BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang Masalah
Ilmu
komunikasi merupakan cabang ilmu baru dalam ilmu sosial, namun tetap berinduk
pada filsafat sebagai ibu dari segala ilmu. Cukup banyak yang membahas mengenai
pertumbuhan ilmu komunikasi pada awalnya. Tercatat kembali pada awal
ditemukannya mesin cetak oleh Gutenberg (1457) meski pada dasarnya komunikasi
telah ada jauh sebelum itu. Padahal, pada abad-abad sebelumnya, aktifitas
komunikasi sudah berkembang cukup pesat yang berlangsung di zaman pertengahan
(persebaran agama). Mungkin masa ketika diketemukannya mesin cetak itu sendiri
terjadi di zaman renaissance, dimana pemikiran-pemikiran ilmuwan telah bebas
dari dogma-dogma agama.
Nina
Syam (2010:65) membagi sejarah perkembangan filsafat ilmu komunikasi menjadi
beberapa fase, diantaranya fase Yunani yang ditandai dengan masa demokrasi
klasik, kaum sofis dan aliran socrates. Lalu, perkembangan filsafat komunikasi
di Romawi, Eropa, Amerika hingga pada fase perkembangan komunikasi islam yang
berkembang di timur tengah pada kisaran abad ke-6[1].
Sehingga
mereka tidak menyinggung masa persebaran agama sebagai bagian dari sejarah
perkembangan komunikasi itu sendiri. Rentang waktu antara tahun 500 SM
(masa-masa pemikiran retorika di Yunani kuno) sampai pada penemuan mesin cetak
(1457 M) merupakan abad-abad dimana terdapat proses perkembangan komunikasi
yang dalam hal ini berbentuk ajaran dan keyakinan suatu agama. Namun tentunya,
makalah ini tidak akan membahas mengenai perkembangan agama, melainkan
perkembangan ilmu komunikasi dipandang dari segi ontologi.
Berbicara
mengenai komunikasi tentunya tidak terlepas dari apa yang dinamakan retorika yang
terjadi di zaman Yunani kuno, sehingga menimbulkan pemahaman bagi
pemikir-pemikir barat bahwa perkembangan komunikasi pada zaman itu mengalami
masa kegelapan (dark ages) karena
tidak berkembang di zaman Romawi kuno. Dan baru mulai dicatat perkembangannya
pada masa ditemukannya mesin cetak oleh Guttenberg (1457). Sehingga masalah
yang muncul adalah, rentang waktu antara perkembangan ilmu komunikasi yang
awalnya dikenal retorika pada masa Yunani kuno, sampai pada pencatatan sejarah
komunikasi pada masa pemikiran tokoh-tokoh pada abad 19, sangat jauh.
Kemudian,
sejarah perkembangan ilmu komunikasi itu sendiri terputus kira-kira 1400 tahun.
Padahal menurut catatan lain, sebenarnya aktifitas retorika yang dilakukan pada
zaman Yunani kuno juga dilanjutkan perkembangan aktifitasnya pada zaman
pertengahan (masa persebaran agama). Sehingga menimbulkan asumsi bahwa
perkembangan komunikasi itu menjadi sebuah ilmu tidak pernah terputus, artinya
tidak ada mata rantai sejarah yang hilang pada perkembangan komunikasi.
Padahal
perkembangan komunikasi yang terjadi di zaman Romawi (sebagai perkembangan dari
Yunani kuno sekitar tahun 500 SM-5 M) mengalami kendala, karena pada masa itu
Romawi mengalami masa kegelapan (dark ages). Padahal, masa kegelapan yang
terjadi di Eropah ini merupakan sisi lain dari masa keemasan peradaban Islam,
dimana pada masa ini perkembangan ilmu pengetahuan (termasuk aktifitas
komunikasi) cukup signifikan.
Perkembangan komunikasi juga sangat maju pesat di Cina
yang telah dimulai pada tahun 550 SM. Memang, aktifitas komunkasi dalam bentuk
retorika yang berlangsung di Cina dan Islam ini lebih menekankan pada
penyebaran ajaran dan keyakinan[2].
Namun,
jika dilihat dari ranah ontologi yang memiliki arti wujud atau ‘ada’ ilmu
komunikasi tak dapat dilepaskan dari aspek ini. Istilah ontologi, secara bahasa berasal
dari bahasa yunani, ontos dan logos. Ontos berarti sesuatu yang
berwujud, sedangkan logos berarti ilmu atau teori. Dengan demikian secara
bahasa ontologi dapat diartikan sebagai ilmu atau teori tentang wujud, tentang
hakikat yang ada. Sedangkan yang dimaksud ontologi dalam pengertian
terminologisnya adalah kajian tentang hakikat segala sesuatu atau realitas yang
ada yang memiliki sifat universal, untuk memahami adanya eksistensi[3].
Dalam
kaitannya dengan ilmu pengetahuan, maka ontologi adalah kajian filosofis
tentang hakikat keberadaan ilmu pengetahuan, apa dan bagaimana sebenarnya ilmu
pengetahuan yang ada itu. Paradigma ilmu pada dasarnya berisi jawaban atas
pertanyaan fundamental proses keilmuan manusia, yakni bagaimana, apa, dan untuk
apa. Maka tiga pertanyaan dasar tadi kemudian dirumuskan menjadi beberapa
dimensi, dan salah satunya ialah; dimensi ontologis, pertanyaan yang harus
dijawab pada dimensi ini adalah: apa sebenarnya hakikat dari sesuatu yang dapat
diketahui, atau apa sebenarnya hakikat dari suatu realitas. Dengan demikian
dimensi yang dipertanyakan adalah hal yang nyata.
Dalam
kaitan dengan ilmu, aspek ontologis mempertanyakan tentang objek yang ditelaah
oleh ilmu. Secara ontologis ilmu membatasi lingkup penelaahan keilmuannya hanya
pada daerah yang berada dalam jangkauan pengalaman manusia dan terbatas pada
hal yang sesuai dengan akal manusia.[4]
Ontologi
membahas tentang yang ada, yang tidak terikat oleh satu perwujudan tertentu.
Membahas tentang yang ada, yang universal, dan menampilkan pemikiran semesta
universal. Berupaya mencari inti yang temuat dalam setiap kenyataan, dan
menjelaskan yang ada yang meliputi semua realitas dalam semua bentuknya.
Berkaitan
dengan komunikasi prespektif islam hingga kini masih menjadi perbincangan
menarik dikalangan akademisi. Oleh sebab itu, dalam makalah ini akan membahas
mengenai aspek-aspek mengenai ontologi komunikasi dalam prespektif islam.
2.
Rumusan Masalah
Dari paparan latar belakang masalah di atas, penulis
merumuskan makalah ini ‘Bagaimana Aspek Ontologi Dalam Komunikasi Prespektif
Islam?’ dari rumusan tersebut ada beberapa sub pertanyaan untuk mempermudah
dapam indentifikasi.
1. Apa pengertian ontologi,
komunikasi dan Islam melalui filsafat?
2. Seperti apa komunikasi
prespektif islam dan ontologi komunikasi?
3.
Bagaiamana aspek ontologi komunikasi presfektif Islam?
3.
Tujuan
1. Mengetahui
pengertian ontologi, komunikasi dan Islam melalui filsafat.
2. Mengetahui
seperti apa komunikasi prespektif islam dan ontologi
komunikasi.
3.
Mengetahui bagaiamana aspek ontologi komunikasi presfektif Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Ontologi
2.1.1
Pengertian Ontologi
Istilah ontologi, secara bahasa berasal dari bahasa
yunani, ontos dan logos. Ontos berarti
sesuatu yang berwujud, sedangkan logos
berarti ilmu atau teori. Dengan demikian secara bahasa ontologi dapat diartikan
sebagai ilmu atau teori tentang wujud, tentang hakikat yang ada. Sedangkan yang
dimaksud ontologi dalam pengertian terminologisnya adalah kajian tentang
hakikat segala sesuatu atau realitas yang ada yang memiliki sifat universal,
untuk memahami adanya eksistensi[5].
Ontologi : hakikat apa yang dikaji, penyelidikan prinsip-prinsip
realita. Menurut Syam (1988) ontologi kadang-kadang disamakan dengan
metafisika. Sebelum menyelidiki yang lain, manusia berusaha mengerti hakikat
sesuatu. Dalam berinteraksi dengan alam semesta, manusia melahirkan berbagai
pertanyaan filosofis, di antaranya ;
apakah sesungguhnya hakikat realita yang ada ini, apakah realita yang nampak
ini suatu realitas materi saja, ataukah ada sesuatu dibalik realita itu, satu
"rahasia" alam. Apakah wujud semesta ini bersifat tetap, kekal tanpa
perubahan. Ataukah hakikat semesta ini adalah perubahan semata-mata. Apakah
realita ini terbentuk satu unsur (monisme), dua unsur (dualisme), ataukah lebih
dari dua unsur (pluralisme)[6].
Istilah ontologi berasal dari bahasa Yunani yaitu “on” atau “ontos” artinya yang berada dan “logos”
yang berarti ilmu pengetahuan atau ajaran. Dengan demikian secara etimologi,
ontologi berarti ilmu pengetahuan atau ajaran tentang yang berada. Istilah
ontologi dipopulerkan oleh Christian Wolff (1679-1714). Ontologi dipersamakan
dengan istilah “metafisika”. Para ahli yang mempersamakan ontologi dengan
metafisika adalah Nicolai Hartmann seorang ahli ontologi dan Gottfried Martin
di dalam bukunya Allgemein Metaphysic[7].
Nina Syam (2010:92) memaparkan bahwa ontologi merupakan
metafisika umum yang membicarakan tentang hal ‘ada’ (being). Metafisika sendiri berasal dari bahasa Yunani, meta dan
taphisica, diartikan sebagai yang ada dibalik atau dibelakang benada-benda
fisik. Aristoteles tidak menggunakan istilah metafisika melainkan proto
philosophia (filsafat pertama).
Penulis dapat menyimpulkan bahwa ontologi yaitu merupakan
suatu teori/ilmu yang mengkaji tentang wujud atau ‘ada’ dan asal mula hakikat
suatu kehidupan di dunia yang bersifat realitas dengan melihat dari sisi
belakang atau dibalik benda-benada fisik, serta ilmu yang membahas tentang hakikat yang
ada, yang merupakan ultimate reality, baik yang berbentuk
jasmani/konkret, maupun rohani/abstrak.
Namun, jika dilihat dari metafisika maka akan terbagi
lagi menjadi metafisika umum dan khusus. untuk antologi yakni metafisika umum
yang mengkaji tetang hal ‘ada’.Sedangkan untuk metafisika khusus akan dibagi
menjadi tiga bagian, yakni hakikat manusia dalam psikologi dan antropologi,
hakikat alam semesta dalam kosmologi, serta hakikat keberadaan Tuhan yakni teologi[8].
2.1.2
Aliran dalam Ontologi
Dalam
ontologi, terdapat beberapa aliran didalamnya, diataranya yakni Materialisme, Idealisme, Dualisme, Agnoticisme namun ada pula yang menjabarkan adanya aliran Pragmatisme, Monoisme yang didalamnya terdapat Metrealisme serta Idealisme,
serta ada pula aliran Nihilisme dan Pluralisme. Bahkan adapula yang menyebutkan bahwa Islam
termasuk di didalam aliran otologi ini.
Penulis akan memaparkan beragam aliran
yang ada dalam ontologi:
a.
Idealisme
Tokoh utama dalam aliran ini ialah Plato dengan ajarannya
yang terkenal yaitu; bahwa ia telah mengatakan seuatu yang nyata atau riil itu
adalah sesuatu yang berada di ruang idea. Menurutnya idea merupakan gambaran
yang jelas tentang dunia realita yang ditangkap oleh panca indra manusia[9].
Kaum idealisme berkayakinan, bahwa apa yang tampak dalam
alam realitas bukanlah merupakan sesuatu yang riil, tetapi lebih merupakan
bayangan atas apa yang bersemayam dalam alam pikiran manusia. Menurutnya
realitas kebenaran dan kebaikan sebagai idea telah dibawa manusia sejak ia
dilahirkan, dan karenanya bersifat tetap dan abadi.
Kaum idealis meyakini bahwa pengetahuan sesungguhnya
adalah hasil atau produk akal, karena akal merupakan seuatu kemampuan melihat
secara tajam bentuk-bentuk spritual murni dari sesuatu yang melampau bentuk
materialnya. Kaum idealisme memandang segala sesuatu serba cita atau serba utuh[10].
Pengetahuan yang dihasilkan indra tidak akan pernah
menjadi pengetahuan yang hakiki atau sebenarnya tanpa pernah membiarkan akalnya
untuk menyusun pengetahuan yang memadai tentang apa yang dirasakan indara
tersebut. Menurut aliran ini, pengetahuan adalah suatu bagian dari pemikiran
manusia yang dikategorisasikan melalui alam yang objektif yang mana itu
ditangkap oleh indra manusia. Oleh karena itu, objek pengetahuan haruslah
melalui idea-idea yang seluruh koneksitasnya bersifat sistematis.
Plato
menempatkan konsep “the idea of the good”
ini sebagai sesuatu yang sangat penting dan strategis dalam mengembangkan
proses pendidikan. Ajaran filsafat Plato tentang idea memberikan keyakinan
bahwa idea dapat meningkatkan kemampuan rasio manusia. Idea memiliki hubungan
langsung dengan putusan-putusan rasio yang mengarah pada pembentukan sikap[11].
Plato sependapat dengan gurunya Socrates yang mengatakan
bahwa pengetahuan yang diterima melalui panca indra mesti selalu berada pada
ketidakpastian. Hal ini dikarenakan dunia materi hanyalah pantulan dari being
yang lebih sempurna dan dalam realitasnya selalu tidak mencerminkan seluruh
dari substansi yang sesungguhnya. Gambaran asli dari dunia idea manusia hanya
dapat dipotret oleh jiwa murniya yang dalam banyak hal berkenaan dengan intelek
manusia[12].
Idealisme berkeyakinan bahwa realitas sejati adalah dunia
ruhaniah, bukan yang materi. Dengan kata lain bahwa yang hakiki adalah idea
bukanlah panca indra. Apapun yang ditangkap oleh panca indra baik itu yang
dilihat, diraba, dirasa, dan dicium , itu hanyalah sebatas itu saja. Sesuatu
yang jelas dan pasti ialah apa yang berada dalam dunia idea.
Alam dalam pandangan idealisme adalah gambaran dari dunia
idea, karena posisinya tidak tetap. Sedangkan yang dimaksud dengan idea adalah
hakikat murni dan asli yang memiliki watak asli dan konstan[13].
Berdasarkan ini semua, maka akhirnya Plato menyimpulkan
bahwa pengetahuan berada dalam dua tingkatan, yaitu hipotesis dan kepastia
absolut. Plato berpendapat, bahwa pengetahuan adalah kesadaran dunia idea
manusia bahwa pengetahuan yang diajukan dan kesadarannya memiliki hubungan
sistematis dengan keseluruhan ideanya tentang kebaikan yang mutlak sebagai
prinsip tertinggi dalam kehidupan manusia[14].
Cabang dalam filsafat Idealisme yaitu Idealisme Obyektif
yang merupakan suatu aliran filsafat yang pandangannya idealis, dan
idealismenya itu bertitik tolak dari ide universil (Absolute Idea- Hegel /
LOGOS-nya Plato) ide diluar ide manusia. Menurut idealisme obyektif segala
sesuatu baik dalam alam atau masyarakat adalah hasil dari ciptaan ide
universil.
Cabanag berikutnya yaitu Idealisme Subyektif, merupakan filsafat
yang berpandangan idealis dan bertitik tolak pada ide manusia atau ide sendiri.
Alam dan masyarakat ini tercipta dari ide manusia. Segala sesuatu yang timbul
dan terjadi di alam atau di masyarakat adalah hasil atau karena ciptaan ide
manusia atau idenya sendiri, atau dengan kata lain alam dan masyarakat hanyalah
sebuah ide/fikiran dari dirinya sendiri atau ide manusia.
b.
Dualisme
Aliran ini berpendapat bahwa benda terdiri dari dua macam
hakikat sebagai asal sumbernya, yaitu hakikat materi dan hakikat rohani, benda
dan roh, jasad dan spirit. Kedua macam hakikat itu masing-masing bebas dan
berdiri sendiri, sama-sama azali dan abadi. Hubungan keduanya menciptakan
kehidupan dalam alam ini.
Tokoh paham ini adalah Descartes (1596-1650 M) yang
dianggap sebagai bapak filsafat modern. Ia menamakan kedua hakikat itu dengan
istilah dunia kesadaran (rohani) dan dunia ruang (kebendaan). Ini tercantum
dalam bukunya Discours de la Methode (1637) dan Meditations de Prima Philosophia
(1641). Dalam bukunya ini pula, menerangkan metodenya yang terkenal dengan
Cogito Descartes (metode keraguan Descartes/Cartesian Doubt). Disamping
Descartes, ada juga Benedictus de Spinoza (1632-1677 M), dan Gitifried Wilhelm
von Leibniz (1646-1716 M)[15].
b.
Realisme
Realisme merupakan aliran filsafat yang memandang bahwa
suatu yang riil adalah sesuatu yang bersifat fisik dan psikis. Dalam pemikiran
filsafat, realisme berpandangan bahwa kenyataan tidaklah terbatas pada
pengalaman inderawi ataupun gagasan yang tebangun dari dalam. Dengan demikian
realisme dapat dikatakan sebagai bentuk penolakan terhadap gagasan ekstrim
idealisme dan empirisme.
Dalam membangun ilmu pengetahuan, realisme memberikan
teori dengan metode induksi empiris. Gagasan utama dari realisme dalam konteks
pemerolehan pengetahuan adalah bahwa pengetahuan didapatkan dari dual hal,
yaitu observasi dan pengembangan pemikiran baru dari observasi yang dilakukan. Tradisi
realisme mengakui bahwa entitas yang bersifat abstrak dapat menjadi nyata (realitas)
dengan bantuan symbol-simbol linguistik dan kesadaran manusia. Gagasan ini
sejajar dengan filsafat modern dari pendekatan pengetahuan versi Kantianism
fenonomologi sampai pendekatan structural[16].
Realisme melihat adanya hubungan dealektik antara realitas
subjek yang menyadari dan mengetahui di satu pihak namun di pihak lain ada
realitas lain yang berada di luar dirinya sebagai sesuatu yangt dijadikan objek
pengetahuan. Sebuah pengetahuan baru dapat dikatakan benar apabila ada
kesesuaian dengan dunia faktual, dapat diamati, dan bersifat substantif. Aliran
ini menekankan, bahwa sesuatu dikatakan benar jika memang riil dan secara nyata
memang ada[17].
Realisme membagi
realitas menjadi dua bagian, pertama yaitu; subjek sebagai realitas yang
menyadari dan mengetaui di satu sisi, dan yang kedua yaitu; realitas yang
berada di luar diri manusia yang dapat dijadikan objek pengetahuan di sisi
lain.
Bertolak belakang dari pandangan idealisme yang
menyatakan bahwa pikiran manusia dimuati oleh kategori-kategorinya, seperti
substansialitas dan kausalitas tentang data indrawi, maka realisme
berkeyakinan, bahwa dunia yang kita terima bukanlah sebuah dunia yang kita
ciptakan kembali secara mental, tetapi merupakan sebuah dunia yang apa adanya.
Substansialitas, kausalitas, dan bentuk-bentuk alam adalah merupakan segi-segi
dari benda-benda itu sendiri, bukanlah semacam proyeksi dan pikiran.
Bagi kelompok realisme, ide atau proposisi adalah benar
ketika eksistensinya berhubungan dengan segi-segi dunia. Sebuah hipotesis tentang
dunia tidak dapat dikatakan benar semata-mata karena ia koheren dengan
pengetahuan. Jika pengetahuan baru itu berhubungan dengan yang lama, maka hal
itu hanyalah lantaran “yang lama” itu memang banar, yaitu disebabkan
pengetahuan lama koresponden dengan apa yang terjadi pada kasus itu. Jadi
koherasi tidak melahirkan kebenaran[18].
Realisme berkeyakinan bahwa pengetahuan selalu dihasilkan
dari proses pengamatan, pemikiran, dan kesimpulan dari kemampuan manusia
sebagai subjek dalam menyerap dunia objek. Dengan demikian pengetahuan yang
benar adalah pengetahuan yang koresponden dengan dunia sebagaimana adanya.
Dalam perjalanan waktu, ras manusia telah menempatkan sejumlah pengetahuan yang
kebenarannya telah dikonfirmasi secara berulang-ulang[19].
c.
Pragmatisme
Pragmatisme adalah mashab pemikiran filsafat ilmu yang
dipelopori oleh C.S Peirce, William James, John Dewey, George Herbert Mead,
F.C.S Schiller dan Richard Rorty. Tradisi pragmatism muncul atas reaksi
terhadap tradisi idealis yang dominan yang menganggap kebenaran sebagai entitas
yang abstrak, sistematis dan refleksi dari realitas. Pragmatisme berargumentasi
bahwa filsafat ilmu haruslah meninggalkan ilmu pengetahuan transendental dan
menggantinya dengan aktifitas manusia sebagai sumber pengetahuan. Bagi para penganut
mashab pragmatisme, ilmu pengetahuan dan kebenaran adalah sebuah perjalanan dan
bukan merupakan tujuan.
Kaum pragmatisme menyakini bahwa pikiran manusia bersifat
aktif dan berhubungan langsung dengan upaya penyelidikan dan penemuan. Pikiran
manusia tidak mengonfrontasikan dunia yang ianya terpisah dari aktivitas
pendidikan dan penemuan itu. Pengetahuan dunia dibentuk melalui pikiran subjek
yang mengetahuinya. Kebenaran itu tergantung sepenuhnya melulu pada
korespondensi ide manusia dengan realitas eksternal, karena realitas bagi
manusia tergantung pada bagian dalam ide yang menjelaskannya[20].
Menurut pragmatisme pengetahuan itu adalah produk dari
proses interaksi atau transaksi antara manusi dengan lingkungannya. Dan
kebenaran adalah suatu proferti bagi pengetahuan itu. Bagi kelompok pragmatisme
suatu ide itu dapat dikatakan benar jika ia benar-benar berfungsi dan bisa
diterapkan. Dengan kata lain sebuah pengetahuan dikatakan benar apabila ia
bernilai, bermanfaat, dan dapat diterapkan.
William
James mengatakan “ide itu dikatakan benar jika memberikan konsekuensi bernilai
dan atau fungsional bagi personnya.” Sementara itu Peirce dan jhon Dewey mengklaim bahwa suatu ide dikatakan benar
hanya jika memiliki konsekuensi yang memuaskan ketika secara objektif dan
saintifik ide itu dapat dipraktikkan secara memuaskan. Jadi, kaum pragmatisme
memandang kebenaran suatu ide tergantung pada konsekuensi yang muncul ketika
ide itu dioperasikan di alam empiris[21].
Jhon Dewey menyebutkan, bahwa pikiran bukanlah suatu yang
ultimate, absolut, tetapi merupakan suatu bentuk proses alamiah dimana ia
muncul sebagai hasil dari hubungan aktif antara organisme yang hidup dengan
lingkungannya. Pikiran manusia selalu berawal dari pengalaman dan untuk kembali
ke pengalaman. Ada hubungan interdependensi antara pikiran dan pengalaman
empiris yang meniscayakan perubahan-perubahan. Tidaklah dikatakan pengetahuan
jika tidak membawa perubahan bagi kehidupan manusia. Jadi, nilai pengetahuan
dilihat dari kadar instrumentalisnya yang akan membawa pada akibat-akibat yang
telah atau dihasilkan oleh ide/pikiran dalam pengalaman nyata[22].
Pragmatisme juga mengatakan bahwa method of intelegence
merupakan cara ideal untuk mendapatkan pengetahuan. Kita menangkap sesuatu yang
terbaik menurut kaum pragmatisme mestilah melalui melokalisasi problem sedemikian
rupa dan memecahkannya[23].
Berbagai pendapat mengemukakan aliran-aliran yang
berbeda-beda, sehingga memiliki banyak penjabaran. Dalam buku Filsafat Sebagai
Akar Ilmu Komunikasi yang ditulis Nina Syam, menggambarkan bahwa ada tiga
aliran besar dalam ontologi.
![]() |
Sumber: Nina Syam[24]
2.2
Komunikasi dan Islam
2.2.1
Komunikasi
Komunikasi merupakan bagian dari ilmu sosial yang berakar
pada filsafat. Nina Syam, membuat pohon komunikasi yang menjelaskan secara
runut mengenai komunikasi yang berakar dari filsafat, psikologi, psikologi
sosial, sosiolog, antropologi, biologi, fisika, dan matematika. Untuk biologi,
fisika dan matematika tersentuh setelah perkembangan teknologi komunikasikasi
yang semakin pesat. Batang dan dahan komunikasi merupakan pengembangan teoritis
dan aplikatif yang mencakup teori-teori komunikasi dan perkembangannya,
filsafat komunikasi, psikologi komunikasi dan lainnya[25].
Untuk itu filsafat komunikasi dari segi ontologi
mempertanyakan apakah objek kajian ilmu komunikasi. Dalam konteks ilmu
komunikasi, terdapat tiga paradigma dasar yang menentukan prespektif atau cara
pandang terhadap komunikasi yaitu dari segi epistimologi, aksiologi dan
ontologi Berdasarkan ke tiga paradigma tersebut, komunikasi didefinisikan
sebagai usaha penyampaian pesan antar manusia. Artinya, objek ilmu komunikasi
adalah tentang penyampaian pesan antar manusia yang disampaikan dengan usaha
secara sengaja dilatari motif komunikasi, dikupas terlebih dahulu tentang
hakikat manusia terutama faktok rohani yang dimilikinya. Manusia tidak bisa
tidak berkomunikasi[26].
Sehingga tidak semua tindakan manusia adalah tindakan
komunikasi. Oleh karena itu tindak komunikasi dalam penyampaian pesan ditandai
dengan adanya motif komunikasi. Motif komunikasi sangat menentukan apakah
sesuatu layak disebut pesan atau tidak, apakah seseorang berlaku sebagai
komunikator medium atau komunikan yang bergeser menjadi komunikator.
2.2.2
Islam
Islam adalah agama tauhid. Maka, bila dalam filsafat lain
masih 'mencari Tuhan', dalam filsafat Islam justru Tuhan 'sudah ditemukan,
dalam arti bukan berarti sudah usang dan tidak dibahas lagi, namun filsuf islam
lebih memusatkan perhatiannya kepada manusia dan alam, karena sebagaimana diketahui,
pembahasan Tuhan hanya menjadi sebuah pembahasan yang tak pernah ada finalnya.
Secara etimologis filsafat berasal dari bahsa Arab yaitu
falsafah. Kata falsafah inipun berasal dari bahasa Yunani yaitu dari kata
philosophia. Philos berarti cinta, suka. Sophia berarti pengetahuan, ilmu,
kebijaksanaan. Jadi Philosophia berarti cinta pengetahuan atau cinta pada
kebijaksanaan. Sedangkan islam memiliki arti menyerahkan diri, lalu menyembah
dan beribadah kepada Allah[27].
Ibadah dalam islam selalu dikaitkan dengan aktivitas
berpikir dan memang berpikir adalah perintah Ilahi agar manusia bisa beriman,
maka meniscayakan pengetahuan rasional di dalam proses kependidikan islam
berorientari pada nilai-nilai ketuhanan. Pengetahuan rasional dalam islam bukan
melulu akal dan bukan pula melulu indrawi, tetapi ada jalinan interdependensi.
Manusia diberikan
fitrah untuk mengenal Tuhan, naluri ini ada pada manusia sejak asal mula
kejadian atau penciptaannya. Melalu fitrah yang suci inilah pengetahuan yang
diperoleh melalui indrawi yang kemudian menghasilkan sebuah kebenaran yang
hakiki. Jadi, dengan demikian antara akal yang fitrah dan indrawi saling bahu
membahu dalam menghasilkan pengetahuan yang hakiki.
Pandangan hidup islam tidak berdasarkan kepada metode
dikotomis seperti obyektif dan subyektif, historis dan normatif. Namun,
realitas dan kebenaran dipahami dengan metode yang menyatu (tauhid). Pandangan
hidup islam bersumber kepada wahyu yag didukung oleh akal dan intuisi.
Islam memberikan keyakinan bahwa pembentukan pengetahuan
erat kaitannya dengan penciptaan hubungan manusia, alam, dan Tuhan dalam siklus
yang tidak terputus. Manusia sebagai subjek ilmu dituntut proaktif memainkan
peran khalifahnya di dalam membuat garis-garis hubungan yang akan membentuk
dirinya sebagai manusia mu’min muttaqin yang diidamkan. Dalam upaya ini, Islam
mengajarkan bahwa setiap anak manusia memiliki kebebasan menentukan dirinya
yang akan membawanya pada ‘ilmu al-yaqin yang memungkinkan ia bertanggung jawab
akan apa yang ia hasilkan[28].
Pengakuan akan betapa pentingnya ilmu dan Islam, terlihat
dari ajarannya yang menyebutkan bahwa mencari dan mengajarkan ilmu adalah
sesuatu yang diwajibkan, sehingga lembaga pendidikan adalah suatu lembaga yang
bertugas bagaimana menyadarkan subjek didiknya akan kewajiban dan tanggung
jawabnya untuk mengambil peran dalam belajar dan membelajarkan tersebut[29].
Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa Islam merupakan
agama dan kepercayaan yang meyakini adanya Tuhan. Sehingga dalam filsafat Islam
tidak lagi membicarakan atau mencari Tuhan, melainkan alam semesta dan manusia
yang ada sebagai objek dan pusat perhatian.
2.3
Komunikasi Presfektif Islam
Ilmu komunikasi Islam, sebagaimana juga ilmu komunikasi
umum, membahas tentang manusia. Komunikasi ada pada semua aspek kehidupan
manusia. Tidak ada bidang kehidupan bermasyarakat yang tidak ada komunikasinya.
Dengan konteks inilah menurut Wilbur Schramm dan Edward Sapir (1973) sebetulnya
ilmu komunikasi tidak memiliki tanah atau lahan yang khusus bagi dirinya
sendiri namun berdiri dari ilmu-ilmu sebelumnya seperti psikologi, antropologi
dan lainnya seperti di kemukakan di atas.
Dengan demikian, komunikasi harus meminjam metode-metode
dari disiplin-disiplin ilmu lain untuk memahami teorinya sendiri. Bagi Islam,
komunikasi memang jelas sebagai salah satu fitrah manusia. Hal itu dapat
dilihat pada Alquran surat ar-Rahmān/55, ayat 1-4. Firman Allah:
Artinya:
“(Tuhan) Yang Maha Pemurah,
Yang telah mengajarkan al Quran. Dia menciptakan manusia. Mengajarnya pandai
berbicara.”
Kata-kata “al-bayan”
di dalam salah satu ayat tersebut ditafsirkan As-Syaukani dalam tafsirnya Fath
al-Qadir, sebagaimana dikutip Jalaluddin Rakhmat, diartikan sebagai kemampuan
berkomunikasi[30].
Menurut Jalaluddin Rakhmat, selain kata “al-bayan”, kata kunci berkomunikasi yang
dipergunakan di dalam Al-quran juga terdapat perkatan “qaul” dalam konteks
“amar” atau perintah. Paling tidak, yang menggunakan kata-kata “qaul” dengan
berbagai variasinya di dalam Alquran terdapat pada Qs. an-Nisā’/4: 5, 9 dan 63,
al-Isra’/17: 23 dan 28, Tāha/20: 44 serta al-Ahzāb/33: 70. (Terjemahannya
secara berturut-turut di bawah ini):
Artinya:
“Dan janganlah kamu serahkan
kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam
kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka
belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka
kata-kata yang baik.”
“Dan hendaklah takut kepada
Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang
lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu
hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan
perkataan yang benar.”
“Mereka itu adalah orang-orang
yang Allah mengetahui apa yang di dalam hati mereka. Karena itu berpalinglah
kamu dari mereka, dan berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka
perkataan yang berbekas pada jiwa mereka.” (Qs. an-Nisā’/4: 5, 9 dan 63).
Artinya:
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan
supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada
ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau
kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali
janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan
janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang
mulia.”
“Dan jika kamu berpaling dari
mereka untuk memperoleh rahmat dari Tuhanmu yang kamu harapkan, maka katakanlah
kepada mereka ucapan yang pantas” (Q.s. al-Isra’/17: 23 dan 28).
Artinya:
“maka berbicaralah kamu berdua
kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau
takut." (Q.s. Tāha/20: 44).
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman,
bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar” (Q.s.
al-Ahzāb/33: 70)
Dari ayat-ayat tersebut dipahami bahwa obyek bahkan
sekaligus yang menjadi subyek komunikasi Islam adalah manusia. Dengan demikian,
obyek penelaahan ilmu komunikasi Islam juga manusia itu sendiri. Manusia yang
menyampaikan pesan kepada sesamanya, bahkan ketika manusia berdo’a yang
diyakini sebagai komunikasi antara manusia dengan Tuhan (komunikasi
transendental) yang ditelaah adalah manusia itu sendiri, tentang bagaimana ia
memanjatkan do’a, etikanya pada saat berdo’a, sampai kepada diterima atau
tidaknya do’anya dengan melihat dampaknya terhadap dirinya atau yang
dido’akannya. Kendati yang terakhir ini tentu saja sulit terdeteksi, tetapi
paling tidak ada dampak yang dirsakannya mungkin daris sikap maupun
perilakunya.
Sementara itu, berdasarkan pengertian dan pemahaman Penulis
sendiri terhadap pengertian obyek formal sebagaimana yang telah diuraikan
sebelumnya, maka yang menjadi obyek formal ilmu komunikasi Islam tidak lain
adalah segala pesan (message) yang sesuai dengan ajaran Islam dengan
berdasarkan kepada Al-quran dan Hadis Nabi Muhammad Saw.
Tentu saja pesan yang menjadi kajian dalam ilmu
komunikasi Islam adalah pesan yang disampaikan oleh komunikator kepada
komunikan sesuai dengan pesan-pesan yang diinginkan oleh Alquran maupun Hadis
Nabi Saw. Hal ini memang perlu ditekankan, sebab perbedaan mendasar antara
komunikasi Islam dengan komunikasi umum lainnya terutama terletak pada latar
belakang filosofisnya (Alquran dan Hadis Nabi Saw.) dan aspek etikanya yang
juga didasarkan pada landasan filosofi tersebut[31].
Komunikasi umum (non-Islam, nonreligius) sebenarnya juga
mengadopsi etika, tetapi sanksi atas pelanggaran komunikator terhadap etika
kamunikasi hanya berlaku di dunia. Sedangkan sanksi atas pelanggaran terhadap
etika komunikasi Islam berlaku sampai di akhirat. Ada hukuman akhirat dan
hukuman di alam kubur. Banyak sekali ayat dalam Alquran yang menjelaskan akan
adanya hukuman bagi pelanggar-pelanggar etika komunikasi, baik secara eksplisit
maupun implisit. Tetapi sanksi itu akan tidak berlaku lagi jika si pelanggar
suad bertaubat atau minta ampun, jika Tuhan telah mengampuninya.
Jika pesan merupakan bahan yang akan disampaikan kepada
komunikan, maka sumber pesan dalam komunikasi Islam ada 3 (tiga) kelompok,
yaitu:
a.
Sumber Primer
Alquran dan Hadis Nabi Muhammad Saw., sedangkan pada
komunikasi umum (Barat) informasi yang bersifat primer didapatkan dari pemegang
otoritas secara langsung (first hand information), seperti tesis, surat,
jurnal, dan sebagainya.
b.
Sumber Sekunder
Ijma’, qias, masālih al-mursalah, fatwa sahabat, amal
penduduk Madinah, informasi dari tamaddun/peradaban lainnya, sedangkan pada
komunikasi umum (Barat) yang menjadi sumber sekunder komunikasi adalah tulisan
atau perkataan yang menjelaskan sumber primer, seperti indeks, abstraksi,
bibliografi, dan sebagainya.
c.
Sumber Tertier
Pesan/informasi atau ilmu yang dikembangkan dari sumber
sekunder yang memunculkan ilmu-ilmu baru, sedangkan pada komunikasi umum
(Barat) sumber tertiernya adalah suatu informasi tentang sesuatu yang hal yang
berkaitan dengan informasi-informasi lainnya, seperti bibliografi untuk
bibliografi, buku tahunan atau laporan tahunan, dan sebagainya[32].
2.4
Aspek Ontologi dalam Komunikasi Prespektif Islam
Ontologi
merupakan ilmu yang mengkaji tentang ‘apa’ sebagaimana yang dijelaskan di atas,
dan komunikasi merupakan proses penyampaian pesan yang juga telah dipaparkan
dibagian sebelumnya. Serta Islam dalam prespektifnya juga telah di uraikan di
bagian atas. Sehingga penulis tak perlu
memaparkan lebih jauh mengenai defenisi-definisi secara panjang lebar.
Ilmu komunikasi
adalah usaha penyampaian pesan antar manusia. Hal ini disesuaikan oleh dua hal
dimana 1) sesuai dengan obyek materianya yang berada dalam rumpun ilmu social, maka ilmu komunikasi
harus terjadi antar manusia 2) Ilmu komunikasi menggunakan paradigm dimana
pesan disampaikan dengan sengaja, dilatarbelakangi oleh motif komunikasi dan
usaha untuk mewujudkannya[33].
Obyek material
ilmu komunikasi adalah manusia dan tindakannya dalam konteks sosial[34],
sementara obyek formanya adalah komunikasi itu sendiri sebagai usaha
penyampaian pesan antar manusia[35].
Dalam
kaitannya, aspek ontologi komunikasi prespektif islam yakni merupakan bagaimana
mencari hakikat kajian komunikasi dalam ranah islam secara lebih jelas. Komunikasi
dalam Prespektif Islam sendiri merupakan suatu hal yang fitrah dalam diri
seseorang, dimana setiap manusia diberikan keistimewaaan dapat berkomunikasi,
baik verbal maupun non verbal. Sedangkan isi dari komunikasi tersebut, kembali
kepada masing-masing individu. Namun dalam lingkup komunikasi presfektif islam,
dimana pesan yang disampaikan mengandung-nilai-nilai keislaman yang
berlandaskan Al-quran dan Al-hadis.
“Mereka itu adalah orang-orang yang Allah
mengetahui apa yang di dalam hati mereka. Karena itu berpalinglah kamu dari
mereka, dan berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan
yang berbekas pada jiwa mereka.” (Qs. an-Nisā’/4: 5, 9 dan 63).
BAB III
KESIMPULAN
Seperti
yang telah dikemukakan di awal pada tujuan dari pembuatan makalah ini, yakni
ada tiga hal, yakni 1) Mengetahui pengertian ontologi, komunikasi dan Islam
melalui filsafat. 2) Mengetahui seperti apa komunikasi prespektif islam dan ontologi komunikasi. 3) Mengetahui bagaiamana aspek ontologi komunikasi
presfektif Islam.
Ontologi
merupakan suatu teori/ilmu yang mengkaji tentang wujud atau ‘ada’ dan asal mula
hakikat suatu kehidupan di dunia yang bersifat realitas dengan melihat dari
sisi belakang atau dibalik benda-benada fisik, serta ilmu yang
membahas tentang hakikat yang ada, yang merupakan ultimate reality, baik
yang berbentuk jasmani/konkret, maupun rohani/abstrak. Sedangkan komunikasi dan
Islam menurut filsafat yakni sebagai usaha
penyampaian pesan antar manusia. Pada hakikatnya, manusia tidak akan bisa tanpa
komunikasi. Sedangkan Islam merupakan agama yang meyakini adanya Tuhan, dalam
filsafat Islam tidak lagi memusatkan diri pada Tuhan, melainkan pada Alam dan
Manusia.
Komunikasi
prespektif Islam yang menjadi obyek formal ilmu komunikasi Islam tidak lain
adalah segala pesan (message) yang sesuai dengan ajaran Islam dengan
berdasarkan kepada Al-quran dan Hadis Nabi Muhammad Saw. Dan Ontologi
Komunikasi sendiri yakni mengemukakan tentang hakikat komunikasi sebagai ilmu
yang berakar dari filsafat.
Daftar Pustaka
Bakhtiar,
Amsal. 2007. Filsafat Ilmu. Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada.
Muhmidayeli.
2011. Filsafat
Pendidikan, Bandung ; Refika Aditama.
Syah, Hidayat.
2005. Filsafat
Pendidikan Islam, Pekanbaru ; LP2S Indrasakti.
Syam, Nina
W. 2010. Filsafat Sebagai Akar Ilmu Komunikasi. Bandung ; Simbiosa
Rekatama Media.
Tebba, Sudirman. 2008. Filsafat
dan Etika Komunikasi, , Banten ; Pustaka IrVan.
Vardiansyah, Dani. 2008. Filsafat Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar, Jakarta ; Indek.
http://defickry.blogspot.com/2007/10/sejarah-ilmu-komunikasi.html
diakses: 25 Des 2012 Pukul 9.14
http://masulhadi.blogspot.com/2011/10/ontologi-dalam-islam.html
diakses 24 Des. 2012, Pukul 10.26
http://aufamaudy0408.blogspot.com/2011/12/ontologi-epestemologi-aksiologi.html
diakses: 25 Des. 2012 pukul 13.33
http://alfarizisalman.blogspot.com/2010/07/ontologi-dalam-perspektif-islam.html
diakses 24 Des. 12 pukul 10.23
http://endro.staff.umy.ac.id/?p=87 diakses 25 Des
2012 pukul 15.40
http://raulchest.wordpress.com/tag/filsafat-ilmu-komunikasi/
diakses 25 Des. 2012 pukul 06.58
http://id.wikipedia.org/wiki/Islam diakses 25 des
2012 pukul 23.20
http://alfarizisalman.blogspot.com/2010/07/ontologi-dalam-perspektif-islam.html
diakses 24 Des. 12 pukul 10.23
http://alfarizisalman.blogspot.com/2010/07/ontologi-dalam-perspektif-islam.html
diakses 24 Des. 12 pukul 10.23
http://alfarizisalman.blogspot.com/2010/07/ontologi-dalam-perspektif-islam.html
diakses 24 Des. 12 pukul 10.23
[2]
sumber : http://defickry.blogspot.com/2007/10/sejarah-ilmu-komunikasi.html diakses: 25 Des 2012 Pukul 9.14
[4] Sumber: http://masulhadi.blogspot.com/2011/10/ontologi-dalam-islam.html
diakses 24 Des. 2012, Pukul 10.26
[6]
Sumber: http://aufamaudy0408.blogspot.com/2011/12/ontologi-epestemologi-aksiologi.html diakses: 25 Des. 2012 pukul 13.33
[7] Sumber: http://alfarizisalman.blogspot.com/2010/07/ontologi-dalam-perspektif-islam.html diakses 24 Des. 12 pukul 10.23
[26]
Sumber: http://raulchest.wordpress.com/tag/filsafat-ilmu-komunikasi/ diakses 25 Des. 2012 pukul 06.58
[30]
Sumber: http://alfarizisalman.blogspot.com/2010/07/ontologi-dalam-perspektif-islam.html
diakses 24 Des. 12 pukul 10.23
[31] Sumber: http://alfarizisalman.blogspot.com/2010/07/ontologi-dalam-perspektif-islam.html
diakses 24 Des. 12 pukul 10.23
[32] Sumber: http://alfarizisalman.blogspot.com/2010/07/ontologi-dalam-perspektif-islam.html
diakses 24 Des. 12 pukul 10.23
[33] Vardiansyah, Dani.
Filsafat Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar, Indeks, Jakarta 2008. Halaman 20.
[34]
Tebba, Sudirman. Filsafat dan Etika Komunikasi, Pustaka IrVan, Banten 2008. Hal
57.
[35] Vardiansyah, Dani.
Filsafat Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar, Indeks, Jakarta 2008. Halaman 20.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar