Jumat, 19 Januari 2018

ASPEK ONTOLOGI DALAM KOMUNIKASI PRESPEKTIF ISLAM




BAB I
PENDAHULUAN

1.                  Latar Belakang Masalah
Ilmu komunikasi merupakan cabang ilmu baru dalam ilmu sosial, namun tetap berinduk pada filsafat sebagai ibu dari segala ilmu. Cukup banyak yang membahas mengenai pertumbuhan ilmu komunikasi pada awalnya. Tercatat kembali pada awal ditemukannya mesin cetak oleh Gutenberg (1457) meski pada dasarnya komunikasi telah ada jauh sebelum itu. Padahal, pada abad-abad sebelumnya, aktifitas komunikasi sudah berkembang cukup pesat yang berlangsung di zaman pertengahan (persebaran agama). Mungkin masa ketika diketemukannya mesin cetak itu sendiri terjadi di zaman renaissance, dimana pemikiran-pemikiran ilmuwan telah bebas dari dogma-dogma agama.
Nina Syam (2010:65) membagi sejarah perkembangan filsafat ilmu komunikasi menjadi beberapa fase, diantaranya fase Yunani yang ditandai dengan masa demokrasi klasik, kaum sofis dan aliran socrates. Lalu, perkembangan filsafat komunikasi di Romawi, Eropa, Amerika hingga pada fase perkembangan komunikasi islam yang berkembang di timur tengah pada kisaran abad ke-6[1].
Sehingga mereka tidak menyinggung masa persebaran agama sebagai bagian dari sejarah perkembangan komunikasi itu sendiri. Rentang waktu antara tahun 500 SM (masa-masa pemikiran retorika di Yunani kuno) sampai pada penemuan mesin cetak (1457 M) merupakan abad-abad dimana terdapat proses perkembangan komunikasi yang dalam hal ini berbentuk ajaran dan keyakinan suatu agama. Namun tentunya, makalah ini tidak akan membahas mengenai perkembangan agama, melainkan perkembangan ilmu komunikasi dipandang dari segi ontologi.
Berbicara mengenai komunikasi tentunya tidak terlepas dari apa yang dinamakan retorika yang terjadi di zaman Yunani kuno, sehingga menimbulkan pemahaman bagi pemikir-pemikir barat bahwa perkembangan komunikasi pada zaman itu mengalami masa kegelapan (dark ages) karena tidak berkembang di zaman Romawi kuno. Dan baru mulai dicatat perkembangannya pada masa ditemukannya mesin cetak oleh Guttenberg (1457). Sehingga masalah yang muncul adalah, rentang waktu antara perkembangan ilmu komunikasi yang awalnya dikenal retorika pada masa Yunani kuno, sampai pada pencatatan sejarah komunikasi pada masa pemikiran tokoh-tokoh pada abad 19, sangat jauh.
Kemudian, sejarah perkembangan ilmu komunikasi itu sendiri terputus kira-kira 1400 tahun. Padahal menurut catatan lain, sebenarnya aktifitas retorika yang dilakukan pada zaman Yunani kuno juga dilanjutkan perkembangan aktifitasnya pada zaman pertengahan (masa persebaran agama). Sehingga menimbulkan asumsi bahwa perkembangan komunikasi itu menjadi sebuah ilmu tidak pernah terputus, artinya tidak ada mata rantai sejarah yang hilang pada perkembangan komunikasi.
Padahal perkembangan komunikasi yang terjadi di zaman Romawi (sebagai perkembangan dari Yunani kuno sekitar tahun 500 SM-5 M) mengalami kendala, karena pada masa itu Romawi mengalami masa kegelapan (dark ages). Padahal, masa kegelapan yang terjadi di Eropah ini merupakan sisi lain dari masa keemasan peradaban Islam, dimana pada masa ini perkembangan ilmu pengetahuan (termasuk aktifitas komunikasi) cukup signifikan.

Perkembangan komunikasi juga sangat maju pesat di Cina yang telah dimulai pada tahun 550 SM. Memang, aktifitas komunkasi dalam bentuk retorika yang berlangsung di Cina dan Islam ini lebih menekankan pada penyebaran ajaran dan keyakinan[2].


Namun, jika dilihat dari ranah ontologi yang memiliki arti wujud atau ‘ada’ ilmu komunikasi tak dapat dilepaskan dari aspek ini. Istilah ontologi, secara bahasa berasal dari bahasa yunani, ontos dan logos. Ontos berarti sesuatu yang berwujud, sedangkan logos berarti ilmu atau teori. Dengan demikian secara bahasa ontologi dapat diartikan sebagai ilmu atau teori tentang wujud, tentang hakikat yang ada. Sedangkan yang dimaksud ontologi dalam pengertian terminologisnya adalah kajian tentang hakikat segala sesuatu atau realitas yang ada yang memiliki sifat universal, untuk memahami adanya eksistensi[3].
Dalam kaitannya dengan ilmu pengetahuan, maka ontologi adalah kajian filosofis tentang hakikat keberadaan ilmu pengetahuan, apa dan bagaimana sebenarnya ilmu pengetahuan yang ada itu. Paradigma ilmu pada dasarnya berisi jawaban atas pertanyaan fundamental proses keilmuan manusia, yakni bagaimana, apa, dan untuk apa. Maka tiga pertanyaan dasar tadi kemudian dirumuskan menjadi beberapa dimensi, dan salah satunya ialah; dimensi ontologis, pertanyaan yang harus dijawab pada dimensi ini adalah: apa sebenarnya hakikat dari sesuatu yang dapat diketahui, atau apa sebenarnya hakikat dari suatu realitas. Dengan demikian dimensi yang dipertanyakan adalah hal yang nyata.
Dalam kaitan dengan ilmu, aspek ontologis mempertanyakan tentang objek yang ditelaah oleh ilmu. Secara ontologis ilmu membatasi lingkup penelaahan keilmuannya hanya pada daerah yang berada dalam jangkauan pengalaman manusia dan terbatas pada hal yang sesuai dengan akal manusia.[4]
Ontologi membahas tentang yang ada, yang tidak terikat oleh satu perwujudan tertentu. Membahas tentang yang ada, yang universal, dan menampilkan pemikiran semesta universal. Berupaya mencari inti yang temuat dalam setiap kenyataan, dan menjelaskan yang ada yang meliputi semua realitas dalam semua bentuknya.
Berkaitan dengan komunikasi prespektif islam hingga kini masih menjadi perbincangan menarik dikalangan akademisi. Oleh sebab itu, dalam makalah ini akan membahas mengenai aspek-aspek mengenai ontologi komunikasi dalam prespektif islam.

2.                  Rumusan Masalah
Dari paparan latar belakang masalah di atas, penulis merumuskan makalah ini ‘Bagaimana Aspek Ontologi Dalam Komunikasi Prespektif Islam?’ dari rumusan tersebut ada beberapa sub pertanyaan untuk mempermudah dapam indentifikasi.
1.      Apa pengertian ontologi, komunikasi dan Islam melalui filsafat?
2.      Seperti apa komunikasi prespektif islam dan ontologi komunikasi?
3.      Bagaiamana aspek ontologi komunikasi presfektif Islam?

3.                  Tujuan
1.      Mengetahui pengertian ontologi, komunikasi dan Islam melalui filsafat.
2.      Mengetahui seperti apa komunikasi prespektif islam dan ontologi komunikasi.
3.      Mengetahui bagaiamana aspek ontologi komunikasi presfektif Islam.









BAB II
PEMBAHASAN
2.1  Ontologi
2.1.1        Pengertian Ontologi
Istilah ontologi, secara bahasa berasal dari bahasa yunani, ontos dan logos. Ontos berarti sesuatu yang berwujud, sedangkan logos berarti ilmu atau teori. Dengan demikian secara bahasa ontologi dapat diartikan sebagai ilmu atau teori tentang wujud, tentang hakikat yang ada. Sedangkan yang dimaksud ontologi dalam pengertian terminologisnya adalah kajian tentang hakikat segala sesuatu atau realitas yang ada yang memiliki sifat universal, untuk memahami adanya eksistensi[5].
Ontologi : hakikat apa yang dikaji, penyelidikan prinsip-prinsip realita. Menurut Syam (1988) ontologi kadang-kadang disamakan dengan metafisika. Sebelum menyelidiki yang lain, manusia berusaha mengerti hakikat sesuatu. Dalam berinteraksi dengan alam semesta, manusia melahirkan berbagai pertanyaan  filosofis, di antaranya ; apakah sesungguhnya hakikat realita yang ada ini, apakah realita yang nampak ini suatu realitas materi saja, ataukah ada sesuatu dibalik realita itu, satu "rahasia" alam. Apakah wujud semesta ini bersifat tetap, kekal tanpa perubahan. Ataukah hakikat semesta ini adalah perubahan semata-mata. Apakah realita ini terbentuk satu unsur (monisme), dua unsur (dualisme), ataukah lebih dari dua unsur (pluralisme)[6].
Istilah ontologi berasal dari bahasa Yunani yaitu “on” atau “ontos” artinya yang berada dan “logos” yang berarti ilmu pengetahuan atau ajaran. Dengan demikian secara etimologi, ontologi berarti ilmu pengetahuan atau ajaran tentang yang berada. Istilah ontologi dipopulerkan oleh Christian Wolff (1679-1714). Ontologi dipersamakan dengan istilah “metafisika”. Para ahli yang mempersamakan ontologi dengan metafisika adalah Nicolai Hartmann seorang ahli ontologi dan Gottfried Martin di dalam bukunya Allgemein Metaphysic[7].
Nina Syam (2010:92) memaparkan bahwa ontologi merupakan metafisika umum yang membicarakan tentang hal ‘ada’ (being). Metafisika sendiri berasal dari bahasa Yunani, meta dan taphisica, diartikan sebagai yang ada dibalik atau dibelakang benada-benda fisik. Aristoteles tidak menggunakan istilah metafisika melainkan proto philosophia (filsafat pertama).
Penulis dapat menyimpulkan bahwa ontologi yaitu merupakan suatu teori/ilmu yang mengkaji tentang wujud atau ‘ada’ dan asal mula hakikat suatu kehidupan di dunia yang bersifat realitas dengan melihat dari sisi belakang atau dibalik benda-benada fisik, serta ilmu yang membahas tentang hakikat yang ada, yang merupakan ultimate reality, baik yang berbentuk jasmani/konkret, maupun rohani/abstrak.
Namun, jika dilihat dari metafisika maka akan terbagi lagi menjadi metafisika umum dan khusus. untuk antologi yakni metafisika umum yang mengkaji tetang hal ‘ada’.Sedangkan untuk metafisika khusus akan dibagi menjadi tiga bagian, yakni hakikat manusia dalam psikologi dan antropologi, hakikat alam semesta dalam kosmologi, serta hakikat keberadaan Tuhan yakni teologi[8].

2.1.2        Aliran dalam Ontologi
Dalam ontologi, terdapat beberapa aliran didalamnya, diataranya yakni Materialisme, Idealisme, Dualisme, Agnoticisme namun ada pula yang menjabarkan adanya aliran Pragmatisme, Monoisme yang didalamnya terdapat Metrealisme serta Idealisme, serta ada pula aliran Nihilisme dan Pluralisme. Bahkan adapula yang menyebutkan bahwa Islam termasuk di didalam aliran otologi ini.
Penulis akan memaparkan beragam aliran yang ada dalam ontologi:
a.      Idealisme
Tokoh utama dalam aliran ini ialah Plato dengan ajarannya yang terkenal yaitu; bahwa ia telah mengatakan seuatu yang nyata atau riil itu adalah sesuatu yang berada di ruang idea. Menurutnya idea merupakan gambaran yang jelas tentang dunia realita yang ditangkap oleh panca indra manusia[9].
Kaum idealisme berkayakinan, bahwa apa yang tampak dalam alam realitas bukanlah merupakan sesuatu yang riil, tetapi lebih merupakan bayangan atas apa yang bersemayam dalam alam pikiran manusia. Menurutnya realitas kebenaran dan kebaikan sebagai idea telah dibawa manusia sejak ia dilahirkan, dan karenanya bersifat tetap dan abadi.
Kaum idealis meyakini bahwa pengetahuan sesungguhnya adalah hasil atau produk akal, karena akal merupakan seuatu kemampuan melihat secara tajam bentuk-bentuk spritual murni dari sesuatu yang melampau bentuk materialnya. Kaum idealisme memandang segala sesuatu serba cita atau serba utuh[10].
Pengetahuan yang dihasilkan indra tidak akan pernah menjadi pengetahuan yang hakiki atau sebenarnya tanpa pernah membiarkan akalnya untuk menyusun pengetahuan yang memadai tentang apa yang dirasakan indara tersebut. Menurut aliran ini, pengetahuan adalah suatu bagian dari pemikiran manusia yang dikategorisasikan melalui alam yang objektif yang mana itu ditangkap oleh indra manusia. Oleh karena itu, objek pengetahuan haruslah melalui idea-idea yang seluruh koneksitasnya bersifat sistematis.
   Plato menempatkan konsep “the idea of the good” ini sebagai sesuatu yang sangat penting dan strategis dalam mengembangkan proses pendidikan. Ajaran filsafat Plato tentang idea memberikan keyakinan bahwa idea dapat meningkatkan kemampuan rasio manusia. Idea memiliki hubungan langsung dengan putusan-putusan rasio yang mengarah pada pembentukan sikap[11].
Plato sependapat dengan gurunya Socrates yang mengatakan bahwa pengetahuan yang diterima melalui panca indra mesti selalu berada pada ketidakpastian. Hal ini dikarenakan dunia materi hanyalah pantulan dari being yang lebih sempurna dan dalam realitasnya selalu tidak mencerminkan seluruh dari substansi yang sesungguhnya. Gambaran asli dari dunia idea manusia hanya dapat dipotret oleh jiwa murniya yang dalam banyak hal berkenaan dengan intelek manusia[12].
Idealisme berkeyakinan bahwa realitas sejati adalah dunia ruhaniah, bukan yang materi. Dengan kata lain bahwa yang hakiki adalah idea bukanlah panca indra. Apapun yang ditangkap oleh panca indra baik itu yang dilihat, diraba, dirasa, dan dicium , itu hanyalah sebatas itu saja. Sesuatu yang jelas dan pasti ialah apa yang berada dalam dunia idea.
Alam dalam pandangan idealisme adalah gambaran dari dunia idea, karena posisinya tidak tetap. Sedangkan yang dimaksud dengan idea adalah hakikat murni dan asli yang memiliki watak asli dan konstan[13].
Berdasarkan ini semua, maka akhirnya Plato menyimpulkan bahwa pengetahuan berada dalam dua tingkatan, yaitu hipotesis dan kepastia absolut. Plato berpendapat, bahwa pengetahuan adalah kesadaran dunia idea manusia bahwa pengetahuan yang diajukan dan kesadarannya memiliki hubungan sistematis dengan keseluruhan ideanya tentang kebaikan yang mutlak sebagai prinsip tertinggi dalam kehidupan manusia[14].
Cabang dalam filsafat Idealisme yaitu Idealisme Obyektif yang merupakan suatu aliran filsafat yang pandangannya idealis, dan idealismenya itu bertitik tolak dari ide universil (Absolute Idea- Hegel / LOGOS-nya Plato) ide diluar ide manusia. Menurut idealisme obyektif segala sesuatu baik dalam alam atau masyarakat adalah hasil dari ciptaan ide universil.
Cabanag berikutnya yaitu Idealisme Subyektif, merupakan filsafat yang berpandangan idealis dan bertitik tolak pada ide manusia atau ide sendiri. Alam dan masyarakat ini tercipta dari ide manusia. Segala sesuatu yang timbul dan terjadi di alam atau di masyarakat adalah hasil atau karena ciptaan ide manusia atau idenya sendiri, atau dengan kata lain alam dan masyarakat hanyalah sebuah ide/fikiran dari dirinya sendiri atau ide manusia.
b.      Dualisme
Aliran ini berpendapat bahwa benda terdiri dari dua macam hakikat sebagai asal sumbernya, yaitu hakikat materi dan hakikat rohani, benda dan roh, jasad dan spirit. Kedua macam hakikat itu masing-masing bebas dan berdiri sendiri, sama-sama azali dan abadi. Hubungan keduanya menciptakan kehidupan dalam alam ini.
Tokoh paham ini adalah Descartes (1596-1650 M) yang dianggap sebagai bapak filsafat modern. Ia menamakan kedua hakikat itu dengan istilah dunia kesadaran (rohani) dan dunia ruang (kebendaan). Ini tercantum dalam bukunya Discours de la Methode (1637) dan Meditations de Prima Philosophia (1641). Dalam bukunya ini pula, menerangkan metodenya yang terkenal dengan Cogito Descartes (metode keraguan Descartes/Cartesian Doubt). Disamping Descartes, ada juga Benedictus de Spinoza (1632-1677 M), dan Gitifried Wilhelm von Leibniz (1646-1716 M)[15].
b.      Realisme
Realisme merupakan aliran filsafat yang memandang bahwa suatu yang riil adalah sesuatu yang bersifat fisik dan psikis. Dalam pemikiran filsafat, realisme berpandangan bahwa kenyataan tidaklah terbatas pada pengalaman inderawi ataupun gagasan yang tebangun dari dalam. Dengan demikian realisme dapat dikatakan sebagai bentuk penolakan terhadap gagasan ekstrim idealisme dan empirisme.
Dalam membangun ilmu pengetahuan, realisme memberikan teori dengan metode induksi empiris. Gagasan utama dari realisme dalam konteks pemerolehan pengetahuan adalah bahwa pengetahuan didapatkan dari dual hal, yaitu observasi dan pengembangan pemikiran baru dari observasi yang dilakukan. Tradisi realisme mengakui bahwa entitas yang bersifat abstrak dapat menjadi nyata (realitas) dengan bantuan symbol-simbol linguistik dan kesadaran manusia. Gagasan ini sejajar dengan filsafat modern dari pendekatan pengetahuan versi Kantianism fenonomologi sampai pendekatan structural[16].
Realisme melihat adanya hubungan dealektik antara realitas subjek yang menyadari dan mengetahui di satu pihak namun di pihak lain ada realitas lain yang berada di luar dirinya sebagai sesuatu yangt dijadikan objek pengetahuan. Sebuah pengetahuan baru dapat dikatakan benar apabila ada kesesuaian dengan dunia faktual, dapat diamati, dan bersifat substantif. Aliran ini menekankan, bahwa sesuatu dikatakan benar jika memang riil dan secara nyata memang ada[17].
 Realisme membagi realitas menjadi dua bagian, pertama yaitu; subjek sebagai realitas yang menyadari dan mengetaui di satu sisi, dan yang kedua yaitu; realitas yang berada di luar diri manusia yang dapat dijadikan objek pengetahuan di sisi lain.
Bertolak belakang dari pandangan idealisme yang menyatakan bahwa pikiran manusia dimuati oleh kategori-kategorinya, seperti substansialitas dan kausalitas tentang data indrawi, maka realisme berkeyakinan, bahwa dunia yang kita terima bukanlah sebuah dunia yang kita ciptakan kembali secara mental, tetapi merupakan sebuah dunia yang apa adanya. Substansialitas, kausalitas, dan bentuk-bentuk alam adalah merupakan segi-segi dari benda-benda itu sendiri, bukanlah semacam proyeksi dan pikiran.
Bagi kelompok realisme, ide atau proposisi adalah benar ketika eksistensinya berhubungan dengan segi-segi dunia. Sebuah hipotesis tentang dunia tidak dapat dikatakan benar semata-mata karena ia koheren dengan pengetahuan. Jika pengetahuan baru itu berhubungan dengan yang lama, maka hal itu hanyalah lantaran “yang lama” itu memang banar, yaitu disebabkan pengetahuan lama koresponden dengan apa yang terjadi pada kasus itu. Jadi koherasi tidak melahirkan kebenaran[18].
Realisme berkeyakinan bahwa pengetahuan selalu dihasilkan dari proses pengamatan, pemikiran, dan kesimpulan dari kemampuan manusia sebagai subjek dalam menyerap dunia objek. Dengan demikian pengetahuan yang benar adalah pengetahuan yang koresponden dengan dunia sebagaimana adanya. Dalam perjalanan waktu, ras manusia telah menempatkan sejumlah pengetahuan yang kebenarannya telah dikonfirmasi secara berulang-ulang[19].
c.       Pragmatisme
Pragmatisme adalah mashab pemikiran filsafat ilmu yang dipelopori oleh C.S Peirce, William James, John Dewey, George Herbert Mead, F.C.S Schiller dan Richard Rorty. Tradisi pragmatism muncul atas reaksi terhadap tradisi idealis yang dominan yang menganggap kebenaran sebagai entitas yang abstrak, sistematis dan refleksi dari realitas. Pragmatisme berargumentasi bahwa filsafat ilmu haruslah meninggalkan ilmu pengetahuan transendental dan menggantinya dengan aktifitas manusia sebagai sumber pengetahuan. Bagi para penganut mashab pragmatisme, ilmu pengetahuan dan kebenaran adalah sebuah perjalanan dan bukan merupakan tujuan.
Kaum pragmatisme menyakini bahwa pikiran manusia bersifat aktif dan berhubungan langsung dengan upaya penyelidikan dan penemuan. Pikiran manusia tidak mengonfrontasikan dunia yang ianya terpisah dari aktivitas pendidikan dan penemuan itu. Pengetahuan dunia dibentuk melalui pikiran subjek yang mengetahuinya. Kebenaran itu tergantung sepenuhnya melulu pada korespondensi ide manusia dengan realitas eksternal, karena realitas bagi manusia tergantung pada bagian dalam ide yang menjelaskannya[20].
Menurut pragmatisme pengetahuan itu adalah produk dari proses interaksi atau transaksi antara manusi dengan lingkungannya. Dan kebenaran adalah suatu proferti bagi pengetahuan itu. Bagi kelompok pragmatisme suatu ide itu dapat dikatakan benar jika ia benar-benar berfungsi dan bisa diterapkan. Dengan kata lain sebuah pengetahuan dikatakan benar apabila ia bernilai, bermanfaat, dan dapat diterapkan.
William James mengatakan “ide itu dikatakan benar jika memberikan konsekuensi bernilai dan atau fungsional bagi personnya.” Sementara itu Peirce dan jhon Dewey  mengklaim bahwa suatu ide dikatakan benar hanya jika memiliki konsekuensi yang memuaskan ketika secara objektif dan saintifik ide itu dapat dipraktikkan secara memuaskan. Jadi, kaum pragmatisme memandang kebenaran suatu ide tergantung pada konsekuensi yang muncul ketika ide itu dioperasikan di alam empiris[21].

Jhon Dewey menyebutkan, bahwa pikiran bukanlah suatu yang ultimate, absolut, tetapi merupakan suatu bentuk proses alamiah dimana ia muncul sebagai hasil dari hubungan aktif antara organisme yang hidup dengan lingkungannya. Pikiran manusia selalu berawal dari pengalaman dan untuk kembali ke pengalaman. Ada hubungan interdependensi antara pikiran dan pengalaman empiris yang meniscayakan perubahan-perubahan. Tidaklah dikatakan pengetahuan jika tidak membawa perubahan bagi kehidupan manusia. Jadi, nilai pengetahuan dilihat dari kadar instrumentalisnya yang akan membawa pada akibat-akibat yang telah atau dihasilkan oleh ide/pikiran dalam pengalaman nyata[22].
Pragmatisme juga mengatakan bahwa method of intelegence merupakan cara ideal untuk mendapatkan pengetahuan. Kita menangkap sesuatu yang terbaik menurut kaum pragmatisme mestilah melalui melokalisasi problem sedemikian rupa dan memecahkannya[23].
Berbagai pendapat mengemukakan aliran-aliran yang berbeda-beda, sehingga memiliki banyak penjabaran. Dalam buku Filsafat Sebagai Akar Ilmu Komunikasi yang ditulis Nina Syam, menggambarkan bahwa ada tiga aliran besar dalam ontologi.



Sumber: Nina Syam[24]

2.2  Komunikasi dan Islam

2.2.1        Komunikasi

Komunikasi merupakan bagian dari ilmu sosial yang berakar pada filsafat. Nina Syam, membuat pohon komunikasi yang menjelaskan secara runut mengenai komunikasi yang berakar dari filsafat, psikologi, psikologi sosial, sosiolog, antropologi, biologi, fisika, dan matematika. Untuk biologi, fisika dan matematika tersentuh setelah perkembangan teknologi komunikasikasi yang semakin pesat. Batang dan dahan komunikasi merupakan pengembangan teoritis dan aplikatif yang mencakup teori-teori komunikasi dan perkembangannya, filsafat komunikasi, psikologi komunikasi dan lainnya[25].
Untuk itu filsafat komunikasi dari segi ontologi mempertanyakan apakah objek kajian ilmu komunikasi. Dalam konteks ilmu komunikasi, terdapat tiga paradigma dasar yang menentukan prespektif atau cara pandang terhadap komunikasi yaitu dari segi epistimologi, aksiologi dan ontologi Berdasarkan ke tiga paradigma tersebut, komunikasi didefinisikan sebagai usaha penyampaian pesan antar manusia. Artinya, objek ilmu komunikasi adalah tentang penyampaian pesan antar manusia yang disampaikan dengan usaha secara sengaja dilatari motif komunikasi, dikupas terlebih dahulu tentang hakikat manusia terutama faktok rohani yang dimilikinya. Manusia tidak bisa tidak berkomunikasi[26].
Sehingga tidak semua tindakan manusia adalah tindakan komunikasi. Oleh karena itu tindak komunikasi dalam penyampaian pesan ditandai dengan adanya motif komunikasi. Motif komunikasi sangat menentukan apakah sesuatu layak disebut pesan atau tidak, apakah seseorang berlaku sebagai komunikator medium atau komunikan yang bergeser menjadi komunikator.

2.2.2        Islam
Islam adalah agama tauhid. Maka, bila dalam filsafat lain masih 'mencari Tuhan', dalam filsafat Islam justru Tuhan 'sudah ditemukan, dalam arti bukan berarti sudah usang dan tidak dibahas lagi, namun filsuf islam lebih memusatkan perhatiannya kepada manusia dan alam, karena sebagaimana diketahui, pembahasan Tuhan hanya menjadi sebuah pembahasan yang tak pernah ada finalnya.
Secara etimologis filsafat berasal dari bahsa Arab yaitu falsafah. Kata falsafah inipun berasal dari bahasa Yunani yaitu dari kata philosophia. Philos berarti cinta, suka. Sophia berarti pengetahuan, ilmu, kebijaksanaan. Jadi Philosophia berarti cinta pengetahuan atau cinta pada kebijaksanaan. Sedangkan islam memiliki arti menyerahkan diri, lalu menyembah dan beribadah kepada Allah[27].
Ibadah dalam islam selalu dikaitkan dengan aktivitas berpikir dan memang berpikir adalah perintah Ilahi agar manusia bisa beriman, maka meniscayakan pengetahuan rasional di dalam proses kependidikan islam berorientari pada nilai-nilai ketuhanan. Pengetahuan rasional dalam islam bukan melulu akal dan bukan pula melulu indrawi, tetapi ada jalinan interdependensi.
 Manusia diberikan fitrah untuk mengenal Tuhan, naluri ini ada pada manusia sejak asal mula kejadian atau penciptaannya. Melalu fitrah yang suci inilah pengetahuan yang diperoleh melalui indrawi yang kemudian menghasilkan sebuah kebenaran yang hakiki. Jadi, dengan demikian antara akal yang fitrah dan indrawi saling bahu membahu dalam menghasilkan pengetahuan yang hakiki.
Pandangan hidup islam tidak berdasarkan kepada metode dikotomis seperti obyektif dan subyektif, historis dan normatif. Namun, realitas dan kebenaran dipahami dengan metode yang menyatu (tauhid). Pandangan hidup islam bersumber kepada wahyu yag didukung oleh akal dan intuisi.
Islam memberikan keyakinan bahwa pembentukan pengetahuan erat kaitannya dengan penciptaan hubungan manusia, alam, dan Tuhan dalam siklus yang tidak terputus. Manusia sebagai subjek ilmu dituntut proaktif memainkan peran khalifahnya di dalam membuat garis-garis hubungan yang akan membentuk dirinya sebagai manusia mu’min muttaqin yang diidamkan. Dalam upaya ini, Islam mengajarkan bahwa setiap anak manusia memiliki kebebasan menentukan dirinya yang akan membawanya pada ‘ilmu al-yaqin yang memungkinkan ia bertanggung jawab akan apa yang ia hasilkan[28].
Pengakuan akan betapa pentingnya ilmu dan Islam, terlihat dari ajarannya yang menyebutkan bahwa mencari dan mengajarkan ilmu adalah sesuatu yang diwajibkan, sehingga lembaga pendidikan adalah suatu lembaga yang bertugas bagaimana menyadarkan subjek didiknya akan kewajiban dan tanggung jawabnya untuk mengambil peran dalam belajar dan membelajarkan tersebut[29].
Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa Islam merupakan agama dan kepercayaan yang meyakini adanya Tuhan. Sehingga dalam filsafat Islam tidak lagi membicarakan atau mencari Tuhan, melainkan alam semesta dan manusia yang ada sebagai objek dan pusat perhatian.

2.3  Komunikasi Presfektif Islam
Ilmu komunikasi Islam, sebagaimana juga ilmu komunikasi umum, membahas tentang manusia. Komunikasi ada pada semua aspek kehidupan manusia. Tidak ada bidang kehidupan bermasyarakat yang tidak ada komunikasinya. Dengan konteks inilah menurut Wilbur Schramm dan Edward Sapir (1973) sebetulnya ilmu komunikasi tidak memiliki tanah atau lahan yang khusus bagi dirinya sendiri namun berdiri dari ilmu-ilmu sebelumnya seperti psikologi, antropologi dan lainnya seperti di kemukakan di atas.
Dengan demikian, komunikasi harus meminjam metode-metode dari disiplin-disiplin ilmu lain untuk memahami teorinya sendiri. Bagi Islam, komunikasi memang jelas sebagai salah satu fitrah manusia. Hal itu dapat dilihat pada Alquran surat ar-Rahmān/55, ayat 1-4. Firman Allah:
Artinya:
“(Tuhan) Yang Maha Pemurah, Yang telah mengajarkan al Quran. Dia menciptakan manusia. Mengajarnya pandai berbicara.”

Kata-kata “al-bayan” di dalam salah satu ayat tersebut ditafsirkan As-Syaukani dalam tafsirnya Fath al-Qadir, sebagaimana dikutip Jalaluddin Rakhmat, diartikan sebagai kemampuan berkomunikasi[30].
Menurut Jalaluddin Rakhmat, selain kata “al-bayan”, kata kunci berkomunikasi yang dipergunakan di dalam Al-quran juga terdapat perkatan “qaul” dalam konteks “amar” atau perintah. Paling tidak, yang menggunakan kata-kata “qaul” dengan berbagai variasinya di dalam Alquran terdapat pada Qs. an-Nisā’/4: 5, 9 dan 63, al-Isra’/17: 23 dan 28, Tāha/20: 44 serta al-Ahzāb/33: 70. (Terjemahannya secara berturut-turut di bawah ini):
Artinya:
“Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.”

“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.”

“Mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang di dalam hati mereka. Karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka.” (Qs. an-Nisā’/4: 5, 9 dan 63).

Artinya:
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.”

“Dan jika kamu berpaling dari mereka untuk memperoleh rahmat dari Tuhanmu yang kamu harapkan, maka katakanlah kepada mereka ucapan yang pantas” (Q.s. al-Isra’/17: 23 dan 28).

Artinya:
“maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut." (Q.s. Tāha/20: 44).

Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar” (Q.s. al-Ahzāb/33: 70)

Dari ayat-ayat tersebut dipahami bahwa obyek bahkan sekaligus yang menjadi subyek komunikasi Islam adalah manusia. Dengan demikian, obyek penelaahan ilmu komunikasi Islam juga manusia itu sendiri. Manusia yang menyampaikan pesan kepada sesamanya, bahkan ketika manusia berdo’a yang diyakini sebagai komunikasi antara manusia dengan Tuhan (komunikasi transendental) yang ditelaah adalah manusia itu sendiri, tentang bagaimana ia memanjatkan do’a, etikanya pada saat berdo’a, sampai kepada diterima atau tidaknya do’anya dengan melihat dampaknya terhadap dirinya atau yang dido’akannya. Kendati yang terakhir ini tentu saja sulit terdeteksi, tetapi paling tidak ada dampak yang dirsakannya mungkin daris sikap maupun perilakunya.
Sementara itu, berdasarkan pengertian dan pemahaman Penulis sendiri terhadap pengertian obyek formal sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, maka yang menjadi obyek formal ilmu komunikasi Islam tidak lain adalah segala pesan (message) yang sesuai dengan ajaran Islam dengan berdasarkan kepada Al-quran dan Hadis Nabi Muhammad Saw.
Tentu saja pesan yang menjadi kajian dalam ilmu komunikasi Islam adalah pesan yang disampaikan oleh komunikator kepada komunikan sesuai dengan pesan-pesan yang diinginkan oleh Alquran maupun Hadis Nabi Saw. Hal ini memang perlu ditekankan, sebab perbedaan mendasar antara komunikasi Islam dengan komunikasi umum lainnya terutama terletak pada latar belakang filosofisnya (Alquran dan Hadis Nabi Saw.) dan aspek etikanya yang juga didasarkan pada landasan filosofi tersebut[31].
Komunikasi umum (non-Islam, nonreligius) sebenarnya juga mengadopsi etika, tetapi sanksi atas pelanggaran komunikator terhadap etika kamunikasi hanya berlaku di dunia. Sedangkan sanksi atas pelanggaran terhadap etika komunikasi Islam berlaku sampai di akhirat. Ada hukuman akhirat dan hukuman di alam kubur. Banyak sekali ayat dalam Alquran yang menjelaskan akan adanya hukuman bagi pelanggar-pelanggar etika komunikasi, baik secara eksplisit maupun implisit. Tetapi sanksi itu akan tidak berlaku lagi jika si pelanggar suad bertaubat atau minta ampun, jika Tuhan telah mengampuninya.
Jika pesan merupakan bahan yang akan disampaikan kepada komunikan, maka sumber pesan dalam komunikasi Islam ada 3 (tiga) kelompok, yaitu:
a.      Sumber Primer
Alquran dan Hadis Nabi Muhammad Saw., sedangkan pada komunikasi umum (Barat) informasi yang bersifat primer didapatkan dari pemegang otoritas secara langsung (first hand information), seperti tesis, surat, jurnal, dan sebagainya.
b.      Sumber Sekunder
Ijma’, qias, masālih al-mursalah, fatwa sahabat, amal penduduk Madinah, informasi dari tamaddun/peradaban lainnya, sedangkan pada komunikasi umum (Barat) yang menjadi sumber sekunder komunikasi adalah tulisan atau perkataan yang menjelaskan sumber primer, seperti indeks, abstraksi, bibliografi, dan sebagainya.
c.       Sumber Tertier
Pesan/informasi atau ilmu yang dikembangkan dari sumber sekunder yang memunculkan ilmu-ilmu baru, sedangkan pada komunikasi umum (Barat) sumber tertiernya adalah suatu informasi tentang sesuatu yang hal yang berkaitan dengan informasi-informasi lainnya, seperti bibliografi untuk bibliografi, buku tahunan atau laporan tahunan, dan sebagainya[32].

2.4  Aspek Ontologi dalam Komunikasi Prespektif Islam
Ontologi merupakan ilmu yang mengkaji tentang ‘apa’ sebagaimana yang dijelaskan di atas, dan komunikasi merupakan proses penyampaian pesan yang juga telah dipaparkan dibagian sebelumnya. Serta Islam dalam prespektifnya juga telah di uraikan di bagian atas.  Sehingga penulis tak perlu memaparkan lebih jauh mengenai defenisi-definisi secara panjang lebar.
Ilmu komunikasi adalah usaha penyampaian pesan antar manusia. Hal ini disesuaikan oleh dua hal dimana 1) sesuai dengan obyek materianya yang berada dalam rumpun ilmu social, maka ilmu komunikasi harus terjadi antar manusia 2) Ilmu komunikasi menggunakan paradigm dimana pesan disampaikan dengan sengaja, dilatarbelakangi oleh motif komunikasi dan usaha untuk mewujudkannya[33].
Obyek material ilmu komunikasi adalah manusia dan tindakannya dalam konteks sosial[34], sementara obyek formanya adalah komunikasi itu sendiri sebagai usaha penyampaian pesan antar manusia[35].
Dalam kaitannya, aspek ontologi komunikasi prespektif islam yakni merupakan bagaimana mencari hakikat kajian komunikasi dalam ranah islam secara lebih jelas. Komunikasi dalam Prespektif Islam sendiri merupakan suatu hal yang fitrah dalam diri seseorang, dimana setiap manusia diberikan keistimewaaan dapat berkomunikasi, baik verbal maupun non verbal. Sedangkan isi dari komunikasi tersebut, kembali kepada masing-masing individu. Namun dalam lingkup komunikasi presfektif islam, dimana pesan yang disampaikan mengandung-nilai-nilai keislaman yang berlandaskan Al-quran dan Al-hadis.
 “Mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang di dalam hati mereka. Karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka.” (Qs. an-Nisā’/4: 5, 9 dan 63).


















BAB III
KESIMPULAN

Seperti yang telah dikemukakan di awal pada tujuan dari pembuatan makalah ini, yakni ada tiga hal, yakni 1) Mengetahui pengertian ontologi, komunikasi dan Islam melalui filsafat. 2) Mengetahui seperti apa komunikasi prespektif islam dan ontologi komunikasi. 3) Mengetahui bagaiamana aspek ontologi komunikasi presfektif Islam.
Ontologi merupakan suatu teori/ilmu yang mengkaji tentang wujud atau ‘ada’ dan asal mula hakikat suatu kehidupan di dunia yang bersifat realitas dengan melihat dari sisi belakang atau dibalik benda-benada fisik, serta ilmu yang membahas tentang hakikat yang ada, yang merupakan ultimate reality, baik yang berbentuk jasmani/konkret, maupun rohani/abstrak. Sedangkan komunikasi dan Islam menurut filsafat yakni sebagai usaha penyampaian pesan antar manusia. Pada hakikatnya, manusia tidak akan bisa tanpa komunikasi. Sedangkan Islam merupakan agama yang meyakini adanya Tuhan, dalam filsafat Islam tidak lagi memusatkan diri pada Tuhan, melainkan pada Alam dan Manusia.
Komunikasi prespektif Islam yang menjadi obyek formal ilmu komunikasi Islam tidak lain adalah segala pesan (message) yang sesuai dengan ajaran Islam dengan berdasarkan kepada Al-quran dan Hadis Nabi Muhammad Saw. Dan Ontologi Komunikasi sendiri yakni mengemukakan tentang hakikat komunikasi sebagai ilmu yang berakar dari filsafat.
















Daftar Pustaka

Bakhtiar, Amsal. 2007. Filsafat Ilmu. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Muhmidayeli. 2011. Filsafat Pendidikan, Bandung ; Refika Aditama.
Syah, Hidayat. 2005. Filsafat Pendidikan Islam, Pekanbaru ; LP2S Indrasakti.
Syam, Nina W. 2010. Filsafat Sebagai Akar Ilmu Komunikasi. Bandung ; Simbiosa Rekatama Media.
Tebba, Sudirman. 2008. Filsafat dan Etika Komunikasi, , Banten ; Pustaka IrVan.
Vardiansyah, Dani. 2008. Filsafat Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar, Jakarta ; Indek.
http://defickry.blogspot.com/2007/10/sejarah-ilmu-komunikasi.html diakses: 25 Des 2012 Pukul 9.14
http://masulhadi.blogspot.com/2011/10/ontologi-dalam-islam.html diakses 24 Des. 2012, Pukul 10.26
http://aufamaudy0408.blogspot.com/2011/12/ontologi-epestemologi-aksiologi.html diakses: 25 Des. 2012 pukul 13.33
http://alfarizisalman.blogspot.com/2010/07/ontologi-dalam-perspektif-islam.html diakses 24 Des. 12 pukul 10.23
http://endro.staff.umy.ac.id/?p=87 diakses 25 Des 2012 pukul 15.40
http://raulchest.wordpress.com/tag/filsafat-ilmu-komunikasi/ diakses 25 Des. 2012 pukul 06.58
http://id.wikipedia.org/wiki/Islam diakses 25 des 2012 pukul 23.20
http://alfarizisalman.blogspot.com/2010/07/ontologi-dalam-perspektif-islam.html diakses 24 Des. 12 pukul 10.23
http://alfarizisalman.blogspot.com/2010/07/ontologi-dalam-perspektif-islam.html diakses 24 Des. 12 pukul 10.23
http://alfarizisalman.blogspot.com/2010/07/ontologi-dalam-perspektif-islam.html diakses 24 Des. 12 pukul 10.23


[1] Nina W. Syam, Filsafat Sebagai Akar Ilmu Komunikasi, Simbiosa Rekatama Media,  Bandung, Hlm: 65
[3] Hidayat Syah, Filsafat Pendidikan Islam, LP2S Indrasakti, Pekanbaru, Hlm: 33
[4] Sumber:  http://masulhadi.blogspot.com/2011/10/ontologi-dalam-islam.html diakses 24 Des. 2012, Pukul 10.26
[5] Hidayat Syah, Filsafat Pendidikan Islam, LP2S Indrasakti, Pekanbaru, Hlm: 33
[8] Nina W. Syam, Filsafat Sebagai Akar Ilmu Komunikasi, Simbiosa Rekatama Media,  Bandung, Hlm: 93
[9] Muhmidayeli, Filsafat Pendidikan, Refika Aditama, Bandung, 2011, Hlm: 89

[10] Nina W. Syam, Filsafat Sebagai Akar Ilmu Komunikasi, Simbiosa Rekatama Media,  Bandung, Hal: 93
[11] Muhmidayeli, Filsafat Pendidikan Islam, LSFK2P, Pekanbaru, 2005, Hlm: 94
[12] Muhmidayeli, Filsafat Pendidikan Islam, LSFK2P, Pekanbaru, 2005, Hlm: 89
[13] Muhmidayeli, Filsafat Pendidikan Islam, LSFK2P, Pekanbaru, 2005, Hlm: 90
[14] Muhmidayeli, Filsafat Pendidikan Islam, LSFK2P, Pekanbaru, 2005, Hlm: 92
[15] Amsal Bakhtiar. Filsafat Ilmu. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 2007. Hlm. 142
[16]  Sumber: http://endro.staff.umy.ac.id/?p=87 diakses 25 Des 2012 pukul 15.40
[17] Muhmidayeli, Filsafat Pendidikan, Refika Aditama, Bandung, 2011  Hlm. 95
[18] Muhmidayeli, Filsafat Pendidikan Islam, LSFK2P, Pekanbaru, 2005, Hlm: 96
[19] Muhmidayeli, Filsafat Pendidikan, Refika Aditama, Bandung, 2011  Hlm. 96
[20] Muhmidayeli, Filsafat Pendidikan, Refika Aditama, Bandung, 2011  Hlm.97
[21] Muhmidayeli, Filsafat Pendidikan, Refika Aditama, Bandung, 2011  Hlm.97
[22] Muhmidayeli, Filsafat Pendidikan Islam, LSFK2P, Pekanbaru, 2005, Hlm: 98
[23] Muhmidayeli, Filsafat Pendidikan, Refika Aditama, Bandung, 2011  Hlm.97
[24] Nina W. Syam, Filsafat Sebagai Akar Ilmu Komunikasi, Simbiosa Rekatama Media,  Bandung, Hlm: 95
[25] Nina W. Syam, Filsafat Sebagai Akar Ilmu Komunikasi, Simbiosa Rekatama Media,  Bandung, Hlm: 5
[26] Sumber: http://raulchest.wordpress.com/tag/filsafat-ilmu-komunikasi/ diakses 25 Des. 2012 pukul 06.58
[27]  Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Islam diakses 25 des 2012 pukul 23.20
[28] Muhmidayeli, Filsafat Pendidikan, Refika Aditama, Bandung, 2011, Hlm:100
[29] Muhmidayeli, Filsafat Pendidikan, Refika Aditama, Bandung, 2011, Hlm:100
[33] Vardiansyah, Dani. Filsafat Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar, Indeks, Jakarta 2008. Halaman 20.
[34] Tebba, Sudirman. Filsafat dan Etika Komunikasi, Pustaka IrVan, Banten 2008. Hal 57.
[35] Vardiansyah, Dani. Filsafat Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar, Indeks, Jakarta 2008. Halaman 20.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

NOVEL "JERUK MAKAN JERUK "

Pagi duniaku, Suasana pagi yang sejuk bagi seorang pemuda yang mencoba menjadi seorang pendidik di sebuah lembaga MTs dipedalaman desa...