosyidah, dkk, Fiqih untuk Kelas IX untuk MTs dan SMP Islam, Jakarta
: Arafah Mitra Utama, 2008, hal 18
[15] Moh
Rifa’i,Fiqih untuk Madrasah Aliyah, Semarang : PT Wicaksana, 1991, hal :
180
[16] Hasbullah
Bakry, Pedoman Islam di Indonesia, (Jakarta:
Universitas Indonesia (UI-Press), 1988), hlm. 263
[17] Hasbullah Bakry, Pedoman Islam di Indonesia, (Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Press),
1988), hlm. 263
[19] A. Hasan Asy’ari Ulama’I, Aqiqah dengan Burung pipit, (Semarang: Syar Media Publishing, 2010),
hlm. 19
[20] http://a2dcollection.blogspot.com/2012/01/pengertian-dan-sejarah-aqiqah-aqiqah.html diambil pada tanggal 09/10/2015
[21] Hasan Saleh, Kajian Fiqh Nabawi Dan Fiqh Kontemporer, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008),
hlm. 259.
[22] http://a2dcollection.blogspot.com/2012/01/pengertian-dan-sejarah-aqiqah-aqiqah.html diambil pada tanggal 09/10/2015
[23] A. Hasan Asy’ari Ulama’I, Aqiqah dengan Burung pipit, (Semarang: Syar Media Publishing, 2010),
hlm. 109
[25] Zakiah Daradjat, dkk., Ilmu Fiqih, (Jakarta: Pusat Direktorat Pembinaan
Perguruan Tinggi Agama Islam, 1983), hlm. 500-501
[26] Abu Muhammad ‘Ishom bin Mar’I, Aqiqah (Perayaan Aqiqah Menurut Islam), (Yogyakarta: Litera Sunny, 1997), hlm. 31
[27] Hasan Saleh, Kajian Fiqh Nabawi Dan Fiqh Kontemporer, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008),
hlm. 260-261
Tidak ada komentar:
Posting Komentar