Jumat, 19 Januari 2018

AL-QUR’AN DAN ILMU ALAM



AL-QUR’AN DAN ILMU ALAM[1]

(Sebuah Kajian Filsafat Ilmu)

Oleh : Mohammad Wasil, S.Ag MSI

A. Pendahuluan
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi serta perputaran malam dan siang, terdapat ayat-ayat bagi kaum yang berpikir. Yaitu orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring. Mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (sambil berkata), Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha  Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka”. (Q.S. Ali Imran: 190-191)

            Dalam Islam dapat dijumpai suatu ajaran untuk senantiasa menganjurkan pengkajian terhadap perilaku atau bentuk perputaran dan perubahan yang terjadi baik pada gejala alam semesta ataupun yang terjadi di antara sesama manusia sebagai realitas sosiologis.[2]   Dalam kaitannya dengan hal ini, penekanan terhadap eksplorasi dan eksploitasi keilmuan  mendapat porsi yang cukup signifikan, sebagaimana hadis Nabi        Menuntut Ilmu adalah wajib bagi setiap orang Islam” atau “Tuntutlah ilmu walau ke negeri Cina”.[3]
            Pemanfaatan akal pikiran dalam Islam, dengan Al-Qur’an sebagai pondasi primernya, memperoleh sorotan tajam dengan berbagai pernyataan dan peringatan. Potongan ayat semacam :…maka tidakkah kalian berpikir? (Al-Baqarah: 44), “…terdapat tanda-tanda keesaan dan kebesaran Allah bagi kaum yang memikirkan (Al-Baqarah: 164) atau “Maka apakah mereka tidak memperhatikan onta, bagaimana ia diciptakan? (Al-Ghasyiyah: 17) dan masih banyak lagi dapat memberikan gambaran kepada kita bahwa Allah menghendaki manusia sebagai makhluk ciptaan-Nya paling sempurna untuk memanfaatkan potensi yang ada pada dirinya agar menelaah, mengamati, dan memahami segala karya besar-Nya di jagat ini.[4] Sayangnya, demikian Fazlur Rahman menilai, Al-Qur’an sedikit sekali berbicara tentang kejadian alam    (kosmogoni).[5]
            Kedudukan tinggi bagi akal dan perintah menuntut ilmu pengetahuan sebagaimana diajarkan dalam Al-Qur’an dan Al-Hadis bukan hanya merupakan ajaran dalam teori, tetapi ajaran yang telah pernah diamalkan oleh cendekiawan dan ulama Islam zaman klasik antara abad VII dan abad XIII Masehi.[6]  Dan kita yang sekarang hidup di zaman yang serba canggih  tak sepantasnya kalah dari mereka. Sehingga harus ada usaha untuk bisa memahami antara ilmu agama dan sains karena  Ilmu pengetahuan kealaman yang saat ini tumbuh sebagai akibat dari pelaksanaan salah satu perintah agama, kiranya perlu dipertanyakan apakah benar konsep kosmologi yang berkembang dalam sains sama dengan apa yang terdapat dalam Al-Qur’an?[7] Hal ini disebabkan  obor sains yang telah beralih kepada para cendekiawan non-muslim sejak pertengahan abad XIII hingga abad XVIII. Kerangka acuan yang dipakai tentu saja bukan dari Islam dan nampaknya terjadi dikotomi antara sains dan agama yang bersumber dari al-Qur’an. Dalam makalah ini akan penulis paparkan mengenai jawaban dari permasalahan tersebut di atas.

B. Pembahasan
Ilmu-ilmu alam membatasi diri dengan hanya membahas gejala-gejala alam yang dapat diamati. Tentu saja kata pengamatan yang dimaksud di sini lebih luas dari pada hasil interaksi langsung dengan panca indera manusia, yang lingkup kemampuannya memang sangat terbatas.[8]
Banyak gejala alam yang hanya teramati dengan pertolongan alat pembantu, misalnya gelombang radio yang berkeliaran di sekitar kita tanpa mengusik mereka yang ingin menikmati tidur panjangnya. Tuntutan lebih lanjut bagi gejala alam yang lazim dibahas dalam ilmu-ilmu alam adalah bahwa pengamatan gejala itu dapat diulangi orang lain (reproducible). Jadi jika seseorang ingin menyatakan bahwa ia mendapatkan suatu gejala alam baru yang belum terdaftar dalam perbendaharaan ilmu-ilmu alam maka ia perlu memberitahukan semua informasi tentang lingkungan, peralatan, serta cara pengamatan yang digunakan sehingga memungkinkan orang lain mengamati kembali  jika keadaan mengizinkan. Suatu gejala alam baru akan terdaftar dalam perbendaharaan ilmu-ilmu alam--dalam arti dikenal masyarakat pengembang ilmu-ilmu alam--setelah melalui ujian berulang kali sehingga tidak perlu lagi diragukan kebenarannya.[9]
Ilmu pengetahuan alam pada umumnya diartikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang susunan benda-benda serta perkembangannya, sedangkan ilmu alam (Fisika)  menyelidiki fenomenanya terutama yang diamati dari benda-benda tak bernyawa. Dalam Ilmu Pengetahuan Islam, hal-hal tersebut dibedakan. Dan studi Fisika merupakan bagian dari prinsip Filsafat Alam yang banyak dibahas oleh ilmuwan Muslim kenamaan, dibawah judul “Filsafat Alam”.
            Ibnu Sina telah membahas ilmu ini secara panjang lebar dalam karyanya “Shifa” dan “Fann”. Al-Kindi, Nasr Al-Tusi, Ali Reza, Al-Biruni, Al-Bagdadi, Mulla Sadra, dan Sabziwar juga menulis ilmu ini dalam karya ilmiah mereka. Para ilmuwan muslim, ahli teologi, dan juga ahli metafisika, mempunyai perhatian besar terhadap prinsip filsafat alam, oleh karena Al-Qur’an menaruh perhatian sangat besar kepada ilmu tersebut seperti nampak dalam uraiannya tentang alam ilahi yang amat menakjubkan. Mereka menunjukkan perhatian yang besar kepada persoalan seperti sifat-sifat ruang dan waktu, materi serta gerakannya. Akibatnya ditemukan banyak aliran pikiran yang mengembangkan prinsip-prinsip Fisika dan Filsafat alam itu sendiri.
Ibnu Sina, Al-Maksumi, Al-Nazzam, dan Al-Baqillani telah memberikan pandangannya tentang masalah yang sangat penting dan mendasar tersebut yang mengungkapkan keahlian yang dijadikan dasar pembahasan dan analisa konsep dasar Fisika saat itu.[10]  Dan nama terakhir di atas lebih tertarik secara langsung kepada ilmu Fisika akan disumbangkan ke karya tulisnya yang cukup tebal, pada filsafat alam berdasarkan pandangan dari segi atomistis.
            Namun, sumber yang mendorong penelitian tentang ilmu ini, seperti ilmu lainnya adalah studi Al-Qur’an. Al-Qur’an telah menguraikan secara luas tentang alam samawi melalui berbagai cara yang menunjukkan keagungan dan kebesaran Tuhan.  Penggambaran Al-Qur’an tentang alam fisik besar sekali pengaruhnya kepada kaum muslimin pada masa permulaan Islam, yang mempelopori perumusan tentang prinsip filsafat Alam. Kekuasaan dan kebesaran Allah Maha Pencipta telah diterangkan sebelumnya, dan kalimat yang indah menarik dan punya arti yang sangat dalam tentang dunia filosofis dan fisik, yang memberikan informasi tentang sifat Tuhan sebagai Pencipta alam, diberikan ayat berikut :
اللَّهُ نُورُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ مَثَلُ نُورِهِ كَمِشْكَاةٍ فِيهَا مِصْبَاحٌ الْمِصْبَاحُ فِي زُجَاجَةٍ الزُّجَاجَةُ كَأَنَّهَا كَوْكَبٌ دُرِّيٌّ يُوقَدُ مِنْ شَجَرَةٍ مُبَارَكَةٍ زَيْتُونَةٍ لَا شَرْقِيَّةٍ وَلَا غَرْبِيَّةٍ يَكَادُ زَيْتُهَا يُضِيءُ وَلَوْ لَمْ تَمْسَسْهُ نَارٌ نُورٌ عَلَى نُورٍ يَهْدِي اللَّهُ لِنُورِهِ مَنْ يَشَاءُ وَيَضْرِبُ اللَّهُ الْأَمْثَالَ لِلنَّاسِ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
“Allah (pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya) yang minyaknya (saja)  hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahuai segala sesuatunya”. (Q.S. Al-Nur: 35)

            Ayat di atas memberikan gambaran tentang sifat dan luasnya alam semesta dan Penciptanya. Hal itu menjadi sumber inspirasi bagi umat manusia dalam bidang filsafat alam serta dunia fisik, sehingga setiap generasi bertambah pengetahuannya serta memberikan landasan baru dalam ilmu pengetahuan. Bahkan kepada mereka yang sedang belajar   diberikan informasi tentang fenomena alamiah sehari-hari, seperti cahaya lampu, kaca, bintang yang bersinar cemerlang, atau lainnya dan meninggalkan makna yang bersifat mistis dan filosofis. Ayat-ayat tersebut dan juga ayat lainnya yang serupa dalam Al-Qur’an menghimbau perhatian manusia agar memperhatikan berbagai aspek dan gejala yang terjadi sehari-hari serta mengamati dunia fisik. Hal ini membawa kepada studi sains dalam Islam, termasuk Fisika, dan menghasilkan banyak ilmuwan yang punya pengetahuan luas, yang telah memberikan sumbangan kepada berbagai cabang ilmu Fisika.[11]

1.  Kosmologi dalam Al-Qur’an

Telah banyak tafsir yang ditulis oleh ulama masyhur untuk menafsirkan ayat-ayat suci Al-Qur’an, yang merupakan garis-garis besar ajaran agama Islam itu, dengan mempergunakan ayat-ayat lain di dalam Kitab Suci tersebut dan Sunnah Rasul sebagai bandingan dan penjelasan. Namun, di dalam Al-Qur’an sendiri, ciptaan Tuhan di seluruh jagad raya ini secara jelas disebutkan sebagai ayat-ayat Allah, misalnya di dalam surat Ali Imran ayat 190 :
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَاب
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi serta silih bergantinya malam dan siang, terdapat ayatullah bagi orang-orang yang berakal (dapat menalar).”
Oleh karenanya maka sebagai padanan untuk mendapatkan arti ayat-ayat Al-Qur’an yang menyangkut Al-Kaun dapat digunakan juga ayatullah yang berada di dalam alam semesta ini. Dalam ajaran agama Islam dikenal adanya ilmu kauniyah yang sudah ada sejak empat belas abad yang lalu. Namun manusia masih terlalu bodoh untuk dapat memahami seluruhnya karena ayat-ayat itu diturunkan jauh sebelum “ilmu pengetahuan” dikembangkan. Baru empat belas abad kemudian orang memahaminya, setelah “ilmu pengetahuan” modern, yang merupakan kelanjutan dari warisan ilmu umat Islam, menemukan gejala-gejala alamiah yang bersangkutan, yang ternyata cocok dengan apa yang dinyatakan oleh ayat-ayat tersebut.
            Mengingat hal-hal yang tersebut diatas maka tidaklah mengherankan apabila ketepatan dalam penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an yang berisi konsep-konsep kauniyah sangat berfariasi, bergantung pada pengetahuan mufassir tentang alam semesta itu sendiri.[12] Sebagai contoh dapat dilihat dalam Q.S. Al-Dzariyat : 47

وَالسَّمَاءَ بَنَيْنَاهَا بِأَيْدٍ وَإِنَّا لَمُوسِعُونَ

“Dan sama’ itu Kami bangun dengan kekuatan dan sesungguhnya Kamilah yang meluaskannya”.
Dan Q.S. Al-Anbiya: 30 yang berbunyi :
أَوَلَمْ يَرَ الَّذِينَ كَفَرُوا أَنَّ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ كَانَتَا رَتْقًا فَفَتَقْنَاهُمَا وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَاءِ كُلَّ شَيْءٍ حَيٍّ أَفَلَا يُؤْمِنُونَ
“Dan apakah orang-orang kafir itu tidak tahu bahwa langit dan bumi itu dahulu kala merupakan suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan mereka itu…”
            Mereka yang hidup pada abad IX akan mengatakan bahwa kata-kata “sama’” artinya langit; dan pengertiannya ialah bahwa langit merupakan sebuah bola super-raksasa yang panjang radiusnya tertentu, yang berputar mengelilingi sumbunya.  Dan pada dindingnya tampak menempel  bintang-bintang yang gemerlapan di malam hari. Bola ini dikatakan mewadahi seluruh ruang alam dan segala sesuatu yang berada di dalamnya . Ia merasa yakin bahwa persepsinya mengenai langit itulah yang sesuai dengan apa yang dapat diamati setiap hari, itulah yang sesuai dengan apa yang dapat diamati setiap hari, kapan pun juga. Bintang-bintang tampak tidak berubah posisinya yang satu terhadap yang lain, dan seluruh langit itu berputar sekali dalam satu hari.[13]
            Seorang yang hidup pada awal abad XX, yang telah mengetahui melalui kegiatan sainsnya, bahwa bintang-bintang di langit jaraknya dari  bumi tidak sama, dan bahkan mampu mengukur jarak itu dan mengatakan berapa besarnya, tidak lagi akan mengatakan bahwa langit itu sebuah bola super-raksasa. Ia akan mengatakan bahwa langit adalah ruang jagad raya yang di dalamnya  terdapat bintang-bintang, sebagian diikuti oleh satelitnya dan bahwa ada bintang dalam galaksi kita yang disebut Bimasakti itu.[14]
            Konsep-konsep kosmologi dalam Al-Qur’an merupakan pekerjaan yang tak kunjung henti. Memang begitulah karena sains akan terus berkembang dan akan senantiasa menemukan hal-hal yang baru yang dapat lebih melengkapi pengetahuan untuk dapat lebih memahami ayat-ayat Allah dalam Al-Kaun khususnya dan Al-Qur’an pada umumnya. Dan dari kegiatan penelitian bidang kosmologi akan dapat diperoleh suatu konklusi bahwa ada keselarasan antara Al-Qur’an dan Ilmu pengetahuan yang benar.[15] 

2. Teori Kejadian Alam

Pertanyaan yang cukup lama mengganggu pikiran kita, yakni bagaimana alam semesta mula-mula tercipta, saat ini semakin mendapat jawaban pasti. Jawaban itu terungkap setelah NASA pada tahun 1989 lalu meluncurkan satelit khusus COBE (Cosmic Background Explorer) ke antariksa.[16]
            Dr. George Smoot, Ahli Fisika di laboratorium Lawrence Berkeley dan Universitas California, mengemukakan  hasil penemuan tim yang dipimpinnya di hadapan Himpunan Fisika Amerika di Wsahington DC pada tahun 1992 yang lalu. Dengan COBE, Smoot menemukan gambaran adanya riak-riak awan materi yang membentuk struktur luar biasa besarnya dan paling tua usianya di suatu tempat yang diyakini sebagai “tepi alam semesta”. Penemuan yang sensasional tersebut merupakan bukti kelahiran alam semesta, karena telah menjelaskan bagaimana bintang-bintang dan galaksi-galaksi berevolusi, sejak dentuman dasyat (big bang) yang telah melahirkan kosmos.
            Struktur yang terentang sepanjang sekitar 15 Miliar tahun cahaya (satu tahun cahaya = 9,5 triliun Km) ini diyakini para ahli terbentuk sebagai akibat “ekspansi cepat” alam semesta yang dimulai dari terjadinya dentuman dasyat 15 miliar tahun yang lalu. Dentuman dasyat itu merupakan letusan yang luar biasa padat, suhunya diperkirakan sampai beratus-milyar derajat. Dentuman itu menghasilkan gumpalan energi murni sub-mikroskopik, juga dengan memancarkan radiasi. Mula-mula energi itu berubah menjadi partikel-partikel gas, kemudian menjadi atom-atom gas. Setelah miliaran tahun, grafitasi materi padat tersebut dapat memadatkan gas-gas dan menjadikannya galaksi-galaksi, bintang-bintang, planet-planet, bulan-bulan, meteorid/astroid, dan sebagainya.
            Dari hasil perhitungan para ahli astrofisika di pusat Penerbangan Angkasa Goddard-Greenbelt-Maryland-USA, disimpulkan bahwa alam semesta lahir sekitar 300.000 tahun sejak demtuman dasyat. Dari satelit COBE telah mendukung teori tersebut di atas.[17]

3. Periode Penciptaan Alam Semesta dan Sejarah Planet Bumi

            Allah SWT menjelaskan dalam beberapa ayat-Nya bahwa pembentukan alam semesta (langit-langit) dan bumi itu diciptakan dalam tempo 6 hari (masa/periode) penciptaan seperti yang termaktub dalam Q.S. Hud: 7:
وَهُوَ الَّذِي خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ وَكَانَ عَرْشُهُ عَلَى الْمَاءِ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا وَلَئِنْ قُلْتَ إِنَّكُمْ مَبْعُوثُونَ مِنْ بَعْدِ الْمَوْتِ لَيَقُولَنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا إِنْ هَذَا إِلَّا سِحْرٌ مُبِينٌ
“Dan dia yang menciptakan langit-lagit dan bumi dalam enam hari (masa), dan singgasana-Nya (kekuatan/kekuasaan dan pemeritahan-Nya) ditegakkan pada air (zat alir).”
Ayat lain yang semakna adalah Q.S. Al-Sajdah: 4.[18]
            Menurut para ahli astrofisika terkemuka, tahap pembentukan jagat raya ternyata dapat dikategorikan ke dalam  enam[19] periode :
Tahap Pertama: Sejak alam semesta dan seluruh isinya mulai diciptakan Allah dalam suatu dentuman dasyat, seluruh materi yang semula terkumpul dan terpadu itu berhamburan dengan kecepatan yang amat tinggi, sehingga alam semesta dengan suhu yang sangat tinggi mengembang ke segenap arah.
            Dengan tahap awal ini seluruh kosmos yang terdiri dari materi dan radiasi telah ditentukan interaksinya, sifat serta kelakuannya. Isinya bercampur aduk seperti dalam godokan yang sangat panas (sering dinamakan “sup kosmos”). Dalam tahap awal ini segala macam interaksi sama kuatnya. Selama dalam tahap ini kandungan energi dan materi dalam alam semesta ditentukan jumlahnya. Suhu kosmos selama ekspansi itu telah turun, namun masih terlalu panas.
            Peristiwa tahap pertama ini sesuai dengan firman Allah dalam Q.S. Al-Anbiya: 30 yang berbunyi :
أَوَلَمْ يَرَ الَّذِينَ كَفَرُوا أَنَّ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ كَانَتَا رَتْقًا فَفَتَقْنَاهُمَا وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَاءِ كُلَّ شَيْءٍ حَيٍّ أَفَلَا يُؤْمِنُونَ
“Dan apakah orang-orang kafir itu tidak tahu bahwa langit dan bumi itu dahulu kala merupakan suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan mereka itu…”

Tahap Kedua:  Ketika suhu bubur kosmos telah turun hinggas mencapai 100.000 juta derajat, kerapatan materi di alam diperkirakan mencapai 4 juta ton per liter. Dalam tahap ini bahan penyusun inti-inti atom telah tertentu jumlahnya.
Tahap Ketiga: Ketika suhu bubur kosmos tinggal 1000 juta derajat, kerapatan turun hingga 100.000 ton per liter. Dalam tahap ini muatan kelistrikan alam semesta telah ditetapkan. Usia alam semesta belum mencapai 300.000 tahun sejak dentuman dasyat.
Tahap Keempat:   Ketika suhu bubur kosmos berada di bawah 100 jua derajat, kerapatan materinya tinggal 0,1 kg/liter. Dalam tahap  ini usia alam semesta kurang lebih 300.000 tahun sejak dentuman dasyat. Pada tahap ini telah dimulai penyusunan inti-inti atom. Selain itu terdapat kemungkinan terjadinya pengelompokan materi, sebagi akibat dari kondisi tidak seragam, yang nantinya berevolusi menjadi galaksi-galaksi.
Tahap Kelima:    Pada tahap ini atom mulai terbentuk dan elektron-elektron bebas sangat berkurang jumlahnya. Dalam tahap ini pula sinar/cahaya mengisi seluruh ruangan langit.
Tahap Keenam:   Ketika itu kabut materi (dukhan) yang  terdiri dari atom-atom itu mulai mendingin terus, lalu mengumpul dan membentuk bintang-bintang serta galaksi-galaksi. Di antara bintang-bintang dan galaksi itu terdapat matahari kita yang dikelilingi planet-planet di dalam galaksi Bimasakti.
            Setelah kira-kira setengah juta tahun berlalunya sejak dentuman dasyat, atau pada akhir tahap VI, suhu kosmos tinggal 40 juta derajat. Karena timbul ketidakseragaman penyebaran materi dan energi, maka pada waktu itu timbul pemisahan antara calon-calon galaksi (termasuk pula galaksi bima sakti kita yang mengandung matahari dan bumi), dan selanjutnya calon-calon galaksi itu berevolusi menjadi bintang-bintang dan planet-planet seperti yang ditemukan saat ini. [20]
            Sedangkan khusus tentang sejarah planet Bumi kita setidaknya dapat kita temukan laporan penelitian sebagaimana dikutip Dedy Suardi, yang membagi terdiri dari tiga zaman sesuai dengan usia fosil yang ditemukan.  Ketiga fase geologi itu adalah Paleozoikum (primer), Mesoikum (sekunder), dan Senozoikum (tersier).

a.      Masa Paleozoikum, merupakan masa yang paling tua, melukiskan fosil-fosil dari bentuk kehidupan primitif. Masa ini terdiri atas enam bagian waktu: Kambrium, Ordovisium, Silurium, Devonium, Karbon, dan Permium. Masa Prakambrium  cuma mengukirkan sedikit fosil, dan masa ini dimulai sejak terbentuknya planet bumi, 4.600 juta tahun yang lampau. Mungkin saja kehidupan di bumi ini dimulai kira-kira 4.000 juta tahun silam. Dan fosil-fosil yang paling purba ialah jamur hijau dengan usia 3.100 juta tahun serta stromatolit dengan usia 2.800 juta tahun. Masa Kambrium, 570 juta tahun yang lalu, mengukirkan banyaknya fosil, di antaranya graptolit, trilobit, kece primitif, dan sebangsa yuyu. Sedangkan masa Ordovisium, 500 juta tahun yang lalu, melukiskan fosil invertebrata, binatang bertulang belakang penghuni air. Pada masa Silurium, 435 juta tahun yang lampau, terbentuklah makhluk yang disebut Okstrakodermata, yang tipenya mirip ikan berbentuk kasar, memiliki kerangka dalam, berbeda dengan invertebrata yang tidak memilikinya. Makhluk itu dipersenjatai dengan sisik tulang. Bangun tubuhnya kokoh, namun tidak berahang. Binatang tersebut merayap menyusuri dasar laut sambil mengisap makanannya. Pada masa silurium ini terbentuk pula tanah yang diliputi rawa, juga hidup kalajengking laut. Masa Devonium, 395 juta tahun yang lalu, merupakan masa ikan bertulang. Pada masa itu muncullah binatang ampibi, dan pula terbentuklah tumbuh-tumbuhan daratan. Ikan bertulang atau berahang itu tidak perlu lagi menyusuri dasar laut guna mencari mangsanya. Masa Karbon, 345 juta tahun yang lampau, menampilkan lebih banyak lagi ampibi. Pada masa itu terbentuklah binatang melata atau reptil dan muncul pula tumbuh-tumbuhan sejenis cemara. Pada masa Permium, 280 juta tahun yang lampau, jumlah binatang reptil meningkat, dan Trilobit mulai punah.

b.      Masa Mesoikum terbagi menjadi tiga bagian: Trias, Yura dan Kapur. Masa Trias, 230 juta tahun yang lampau, ditandai dengan munculnya Dinosaurus yang paling awal serta reptil laut.  Masa Yura, 195 juta tahun yang lalu, berkembanglah Dinosaurus dan reptil yang terbang. Sedang masa Kapur, 141 juta tahun yang lalu, Dinosaurus dan reptil lainnya punah. Maka muncullah tumbuh-tumbuhan berbunga.

c.       Masa Senozoikum dibagi menjadi dua bagian; masa Tersier dan masa Kuarter. Masa Tersier terbagi lagi menjadi lima bagian: Paleosin, Eosin, Oligosin, Miosin, dan Pliosin.  Pada masa Paleosin, 65 juta tahun yang lampau, punah binatang reptil besar, namun binatang binatang menyusui berkembang  dengan pesat. Kemudian masa Eosin, 55 juta tahun yang lalu, menampilkan binatang menyusui yang asing. Kuda dan gajah mulai muncul terlihat pula tumbuhan mutakhir.  Masa Oligosin, 38 juta tahun silam, menampilkan monyet paling awal. Juga muncul binatang mamalia atau binatang menyusui. Pada masa itu tumbuh-tumbuhan yang berbunga meningkat jumlahnya. Pada masa Meosin, 22,5 juta tahun yang lalu, terdapat monyet yang jumlahnya cukup banyak di Afrika, juga kelompok binatang menyusui yang memakan rumput di padang-padang luas.  Masa Pliosin, 6 juta tahun yang lampau, menampilkan monyet manusia yang pertama. Pada masa tersebut terjadi glesyer atau mendinginnya udara, yang menyebabkan punahnya binatang menyusui yang besar-besar. Sedang masa Kuarter terdiri dua bagian; Peistosin dan Holosin. Pada masa Pleistosin, 1,8 juta tahun yang lampau, dimulai mendinginnya iklim Bumi yang mewujudkan Zaman Es di belahan bumi Utara. Namun, binatang menyusui yang berbulu tebal dapat mengatasi udara dingin ini. Masa Holosin, 10.000 tahun yang lalu, menampilkan sosok manusia mutakhir yang mengembangkan kebudayaannya.[21]

C. Analisa
      Paparan tentang penciptaan alam dan proses munculnya kehidupan di muka bumi setidaknya pernah diungkap dalam Al-Qur’an walau dalam bentuk yang sangat sederhana. Perlu kiranya dikutip pernyataan Baiquni yang menyerang para pengagum Al-Qur’an yang mengatakan segala ilmu pengetahuan termasuk ilmu kealaman secara mendetail dapat ditemukan dalam Al-Qur’an. Sia-sialah mereka yang terlalu mengabdi pada ilmu dengan mengerahkan segala daya dan dana. Padahal menurut Baiquni  Al-Qur’an hanyalah memberikan patokan atau garis besar saja yang tak mungkin diketahui secara rinci maksud dan tujuannya tanpa usaha maksimal manusia dengan berbagai penelitian dan pemahaman. Tidak dapat dipungkiri bahwa banyak pertanyaan yang meragukan muatan saintifik Qur'an yang mengarah pada otentisitas Qur’an sebagai sumber ajaran agama atau sebaliknya sebagai kitab panduan sains karya manusia dikarenakan tidak adanya penjelasan detail tentang segala sesuatu yang berhubungan sains.
Permasalahan di atas pada dasarnya merupakan suatu refleksi dari kebutuhan akan pemahaman tentang qur'an sendiri sebagai sumber petunjuk bagi  umat Islam secara global dengan keberadaan sains sendiri. Hal ini pada dasarnya merupakan suatu indikasi bahwa al-Qur’an bukanlah merupakan kitab sains yang dapat dibuat oleh manusia yang memuat penjelasan detail tentang sains atau ilmu kealaman. al-Qur'an hanya memiliki ruh dari ilmu kealaman yang mengindikasikan adanya suatu proses yang terjadi di bumi secara saintifik agar manusia melakukan eksplorasi lebih lanjut lagi untuk menemukan jawaban secara teknis dan aplikatif.
            Manusia dalam hal ini telah mampu menunjukkan keselarasan antara ilmu agama dan sains dengan melalui eksplorasi yang akhirnya melahirkan teori tentang kejadian alam semesta itu sendiri. Dimana manusia tersebut harus bisa menyadari bahwa hal tersebut sebenarnya sudah diisyaratkan oleh al-Qur’an walaupun tidak semua ilmuan mengakui adanya isyarat tersebut dan al-Qur’an sendiri tidak memaksakan manusia membenarkan hal itu.  
D. PENUTUP
Teranglah bahwa Al-Qur’an dan Ilmu Kealaman memiliki hubungan erat yang saling melengkapi. Manusia tidak dapat memahami langsung isyarat dalam Al-Qur’an yang berkaitan dengan ilmu kealaman sebagaimana dicontoh perubahan persepsi manusia tentang langit tanpa adanya eksplorasi yang dilakukan oleh manusia itu sendiri. Mereka yang hidup pada abad IX akan berbeda pemaknaannya terhadap langit dengan mereka yang hidup abad XX, dan tidak menutup kemungkinan bahwa pencapaian pemahaman yang saat ini dianggap paling valid akan berubah seiring pertambahan waktu dan. perkembangan zaman. Bukankah asumsi yang dipakai dalam filsafat ilmu bahwa kebenaran itu relatif sehingga asas yang digunakan adalah asas probalistik?[22]
            Demikian tulisan ini, semoga apa yang telah diusahakan oleh penulis dapat memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi segenap civitas akademika yang berkenan menelaahnya. Wallahu a’lamu bisshawab.




DAFTAR PUSTAKA


Al-Qur’an Al-Karim

Alim, Sahirul, Menguak Keterpaduan Sains, Teknologi, dan Islam, (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1996), cet. ke-1
Bahreisj, Hussein,  Kehancuran Alam Semesta, (Surabaya: Bina Ilmu, 1985),  cet. ke-2

Baiquni, Achmad, Al-Qur’an, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995), cet. ke-3

Jamaluddin, Muhammad, On Cosmic Verses in The Qur’an, (Kairo: Syaria Al-Amir Kadadar,tt).
Kholil, Imaduddin, Madkhal ila Mauqifi Al-Qur’an Al-Karim min Al-Ilmi, (Beyrut: Muassasah Al-Risalah, 1983), cet. ke-1

Komisi Nasional Mesir untuk UNESCO, alih bahasa: A. Tafsir, Sumbangan Islam kepada Ilmu dan Kebudayaan, (Bandung: Pustaka, 1986), cet. ke-1

Nasution, Harun, Akal dan Wahyu dalam Islam, (Jakarta: UI Press, 1986), cet. ke-2

Qardhawi, Yusuf, alih bahasa : Abdul Hayyie dkk, Al-Qur’an Berbicara tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan,  (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), cet. ke-2

-----------, alih bahasa Abu barzani, Ijtihad Kontemporer, (Surabaya: Rislah Gusti, 1995)

Rahman, Afzalur, alih bahasa: Arifi M.Ed, Al-Qur’an Sumber Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1992), cet. ke-2


Rahman, Fazlur, alih bahasa: Anas Mahyuddin, Tema Pokok Al-Qur’an, (Bandung: Pustaka, 1996), cet. ke-2


Shouwy, Ahmad, (et.al), Mukjizat Al-Qur’an tentang IPTEK, (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), cet. ke-1

Suardi, Dedy, Makhluk Berdasi Mencari Tuhan, (Bandung: Remaja Erosdakarya, 1991), cet ke-1

Suprapto, B., Aturan Permainan dalam ilmu-ilmu Alam, dalam Jujun S. Suriasumantri (ed.), Ilmu dalam Perspektif, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), cet. ke-14

Suriasumantri, Jujun S., Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1999), cet. ke-12
Sya’rawi, Asy-, M. Mutawali, alih bahasa: Azis Salim, Bukti-bukti Adanya Allah, (Jakarta: Gema Insani Press, 1993), cet.ke-5
Tim Perumus Fakultas Teknik UMJ Jakarta, Al-Islam dan IPTEK II, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1998), cet. ke-1

Whitehead, Alfred North, (et.al), alih bahasa : Wasi Waskita dkk, Sains, Moral, dan Agama, (Bandung: Eraseni Media, 1994),  cet.ke-1


[1] Writen By Moch Nadziri
[2] Lihat Sahirul Alim, Menguak Keterpaduan Sains, Teknologi, dan Islam, (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1996), cet. ke-1, h. 5
[3] Negeri Cina sebagai gambaran suatu tempat yang jauh atau negeri yang belum memeluk Islam. Dengan demikian menuntut ilmu tak terbatas pada persoalan keislaman, akan tetapi lebih luas menyangkut segala bidang ilmu yang bermanfaat untuk keberlangsungan hidup manusia di muka bumi ini.
[4] Lihat Yusuf Qardhawi, alih bahasa : Abdul Hayyie dkk, Al-Qur’an Berbicara tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan ,  (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), cet. ke-2, h. 19-27
[5] Fazlur Rahman, alih bahasa: Anas Mahyuddin, Tema Pokok Al-Qur’an, (Bandung: Pustaka, 1996), cet. ke-2, h. 95
[6] Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam, (Jakarta: UI Press, 1986), cet. ke-2, h. 52
[7] lebih lanjut telaah buku karya Muhammad Jamaluddin, On Cosmic Verses in The Qur’an, (Kairo: Syaria Al-Amir Kadadar,tt).
[8] Jauh dimasa pra-sejarah, nenek moyang kita bekerja dengan metode “trial and error  dan mengkombinasikannya secara sederhana. Mereka terbiasa dengan metode non-sains sebagai pengendali yang kita sebut sebagai supra-natural. Ini sama halnya dengan rasionalisasi jawaban non-sains yang digunakan sebagai penjelasan. Sains pada tahap ini masih merupakan sesuatu yang tidak ilmiah menurut pandangan modern kita. Lebih lanjut silakan lihat Alfred North Whitehead (et.al), alih bahasa : Wasi Waskita dkk, Sains, Moral, dan Agama, (Bandung: Eraseni Media, 1994),  cet.ke-1, h. 10
[9] B. Suprapto, Aturan Permainan dalam ilmu-ilmu Alam, dalam Jujun S. Suriasumantri (ed.), Ilmu dalam Perspektif, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), cet. ke-14, h. 129
[10] Sungguh diakui bahwa orang Arab Muslim telah menjadi perintis berbagai lapangan ilmu dan menguatkan pendapat orentalis, Cajori. Lihat pengakuannya dalam Komisi Nasional Mesir untuk UNESCO, alih bahasa: A. Tafsir, Sumbangan Islam kepada Ilmu dan Kebudayaan, (Bandung: Pustaka, 1986), cet. ke-1, h. 175-177.

[11] Afzalur Rahman, alih bahasa: Arifin M.Ed, Al-Qur’an Sumber Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1992), cet. ke-2, h. 71-73

[12] Kita tak dapat pungkiri bahwa setiap zaman memiliki penafsiran tertentu tentang kandungan Al-Qur’an baik ayat-ayat hukum  maupun ayat lain semacam ayat kauniyah. Ijtihad memang sangat dianjurkan Islam agar agama samawi terakhir ini tetap aktual sepanjang masa. Lebih jelasnya lihat Yusuf Qardawi, alih bahasa Abu barzani, Ijtihad Kontemporer, (Surabaya: Rislah Gusti, 1995), h. 5-7
[13] Achmad Baiquni, Al-Qur’an, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995), cet. ke-3, h. 30-31
[14] Ahmad Baiquni, op. cit,  h. 34-35
[15] lihat M. Mutawali Asy-Sya’rawi, alih bahasa: Azis Salim, Bukti-bukti Adanya Allah, (Jakarta: Gema Insani Press, 1993), cet.ke-5, h. 88-89
[16] tentang akfitas para sarjana NASA dapat ditelaah lebih lanjut Hussein Bahreisj, Kehancuran Alam Semesta, (Surabaya: Bina Ilmu, 1985),  cet. ke-2

[17] Tim Perumus Fakultas Teknik UMJ Jakarta, Al-Islam dan IPTEK II, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1998), cet. ke-1, h. 2-3
[18]  Kumpulan ayat-ayat berkaitan dengan ilmu-ilmu dapat ditelaah dalam Imaduddin Kholil, Madkhal ila Mauqifi Al-Qur’an Al-Karim min Al-Ilmi, (Beyrut: Muassasah Al-Risalah, 1983), cet. ke-1
[19] Kesesuaian enam tahap antara rumusan Al-Qur’an dan  pendapat kaum ilmuwan mnunjukkan bahwa Al-Qur’an mempunyai antisipasi ilmiah yang mengagumkan, suatu ramalan tentang penemuan-penemuan zaman modern.Demikian apresiasi yang dinyatakan Maurice Bucaille dalam Ahmad Shouwy (et.al), Mukjizat Al-Qur’an tentang IPTEK, (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), cet. ke-1, h. 286

[20] Tim Perumus Fakultas Teknik UMJ Jakarta, op. cit.,  h. 4-8
[21] Dedy Suardi, Makhluk Berdasi Mencari Tuhan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1991), cet ke-1, h. 11-12
[22] keterangan lebih mendetail dapat dijumpai dalam Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1999), cet. ke-12, h. 72-81

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

NOVEL "JERUK MAKAN JERUK "

Pagi duniaku, Suasana pagi yang sejuk bagi seorang pemuda yang mencoba menjadi seorang pendidik di sebuah lembaga MTs dipedalaman desa...