Jumat, 19 Januari 2018

Kemunduran Islam




Judul asli Diagnosis Kemunduran Ummat.

Oleh Prof. Dr. Fahmi Amhar  

"Seorang dokter yang salah diagnosa, akan salah pula memberi therapi.
Bila ummat Islam salah memahami proses kemundurannya, maka mereka
akan salah pula dalam mencari cara-cara menuju kebangkitannya"

Kalau kita mencoba melakukan analisis atas kualitas suatu ummat, tak terkecuali ummat Islam, maka kita harus menetapkan dulu tolok ukurnya, agar tak salah bila kita katakan suatu ummat itu maju atau mundur, dan bila mundur, kita juga tahu bagaimana seharusnya, atau ke mana langkah menuju.

Qualitas ummat terbaik adalah ditemui pada generasi Nabi, generasi  sesudahnya (Tabiin) dan generasi sesudahnya lagi (Tabiit-Tabiin).  (HR Bukhari, dll).

Qualitas itu diukur dengan kriteria yang uniq, yakni pada aktivitasnya  dalam menyuruh yang ma'ruf dan mencegah yang mungkar (QS 3:110).  Tugas ini memerlukan type-type manusia muttaqin, mereka yang hanya takut  kepada Allah saja, dan tidak bisa dipungkiri, bahwa jumlah "muttaqin per kapita" yang terbanyak adalah di zaman Nabi.

Bila kita analisis, maka proses kemunduran ummat Islam itu secara singkat bisa dibagi dalam tiga tahapan:
1.   Kekaburan Fikrah Islamiyah (=ide atau fikiran)
2.   Kekaburan Thariqah Islamiyah (=methode mewujudkan ide)
3.   Kekaburan Relasi antara Fikrah dan Thariqah.


1    Kekaburan Fikrah Islamiyah
1.1    Merebaknya Mitos

Kekaburan fikrah mulai terjadi sejak dini (abad 2 H), saat derap perluasan wilayah Islam kurang terimbangi dengan derap pewarisan fikrah Islam.  Akibatnya, berbagai bangsa yang tadinya hidup dalam mitos dan filsafat serta mistik Yunani/Mesir, Persia atau India, tidak segera membuang mitos/filsafat/mistik itu dari alam fikirnya, melainkan mencoba "mengawinkannya dengan Islam" atau dengan kata lain: "mengislamkan mitos" dan "memitoskan Islam".

Contoh dari mitos ini banyak sekali.  Kita tahu, dalam semua ajaran lain, keyakinan dasarnya selalu berasal dari mitos, atau suatu aksioma dasar yang tidak bisa dilacak secara rasional.  Bangsa yang tadinya penganut mitos itu, ketika beralih ke Islam, pun memandang aqidah Islam sebagai mitos.  Person Rasul berubah dari sosok manusia yang bisa ditiru setiap muslim (sebagai uswatun hasanah) menjadi sosok keramat yang supranatural.  Bahkan belakangan, seorang 'alim yang aslinya hanyalah ilmuwan atau pakar, yang dalam ijtihadnya bisa benar maupun salah, tiba-tiba dipandang sebagai "orang suci" yang tidak mungkin salah, sebagaimana orang-orang Kristen memandang Paus, atau orang-orang Hindu memandang Sri Bhagawan.

Ketika seseorang bisa menjadi "kult-figur" karena mitos, maka orang-orang yang ada penyakit di hatinya berlomba untuk juga memiliki posisi di sana.  Mereka melegitimasi diri di depan orang-orang yang tidak tahu dengan ayat-ayat Qur'an yang diselewengkan tafsirnya, atau dengan hadits-hadits yang dhaif atau palsu.  Maka muncullah bid'ah di mana-mana.

1.2    Pengabaian Bahasa Arab

Kekaburan fikrah ini makin dipercepat tatkala bahasa Arab tidak lagi dipelihara.  Hingga berakhirnya masa khilafah Abbasiyah, islamisasi selalu dilakukan bersama-sama dengan "arabisasi".  Dengan itulah, maka orang-orang yang berpotensi dari seluruh dunia Islam, meskipun berasal dari etnis bukan Arab, bisa memberikan kontribusinya yang besar pada Islam.  Bahasa Arab klasik sebagai bahasa Qur'an, yang memang paling  kaya di antara bahasa-bahasa di dunia, menjadi bahasa internasional, bahasa silaturahmi ummat Islam, dan bahasa ilmu pengetahuan Islam.  Tak ada suatu kata yang tidak bisa diungkapkan dalam bahasa Arab.

Adalah keputusan yang fatal dari suatu masa khilafah Utsmaniyah, ketika mereka memutuskan untuk meninggalkan tradisi tersebut, dengan alasan, agar Islam lebih mudah "diserap" tanpa barier bahasa Arab.  Namun akibatnya, di negeri-negeri yang belum berbahasa Arab, bahasa Arab menjadi "hak istimewa" selapis kecil kaum terpelajar saja, sedangkan bagi ummat, khasanah ilmu yang luar biasa, yang selama itu hanya ada dalam bahasa Arab, menjadi tertutup.

1.3    Surutnya Ijtihad

Akibatnya, ketika faktor bahasa Arab menjadi barier, maka ijtihad tidak lagi dikerjakan dengan cukup.  Padahal ummat Islam hanya bisa terus menerus menghadapi zaman, bila mereka terus menerus berijtihad.  Sedangkan ijtihad hanya bisa dikerjakan dalam bahasa Arab klasik.  Ketika sebagian orang nekad berijtihad tanpa bekal yang memadai, timbullah berbagai "fatwa nyleneh", sehingga beberapa penguasa pada zaman itu merasa perlu untuk "menutup pintu ijtihad".  Suatu keputusan berniat baik namun gegabah dan justru memperburuk suasana.

Karena ijtihad tidak lagi dikerjakan, maka persoalan baru tampak menjadi muskil dipecahkan dengan Islam.  Maka ummat Islam pun mulai mengambil solusi dari luar Islam.  Mulai abad 17 (abad 11 H) sejalan dengan invasi Barat ke negeri-negeri muslim, ummat Islam mengambil sistem ekonomi kapitalis dan sistem hukum & politik sekuler, meskipun mereka masih "menguji" agar "tidak bertentangan dengan Islam".  Namun kekaburan ini sudah terlanjur menjadi, dan ummat Islam tidak lagi kritis, bahwa sistem asing yang diimpornya itu didasarkan pada mitos.  Bahkan lambat laun mereka cukup fanatik pada sistem asing itu, karena  telah ada seseorang yang juga sudah dimitoskan yang melegitimasinya.

2    Kekaburan Thariqah Islamiyah

Islam bukanlah ajaran yang memberikan sekedar ide, melainkan juga menunjukkan metode untuk mewujudkan ide tersebut, yang dikenal dengan term "thariqah".  Bila kita selidiki, semua perintah-perintah ilahi selalu termasuk fikrah (=ide) atau thariqah (=metode), dan tak ada perintah fikrah tanpa thariqah, atau thariqah tanpa fikrah.

Sebagai contoh, "Berimanlah" adalah perintah fikrah.  Perintah thariqah yang berkaitan dengan ini adalah hal-hal yang menyangkut mengamati alam serta melakukan pemikiran rasional yang menjadi landasan iman, dan perlindungan iman termasuk jihad serta hukuman mati bagi orang-orang yang murtad.
Contoh lain, "Jiwamu, Hartamu dan Kehormatanmu adalah suci" adalah perintah fikrah.  Perintah thariqah yang berkaitan adalah perlindungan atas kesucian itu, seperti fasilitas kesehatan, polisi, pengawas pasar, peradilan keluarga, dan juga termasuk hukuman bagi pelanggaran atas tindak pidana yang terkait.

Kekaburan atas thariqah Islamiyah bisa dibagi dalam tiga tahap:

2.1    Kendurnya Jihad

Pada awalnya ummat Islam sadar bahwa hidup mereka dipersembahkan untuk Islam serta untuk memanggul dakwah Islam, dan ini berarti termasuk jihad al-qital (perang fisabilillah), agar tak ada lagi fitnah di muka bumi sehingga agama itu hanya untuk Allah belaka (QS 2:193).

Dan karena jihad memerlukan persiapan yang matang, maka otomatis kaum muslimin menyiapkan tubuh yang sehat dan kuat, keluarga yang intakt, negara yang adil, ekonomi yang mapan, IPTEK yang maju dan ibadah yang khusyu'.  Jihad sebagai alat dakwah sekaligus menjaga kaum muslimin agar selalu menjadi ummat terbaik di muka bumi (khairu ummat) agar ummat lain yakin, bahwa ajakan kepada Islam memang akan membawa mereka menjadi maju, adil, makmur dan diridhoi Allah.  Bila mereka perlu contoh, maka silakan melihat sendiri fakta di Daarul Islam. Saat itu, adakah negara yang lebih baik dari Daarul Islam? Inilah dakwah yang sangat meyakinkan.

Namun lambat laun, bersamaan dengan kekaburan fikrah, maka orientasi ummat Islam mulai bergeser.  Di satu sisi, sebagian ummat lebih cenderung untuk "meresapi kehidupan religi" yang disalahtafsirkan sebagai "Jihad Qubra", sebagaimana tampak dalam ribuan sekte-sekte "sufi" yang menjauhi jihad serta amar ma'ruf nahi munkar.  Di sisi lain, sebagian ummat lebih cenderung "menikmati rejeki Allah" dengan hidup lux, walaupun dari rejeki yang halal.  Yang jelas, jihad mulai redup.  Dan dakwah mulai dikerjakan "sambil lalu".  Ini yang menjelaskan, mengapa dakwah ke Asia Tenggara praktis tanpa jihad, walau tetap pantas dikagumi, bahwa "dakwah sambil lalu" dari para pedagang itu toh masih memiliki kemampuan yang tinggi untuk mendesak suatu ajaran lama.  Namun fikrah yang masuk sudah tidak sejernih dakwah pada generasi awal Islam.

2.2    Lenyapnya Daulah Khilafah

Ketika qualitas ummat semakin redup, maka semakin turun pulalah kontrol atas kekuasaan sesuai pepatah Arab ("Pemimpinmu itu sebagaimana kamu").  Daulah khilafah, meski saat itu masih ada dan diakui ummat Islam di seluruh dunia, namun kekuasannya mulai terbatas sekedar sebagai simbol persatuan spiritual, sedangkan di mana-mana mulai tampil raja-raja monarki, yang meskipun masih memerintah dengan Islam, namun tak lagi sepenuhnya menyemangatkan "Jama'atul Islamiyah" (=negara dunia Islam) melainkan "Jama'atul Qaumiyah" (=negara kebangsaan).  Akibatnya, potensi ummat Islam mulai tidak menyatu menjadi sinergi yang luar biasa.  "Take care" ummat Islam di suatu wilayah atas penderitaan ummat Islam di wilayah lain tinggal sebatas pada doa dan sedekah yang tidak seberapa, karena khilafah tidak lagi kuat untuk menjalankan fungsi baik komando maupun koordinasinya.  Di samping itu, bahasa Arab sebagai bahasa pemersatu mulai kurang dipahami oleh ummat Islam sendiri, karena kurang dipelihara.

2.3    Lepasnya Bumi Islam

Ketika khilafah mulai lemah, sementara fikrah sudah sangat kabur, maka relatif mudah bagi bangsa Barat untuk invasi dengan menggunakan politik devide et impera.  Antar raja-raja muslim karena semangat qaumiyahnya mulai gampang dihasut dan diadu domba.  Maka Barat menjanjikan bantuan pada salah satu pihak, dengan imbalan wilayah.  Para penguasa muslim tidak lagi sadar, bahwa adalah haram hukumnya meminta perlindungan pada orang-orang kafir, dan perselisihan antar kaum muslimin harus dicarikan penengah yakni dari khalifah.  Namun apa daya ketika khilafah sendiri mulai lemah?

Maka satu demi satu bumi Islam mulai lepas ke tangan penjajah.  Dan mulailah, sedikit demi sedikit penjajah memasukkan sistem kufur dalam kehidupan, dan menggeser sistem Islam.  Proses ini makin  dipercepat ketika kalangan elit muslim juga terpengaruh fikrahnya, apalagi melihat Barat secara material/fisik berada di atas angin.

Ketika di abad-20 bumi Islam diberi kemerdekaan kembali - karena desakan politik (pseudo) anti imperialisme dari Uni Soviet maupun Amerika Serikat,  sehingga kolonialisme gaya lama menjadi tidak "in" lagi, sistem yang berlaku pada mereka, serta fikrah yang lazim pada mereka, sudah sangat terkontaminasi dengan produk-produk mitos Barat.   Sementara khilafah, sebagai simbol persatuan ummat Islam, pun sejak 1924 secara formal sudah tidak ada lagi.

3    Kekaburan Relasi Fikrah-Thariqah

Bila di kesempatan yang lalu kita sama-sama melihat secara terpisah bahwa bidang fikrah maupun thariqah sama-sama terserang "penyakit", maka lepasnya kaitan antara fikrah dan thariqah lebih mempercepat lagi proses tersebut, atau setidaknya, menyulitkan proses penyembuhannya.  Ibarat seorang pasien penyakit jiwa yang juga mengalami penyakit jasmani,  maka mestinya penanganannya dilakukan secara holistis ("menyeluruh"), dan tidak sepotong-sepotong, karena kestabilan jiwa juga tergantung pada kesehatan jasmani, dan demikian pula sebaliknya.

3.1    Disintegrasi Studi Islam

Pada awalnya, kaum muslimin mempelajari Islam secara menyeluruh.  Prioritas mempelajari ilmu tidak tergantung dari subyeknya, namun semata dari hukm syar'i amal/prakteknya (fardh-mustahab-mubah).  Suatu amalan yang fardh, maka semua ilmu yang terkait pun fardh.  Maka ketika jihad fardh, iptek pendukung jihad pun fardh.  Demikianlah, ketika studi Islam dikerjakan dengan benar, tak ada dikotomi antara so called "ilmu agama" dengan "ilmu dunia", tidak ada pemisahan antara hukum waris dengan aljabar, atau ilmu sholat dengan astronomi, dll.

Namun lambat laun, sejalan dengan merebaknya mitos dan melemahnya ijtihad, kaum muslimin lebih berkonsentrasi pada ilmu-ilmu "ide" namun mengabaikan ilmu-ilmu yang berkaitan dengan metode pelaksanaan ide-ide tersebut.  Maka mereka memusatkan diri pada peraturan ibadat ritual (sholat/puasa) atau tentang nikah dan cerai; namun mengabaikan misalnya peraturan tentang jihad, khilafat, lembaga peradilan dan sistem ekonomi Islam.  Belakangan, sistem peradilan bahkan dipisah menjadi peradilan sistem (al-qadhi an-Nizhami) yang menjalankan hukum positif (non Islam) yang berkaitan dengan pidana, ekonomi, tata negara dsb; dan peradilan agama (al-qadhi as-Syar'i) yang cuma mengurusi keluarga (nikah, cerai, waris).  Hukum Islam tidak lagi dijadikan pegangan untuk semua jenis peradilan.

Mereka mempelajari Islam berlawanan dengan metode yang diperlukannya.  Sebelumnya, fiqh selalu dipelajari secara praktis, yang sesuai masalahnya akan dijalankan oleh individu, keluarga atau negara sebagai organ exekutif.  Pada awalnya, fiqh berkembang di tangan para mujtahid yang diikuti oleh qadhi (=hakim), sehingga masalah yang dibahasnya selalu relevan dengan realita.  Maka ketika syari'ah tidak lagi dijadikan pegangan dalam menetapkan hukum positif, mulailah ia jauh dari realita.  Fiqh Islam didegradasi menjadi aspek teoretis-moral saja.  Ia tidak lagi menjadi alat untuk memberikan solusi bagi permasalahan sehari-hari ummat, dan para ahlinya diturunkan jabatannya menjadi sekedar penceramah atau missionaris yang membosankan masyarakat dengan khutbahnya yang selalu diulang-ulang, tanpa bisa melahirkan suatu energi yang produktif.   Ujung-ujungnya, studi Islam dianggap "melangit" dan tidak "membumi".

Akibatnya, pemuda-pemuda yang cerdas dari ummat Islam pada umumnya akan lebih condong pada studi yang lebih praktis seperti teknologi, kedokteran, ataupun "ilmu-ilmu sistem" yang dipakai, seperti ekonomi atau hukum positif, meskipun tidak berasal dari Islam.  Dan sebaliknya, studi Islam tinggal ditekuni oleh mereka yang secara umum "second class", walaupun tetap ada satu dua orang yang gemilang, sebagai perkecualian.  Sementara itu, secara keseluruhan, ummat menganggap studi Islam sebagai fardhu kifayah, dan gugurlah kewajiban mereka bila telah ada orang yang mengerjakannya.  Padahal mestinya, setiap muslim yang dewasa dan berakal sehat, fardhu ain untuk mengetahui segenap peraturan Islam yang diperlukan dalam hidupnya sehari-hari, karena ia diwajibkan untuk senantiasa beriorientasi pada perintah dan larangan Allah.  Hanya ijtihad untuk menurunkan hukm syar'i dari Qur'an dan Sunnah yang fardhu kifayah.

Akibatnya, sprial kemunduran studi Islam makin menjadi-jadi.  Mereka yang akhirnya secara formal dianggap "pakar" dalam studi Islam, sering tidak lagi kompeten untuk mengajukan Islam sebagai solusi permasalahan aktual.  Bahkan tidak jarang, orang yang hanya mengenal Islam sepotong-sepotong, dengan mudah dijadikan masyarakat sebagai "tokoh Islam", yang didengar ucapannya, dan diikuti pendapatnya.

3.2    Evolusi Islam

 Akibat "the wrong man on the wrong place" ini, yang sering ada bukannya "Islam meluruskan  masyarakat" namun "Islam disesuaikan dengan masyarakat".  Karena ummat tidak mengetahui lagi metode menjalankan ide-ide asli Islam, maka Islam dicoba ditafsirkan kembali agar konform dengan "semangat zaman".  Yang dimasuki tidak cuma aspek-aspek hukum parsial, namun bahkan ushul fiqh yang fundamental.  Maka timbullah prinsip-prinsip nyeleneh seperti "Fiqh itu mengikuti tempat dan waktu", atau "Tradisi itu boleh menjadi sumber hukum", atau "Hukum boleh dihapus demi kemaslahatan", dsb. Bahkan tidak jarang, mimpi ataupun contoh kehidupan / pengalaman pribadi seorang tokoh muslim kontemporer dijadikan hujjah.

Mereka mulai menghalalkan bunga dengan alasan itu perlu untuk uang yang mengalami inflasi atau untuk mengisi kas anak yatim (=ada maslahat).  Pelacuran, judi atau konsumsi khamr mulai tidak dijauhi habis-habisan namun justru ditolerir secara terbatas dengan istilah "lokalisasi".  Kerjasama dengan negara perampok (Israel) dikatakan halal dengan alasan tidak ada mimpi yang melarangnya.  Dan muslimah difatwakan tidak usah berjilbab karena istri sang tokoh juga tidak berjilbab.

Dan karena "semangat zaman", maka semua hukum Islam yang lain pun disesuaikan agar cocok dengan ideologi modern, entah itu kapitalisme, marxisme, sekulerisme/demokrasi, dsb.  Bahkan mereka menganggap "ada demokrasi dalam Islam" atau "ada kapitalisme dalam Islam".  Mereka tidak lagi mampu melihat mitos-mitos yang ada di balik isme-isme modern itu, sehingga menganggap asas musyawarah sebagai demokrasi, pasar bebas sebagai kapitalisme, dan toleransi mazhab sebagai sekularisme.

Bahkan mereka anggap, syi'ar Islam bisa "ditinggikan" atau "disempurnakan" dengan slogan-slogan nasionalisme, demokrasi, hak asasi manusia, dsb. Mereka berpikir, dengan itu, Islam bisa ditampilkan dengan wajah yang lebih "ramah".  Namun pada hakekatnya, Islam justru semakin jauh dari kehidupan.  Andaipun nama Islam tampil, ia tak lebih sekedar sebagai "agama yang diakui negara", "agama negara" atau sekedar kenyataan bahwa "kekuasaan ada di tangan mereka yang mengaku muslim".   Dan ummat umumnya tanpa sadar sudah puas, bahwa kini mereka tidak lagi diperhamba oleh penjajah kafir, namun oleh "penjajah muslim".  Maka mereka menghentikan usaha untuk hanya diperhamba oleh Allah atau oleh hukum-hukum Allah saja.

3.3    Terpojok di Sudut Defensif

Ketika fikrah Islam sudah sangat redup, mitos sudah merajalela, orang menjadi mukmin tidak karena berpikir tetapi karena ikut-ikutan lingkungan, khilafah sebagai methode menerapkan Islam di masyarakat  tidak exist lagi, bahkan masyarakat semakin asing dari ajaran Islam yang murni karena studi Islam ditangani oleh orang-orang yang bukan ahlinya, yang tidak meluruskan masyarakat namun justru merubah Islam, di saat yang sama datang serangan yang telak dari orang-orang kafir: MENYUDUTKAN ISLAM.

Musuh-musuh Islam sadar, bahwa tidak mungkin menghancurkan Islam dan ummat Islam dengan kekuatan senjata.  Karena itu, mereka berupaya  terus menerus tanpa henti, untuk minimal membuat Islam dan ummat Islam tidak lagi berbahaya bagi kepentingan mereka.  Andaikata ummat Islam masih tegar seperti pohon yang sehat dan berakar dalam, maka niscaya badai topan sebesar apapun akan dengan tatag dihadapinya.  Namun kini, ketika akar sang pohon sudah lapuk, maka terpaan angin sepoi-sepoi saja bisa membuatnya rubuh.

Maka ummat Islam dewasa ini umumnya kelimpungan, ketika dikonfrontasikan dengan berbagai ajaran Islam yang ada dalam Qur'an atau Sunnah sendiri.   Mereka tidak bisa menerangkan, mengapa Islam memerintahkan memotong tangan pencuri, atau membagi warisan bagi lelaki 2x wanita, atau bahwa seorang lelaki boleh menikahi sampai 4 istri, atau bahwa dalam Islam ada perintah jihad, dsb.  Ketika orang-orang kafir mengkritik hal itu sebagai barbarik, bertentangan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia, atau Islam itu fanatik dan agresif, ummat Islam umumnya hanya bisa dengan terbata-bata membela diri.  Mereka mencoba menafsirkan kembali Islam, sekedar musuh-musuhnya puas, dan kritikan mereda.

Mereka katakan, perintah memotong tangan pencuri itu hanya metaforis.  Mereka katakan juga, bahwa sekarang ini warisan harus dibagi sama, karena wanita muslim sekarang sudah sama derajatnya.  Tentang polygami,  mereka katakan, sebenarnya di Qur'an diharamkan, karena manusia tidak  mungkin berlaku adil.  Dan tentang jihad, mereka katakan jihad itu hanya dilakukan bila ummat Islam diserang (defensif).

Amboi, betapa jauhnya tafsiran-tafsiran "modern" ini dengan ajaran Islam yang murni.  Karena dalam Sunnah-nya, Rasulullah telah menunjukkan sendiri bahwa ia memotong tangan pencuri, bahwa ia menikahi banyak istri, dan bahwa jihad yang dilakukan ummat Islam melawan Persia atau Romawi, sama sekali bukan jihad ketika ummat Islam diserang.  Dan ajaran Islam merupakan risalah terakhir yang diturunkan Allah di muka bumi, sehingga tetap berlaku hingga hari kiamat.  Maka betapa anehnya tafsiran-tafsiran baru, yang mungkin dilakukan dengan "niat baik", namun hasilnya malah justru memporak-porandakan ajaran Islam yang murni.  Kesalahan tafsir yang fatal ini terjadi, karena ummat Islam memisahkan antara fikrah dan thariqah, karena semua hukum yang dihujjat tadi, memang tak bisa jalan sendiri-sendiri, melainkan hanya berfungsi dalam rangkaian metode yang tepat, dalam suatu negara yang islami, dalam suatu daulah khilafah.

Spiral kemunduran berputar semakin cepat.  Orang-orang yang ditokohkan berlomba mencari pembenaran atas perilakunya, sehingga banyak rakyat jelata yang karena kebingungan akhirnya memutuskan untuk beramai-ramai melepaskan kepercayaannya pada para ulama - termasuk ulama yang shaleh.  Bahkan mereka yang semula gembira dengan type ulama ini, karena merasa bisa "ngerti bahasanya", lambat laun akan dihadapkan dengan sejumlah besar kontradiksi.  Dan akhirnya sama saja: makin jauh dengan ulama.

Ummat yang masih tersisa ghirahnya pada Islam mencoba langsung mempelajari Islam dari sumbernya: Qur'an dan Sunnah.  Namun mereka lupa, bahwa untuk itu diperlukan seperangkat bekal, baik ilmu bahasa Quran (bahasa Arab klasik) maupun ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh.  Karena mereka maju tanpa bekal ini, mereka akan terbentur ke sana ke mari.  Akhirnya kalau tidak terjerumus ke extremitas yang satu (menganggap yang hukum Islam itu cuma fardh semua dan yang lain haram semua), akan terpuruk ke extremitas lainnya (menolak memakai hadits, karena terlalu was-was dengan hadits yang "tidak jelas", dan ujung-ujungnya meragukan Qur'an, karena tanpa penjelasan dari hadits, Qur'an mustahil dipahami dengan benar).

Maka tak heran, ummat Islam sekarang hanya sensitif bila sisa-sisa rasa agamanya diganggu.  Mereka menjadi bersikap menunggu (re-aktif) dan tidak berani memulai (pro-aktif).  Mereka justru menghindari untuk dikenal sebagai muslim, karena ini berarti harus menghadapi berbagai pertanyaan yang tidak bisa dijawabnya.  Dan di masyarakat di mana muslim mayoritas, mereka hanya sensitif bila ada kristenisasi, namun "cuek" bila hukum-hukum kafir diberlakukan di atasnya.  Bahkan mereka marah, bila ada orang yang berbeda madzhab sholat agak lain dengan mereka (misalnya tidak baca qunut), namun tenang-tenang saja, ketika harus bermuamalah dengan riba, atau harus mendidik anak dengan pola pendidikan dan kurikulum sekuler.

Ummat Islam jadi tersudut di pojok defensif.  Jarang dari mereka yang berani mengambil inisiatif untuk menelanjangi berbagai ideologi kafir yang didasarkan pada mitos, entah mitos demokrasi (dalam politik), mitos pertumbuhan (dalam ekonomi), maupun mitos HAM (dalam sosial).  Tidak ada lagi dakwah offensif  sebagaimana yang dilakukan Rasulullah dan para pengikutnya terdahulu.

Hasilnya memang tepat seperti yang diinginkan musuh-musuh Islam.
Islam kini tinggal ahlaq - tanpa jihad,
Islam kini tinggal ibadah (ritual) - tanpa syari'ah,
Islam kini boleh menyinari rumah, tapi bukan pasar, pabrik atau bank,
Islam kini boleh menguasai masjid, tapi tidak menguasai kantor,
Islam kini boleh bicara tentang akherat, tapi tidak tentang negara,
Islam yang boleh disanjung adalah Islamnya para pertapa shufi, dan bukan Islamnya umara' yang zuhud, ulama faqih yang zuhud, aghniya' yang zuhud atau mujahidin yang zuhud.
Islam yang tidak mampu menolong ummatnya sendiri, baik di Bosnia, Palestina, Chechnya atau Sudan, apalagi menolong dunia dari disorientasi kehidupan, dari AIDS, dari kerusakan lingkungan, dari kesewenang-wenangan para kapitalis di era globalisasi.
dan Qur'an boleh didendangkan di MTQ, dan bukan di Pengadilan,
dan Qur'an boleh dibacakan pada orang mati, bukan pada orang hidup,
dan Qur'an boleh diajarkan di pesantren, dan bukan di universitas,
dan Qur'an boleh untuk menghitung pembagian zakat, namun bukan untuk membagi kekayaan alam dengan adil,
dsb.

Inilah, Islam semakin jauh dari kehidupan, dan Ummat Islam semakin mundur, meskipun kadang mereka merasa "ada kebangkitan", ketika melihat masjid penuh, MTQ semarak, dan para pejabat berlomba naik haji.  Namun mereka bingung, ketika ketidakadilan tetap saja langgeng, dan korupsi, kolusi serta manipulasi malah justru makin menjadi.

Ibarat orang yang sudah sakit parah, Ummat Islam tidak disembuhkan, tidak dioperasi atau dikasih antibiotik, namun hanya dikasih valium.  "Valium Islam".

Dan inilah realita yang sangat pahit.  Adakah obatnya?  Pasti, untuk setiap penyakit, Allah telah menyiapkan obatnya.  Masalahnya hanya apakah kita cukup tekun berikhtiar serta belajar dari ayat-ayat baik kauni maupun qur'ani, sehingga penyelidikan kita akhirnya sampai ke sana.

AL-QUR’AN DAN ILMU ALAM



AL-QUR’AN DAN ILMU ALAM[1]

(Sebuah Kajian Filsafat Ilmu)

Oleh : Mohammad Wasil, S.Ag MSI

A. Pendahuluan
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi serta perputaran malam dan siang, terdapat ayat-ayat bagi kaum yang berpikir. Yaitu orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring. Mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (sambil berkata), Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha  Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka”. (Q.S. Ali Imran: 190-191)

            Dalam Islam dapat dijumpai suatu ajaran untuk senantiasa menganjurkan pengkajian terhadap perilaku atau bentuk perputaran dan perubahan yang terjadi baik pada gejala alam semesta ataupun yang terjadi di antara sesama manusia sebagai realitas sosiologis.[2]   Dalam kaitannya dengan hal ini, penekanan terhadap eksplorasi dan eksploitasi keilmuan  mendapat porsi yang cukup signifikan, sebagaimana hadis Nabi        Menuntut Ilmu adalah wajib bagi setiap orang Islam” atau “Tuntutlah ilmu walau ke negeri Cina”.[3]
            Pemanfaatan akal pikiran dalam Islam, dengan Al-Qur’an sebagai pondasi primernya, memperoleh sorotan tajam dengan berbagai pernyataan dan peringatan. Potongan ayat semacam :…maka tidakkah kalian berpikir? (Al-Baqarah: 44), “…terdapat tanda-tanda keesaan dan kebesaran Allah bagi kaum yang memikirkan (Al-Baqarah: 164) atau “Maka apakah mereka tidak memperhatikan onta, bagaimana ia diciptakan? (Al-Ghasyiyah: 17) dan masih banyak lagi dapat memberikan gambaran kepada kita bahwa Allah menghendaki manusia sebagai makhluk ciptaan-Nya paling sempurna untuk memanfaatkan potensi yang ada pada dirinya agar menelaah, mengamati, dan memahami segala karya besar-Nya di jagat ini.[4] Sayangnya, demikian Fazlur Rahman menilai, Al-Qur’an sedikit sekali berbicara tentang kejadian alam    (kosmogoni).[5]
            Kedudukan tinggi bagi akal dan perintah menuntut ilmu pengetahuan sebagaimana diajarkan dalam Al-Qur’an dan Al-Hadis bukan hanya merupakan ajaran dalam teori, tetapi ajaran yang telah pernah diamalkan oleh cendekiawan dan ulama Islam zaman klasik antara abad VII dan abad XIII Masehi.[6]  Dan kita yang sekarang hidup di zaman yang serba canggih  tak sepantasnya kalah dari mereka. Sehingga harus ada usaha untuk bisa memahami antara ilmu agama dan sains karena  Ilmu pengetahuan kealaman yang saat ini tumbuh sebagai akibat dari pelaksanaan salah satu perintah agama, kiranya perlu dipertanyakan apakah benar konsep kosmologi yang berkembang dalam sains sama dengan apa yang terdapat dalam Al-Qur’an?[7] Hal ini disebabkan  obor sains yang telah beralih kepada para cendekiawan non-muslim sejak pertengahan abad XIII hingga abad XVIII. Kerangka acuan yang dipakai tentu saja bukan dari Islam dan nampaknya terjadi dikotomi antara sains dan agama yang bersumber dari al-Qur’an. Dalam makalah ini akan penulis paparkan mengenai jawaban dari permasalahan tersebut di atas.

B. Pembahasan
Ilmu-ilmu alam membatasi diri dengan hanya membahas gejala-gejala alam yang dapat diamati. Tentu saja kata pengamatan yang dimaksud di sini lebih luas dari pada hasil interaksi langsung dengan panca indera manusia, yang lingkup kemampuannya memang sangat terbatas.[8]
Banyak gejala alam yang hanya teramati dengan pertolongan alat pembantu, misalnya gelombang radio yang berkeliaran di sekitar kita tanpa mengusik mereka yang ingin menikmati tidur panjangnya. Tuntutan lebih lanjut bagi gejala alam yang lazim dibahas dalam ilmu-ilmu alam adalah bahwa pengamatan gejala itu dapat diulangi orang lain (reproducible). Jadi jika seseorang ingin menyatakan bahwa ia mendapatkan suatu gejala alam baru yang belum terdaftar dalam perbendaharaan ilmu-ilmu alam maka ia perlu memberitahukan semua informasi tentang lingkungan, peralatan, serta cara pengamatan yang digunakan sehingga memungkinkan orang lain mengamati kembali  jika keadaan mengizinkan. Suatu gejala alam baru akan terdaftar dalam perbendaharaan ilmu-ilmu alam--dalam arti dikenal masyarakat pengembang ilmu-ilmu alam--setelah melalui ujian berulang kali sehingga tidak perlu lagi diragukan kebenarannya.[9]
Ilmu pengetahuan alam pada umumnya diartikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang susunan benda-benda serta perkembangannya, sedangkan ilmu alam (Fisika)  menyelidiki fenomenanya terutama yang diamati dari benda-benda tak bernyawa. Dalam Ilmu Pengetahuan Islam, hal-hal tersebut dibedakan. Dan studi Fisika merupakan bagian dari prinsip Filsafat Alam yang banyak dibahas oleh ilmuwan Muslim kenamaan, dibawah judul “Filsafat Alam”.
            Ibnu Sina telah membahas ilmu ini secara panjang lebar dalam karyanya “Shifa” dan “Fann”. Al-Kindi, Nasr Al-Tusi, Ali Reza, Al-Biruni, Al-Bagdadi, Mulla Sadra, dan Sabziwar juga menulis ilmu ini dalam karya ilmiah mereka. Para ilmuwan muslim, ahli teologi, dan juga ahli metafisika, mempunyai perhatian besar terhadap prinsip filsafat alam, oleh karena Al-Qur’an menaruh perhatian sangat besar kepada ilmu tersebut seperti nampak dalam uraiannya tentang alam ilahi yang amat menakjubkan. Mereka menunjukkan perhatian yang besar kepada persoalan seperti sifat-sifat ruang dan waktu, materi serta gerakannya. Akibatnya ditemukan banyak aliran pikiran yang mengembangkan prinsip-prinsip Fisika dan Filsafat alam itu sendiri.
Ibnu Sina, Al-Maksumi, Al-Nazzam, dan Al-Baqillani telah memberikan pandangannya tentang masalah yang sangat penting dan mendasar tersebut yang mengungkapkan keahlian yang dijadikan dasar pembahasan dan analisa konsep dasar Fisika saat itu.[10]  Dan nama terakhir di atas lebih tertarik secara langsung kepada ilmu Fisika akan disumbangkan ke karya tulisnya yang cukup tebal, pada filsafat alam berdasarkan pandangan dari segi atomistis.
            Namun, sumber yang mendorong penelitian tentang ilmu ini, seperti ilmu lainnya adalah studi Al-Qur’an. Al-Qur’an telah menguraikan secara luas tentang alam samawi melalui berbagai cara yang menunjukkan keagungan dan kebesaran Tuhan.  Penggambaran Al-Qur’an tentang alam fisik besar sekali pengaruhnya kepada kaum muslimin pada masa permulaan Islam, yang mempelopori perumusan tentang prinsip filsafat Alam. Kekuasaan dan kebesaran Allah Maha Pencipta telah diterangkan sebelumnya, dan kalimat yang indah menarik dan punya arti yang sangat dalam tentang dunia filosofis dan fisik, yang memberikan informasi tentang sifat Tuhan sebagai Pencipta alam, diberikan ayat berikut :
اللَّهُ نُورُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ مَثَلُ نُورِهِ كَمِشْكَاةٍ فِيهَا مِصْبَاحٌ الْمِصْبَاحُ فِي زُجَاجَةٍ الزُّجَاجَةُ كَأَنَّهَا كَوْكَبٌ دُرِّيٌّ يُوقَدُ مِنْ شَجَرَةٍ مُبَارَكَةٍ زَيْتُونَةٍ لَا شَرْقِيَّةٍ وَلَا غَرْبِيَّةٍ يَكَادُ زَيْتُهَا يُضِيءُ وَلَوْ لَمْ تَمْسَسْهُ نَارٌ نُورٌ عَلَى نُورٍ يَهْدِي اللَّهُ لِنُورِهِ مَنْ يَشَاءُ وَيَضْرِبُ اللَّهُ الْأَمْثَالَ لِلنَّاسِ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
“Allah (pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya) yang minyaknya (saja)  hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahuai segala sesuatunya”. (Q.S. Al-Nur: 35)

            Ayat di atas memberikan gambaran tentang sifat dan luasnya alam semesta dan Penciptanya. Hal itu menjadi sumber inspirasi bagi umat manusia dalam bidang filsafat alam serta dunia fisik, sehingga setiap generasi bertambah pengetahuannya serta memberikan landasan baru dalam ilmu pengetahuan. Bahkan kepada mereka yang sedang belajar   diberikan informasi tentang fenomena alamiah sehari-hari, seperti cahaya lampu, kaca, bintang yang bersinar cemerlang, atau lainnya dan meninggalkan makna yang bersifat mistis dan filosofis. Ayat-ayat tersebut dan juga ayat lainnya yang serupa dalam Al-Qur’an menghimbau perhatian manusia agar memperhatikan berbagai aspek dan gejala yang terjadi sehari-hari serta mengamati dunia fisik. Hal ini membawa kepada studi sains dalam Islam, termasuk Fisika, dan menghasilkan banyak ilmuwan yang punya pengetahuan luas, yang telah memberikan sumbangan kepada berbagai cabang ilmu Fisika.[11]

1.  Kosmologi dalam Al-Qur’an

Telah banyak tafsir yang ditulis oleh ulama masyhur untuk menafsirkan ayat-ayat suci Al-Qur’an, yang merupakan garis-garis besar ajaran agama Islam itu, dengan mempergunakan ayat-ayat lain di dalam Kitab Suci tersebut dan Sunnah Rasul sebagai bandingan dan penjelasan. Namun, di dalam Al-Qur’an sendiri, ciptaan Tuhan di seluruh jagad raya ini secara jelas disebutkan sebagai ayat-ayat Allah, misalnya di dalam surat Ali Imran ayat 190 :
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَاب
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi serta silih bergantinya malam dan siang, terdapat ayatullah bagi orang-orang yang berakal (dapat menalar).”
Oleh karenanya maka sebagai padanan untuk mendapatkan arti ayat-ayat Al-Qur’an yang menyangkut Al-Kaun dapat digunakan juga ayatullah yang berada di dalam alam semesta ini. Dalam ajaran agama Islam dikenal adanya ilmu kauniyah yang sudah ada sejak empat belas abad yang lalu. Namun manusia masih terlalu bodoh untuk dapat memahami seluruhnya karena ayat-ayat itu diturunkan jauh sebelum “ilmu pengetahuan” dikembangkan. Baru empat belas abad kemudian orang memahaminya, setelah “ilmu pengetahuan” modern, yang merupakan kelanjutan dari warisan ilmu umat Islam, menemukan gejala-gejala alamiah yang bersangkutan, yang ternyata cocok dengan apa yang dinyatakan oleh ayat-ayat tersebut.
            Mengingat hal-hal yang tersebut diatas maka tidaklah mengherankan apabila ketepatan dalam penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an yang berisi konsep-konsep kauniyah sangat berfariasi, bergantung pada pengetahuan mufassir tentang alam semesta itu sendiri.[12] Sebagai contoh dapat dilihat dalam Q.S. Al-Dzariyat : 47

وَالسَّمَاءَ بَنَيْنَاهَا بِأَيْدٍ وَإِنَّا لَمُوسِعُونَ

“Dan sama’ itu Kami bangun dengan kekuatan dan sesungguhnya Kamilah yang meluaskannya”.
Dan Q.S. Al-Anbiya: 30 yang berbunyi :
أَوَلَمْ يَرَ الَّذِينَ كَفَرُوا أَنَّ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ كَانَتَا رَتْقًا فَفَتَقْنَاهُمَا وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَاءِ كُلَّ شَيْءٍ حَيٍّ أَفَلَا يُؤْمِنُونَ
“Dan apakah orang-orang kafir itu tidak tahu bahwa langit dan bumi itu dahulu kala merupakan suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan mereka itu…”
            Mereka yang hidup pada abad IX akan mengatakan bahwa kata-kata “sama’” artinya langit; dan pengertiannya ialah bahwa langit merupakan sebuah bola super-raksasa yang panjang radiusnya tertentu, yang berputar mengelilingi sumbunya.  Dan pada dindingnya tampak menempel  bintang-bintang yang gemerlapan di malam hari. Bola ini dikatakan mewadahi seluruh ruang alam dan segala sesuatu yang berada di dalamnya . Ia merasa yakin bahwa persepsinya mengenai langit itulah yang sesuai dengan apa yang dapat diamati setiap hari, itulah yang sesuai dengan apa yang dapat diamati setiap hari, kapan pun juga. Bintang-bintang tampak tidak berubah posisinya yang satu terhadap yang lain, dan seluruh langit itu berputar sekali dalam satu hari.[13]
            Seorang yang hidup pada awal abad XX, yang telah mengetahui melalui kegiatan sainsnya, bahwa bintang-bintang di langit jaraknya dari  bumi tidak sama, dan bahkan mampu mengukur jarak itu dan mengatakan berapa besarnya, tidak lagi akan mengatakan bahwa langit itu sebuah bola super-raksasa. Ia akan mengatakan bahwa langit adalah ruang jagad raya yang di dalamnya  terdapat bintang-bintang, sebagian diikuti oleh satelitnya dan bahwa ada bintang dalam galaksi kita yang disebut Bimasakti itu.[14]
            Konsep-konsep kosmologi dalam Al-Qur’an merupakan pekerjaan yang tak kunjung henti. Memang begitulah karena sains akan terus berkembang dan akan senantiasa menemukan hal-hal yang baru yang dapat lebih melengkapi pengetahuan untuk dapat lebih memahami ayat-ayat Allah dalam Al-Kaun khususnya dan Al-Qur’an pada umumnya. Dan dari kegiatan penelitian bidang kosmologi akan dapat diperoleh suatu konklusi bahwa ada keselarasan antara Al-Qur’an dan Ilmu pengetahuan yang benar.[15] 

2. Teori Kejadian Alam

Pertanyaan yang cukup lama mengganggu pikiran kita, yakni bagaimana alam semesta mula-mula tercipta, saat ini semakin mendapat jawaban pasti. Jawaban itu terungkap setelah NASA pada tahun 1989 lalu meluncurkan satelit khusus COBE (Cosmic Background Explorer) ke antariksa.[16]
            Dr. George Smoot, Ahli Fisika di laboratorium Lawrence Berkeley dan Universitas California, mengemukakan  hasil penemuan tim yang dipimpinnya di hadapan Himpunan Fisika Amerika di Wsahington DC pada tahun 1992 yang lalu. Dengan COBE, Smoot menemukan gambaran adanya riak-riak awan materi yang membentuk struktur luar biasa besarnya dan paling tua usianya di suatu tempat yang diyakini sebagai “tepi alam semesta”. Penemuan yang sensasional tersebut merupakan bukti kelahiran alam semesta, karena telah menjelaskan bagaimana bintang-bintang dan galaksi-galaksi berevolusi, sejak dentuman dasyat (big bang) yang telah melahirkan kosmos.
            Struktur yang terentang sepanjang sekitar 15 Miliar tahun cahaya (satu tahun cahaya = 9,5 triliun Km) ini diyakini para ahli terbentuk sebagai akibat “ekspansi cepat” alam semesta yang dimulai dari terjadinya dentuman dasyat 15 miliar tahun yang lalu. Dentuman dasyat itu merupakan letusan yang luar biasa padat, suhunya diperkirakan sampai beratus-milyar derajat. Dentuman itu menghasilkan gumpalan energi murni sub-mikroskopik, juga dengan memancarkan radiasi. Mula-mula energi itu berubah menjadi partikel-partikel gas, kemudian menjadi atom-atom gas. Setelah miliaran tahun, grafitasi materi padat tersebut dapat memadatkan gas-gas dan menjadikannya galaksi-galaksi, bintang-bintang, planet-planet, bulan-bulan, meteorid/astroid, dan sebagainya.
            Dari hasil perhitungan para ahli astrofisika di pusat Penerbangan Angkasa Goddard-Greenbelt-Maryland-USA, disimpulkan bahwa alam semesta lahir sekitar 300.000 tahun sejak demtuman dasyat. Dari satelit COBE telah mendukung teori tersebut di atas.[17]

3. Periode Penciptaan Alam Semesta dan Sejarah Planet Bumi

            Allah SWT menjelaskan dalam beberapa ayat-Nya bahwa pembentukan alam semesta (langit-langit) dan bumi itu diciptakan dalam tempo 6 hari (masa/periode) penciptaan seperti yang termaktub dalam Q.S. Hud: 7:
وَهُوَ الَّذِي خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ وَكَانَ عَرْشُهُ عَلَى الْمَاءِ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا وَلَئِنْ قُلْتَ إِنَّكُمْ مَبْعُوثُونَ مِنْ بَعْدِ الْمَوْتِ لَيَقُولَنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا إِنْ هَذَا إِلَّا سِحْرٌ مُبِينٌ
“Dan dia yang menciptakan langit-lagit dan bumi dalam enam hari (masa), dan singgasana-Nya (kekuatan/kekuasaan dan pemeritahan-Nya) ditegakkan pada air (zat alir).”
Ayat lain yang semakna adalah Q.S. Al-Sajdah: 4.[18]
            Menurut para ahli astrofisika terkemuka, tahap pembentukan jagat raya ternyata dapat dikategorikan ke dalam  enam[19] periode :
Tahap Pertama: Sejak alam semesta dan seluruh isinya mulai diciptakan Allah dalam suatu dentuman dasyat, seluruh materi yang semula terkumpul dan terpadu itu berhamburan dengan kecepatan yang amat tinggi, sehingga alam semesta dengan suhu yang sangat tinggi mengembang ke segenap arah.
            Dengan tahap awal ini seluruh kosmos yang terdiri dari materi dan radiasi telah ditentukan interaksinya, sifat serta kelakuannya. Isinya bercampur aduk seperti dalam godokan yang sangat panas (sering dinamakan “sup kosmos”). Dalam tahap awal ini segala macam interaksi sama kuatnya. Selama dalam tahap ini kandungan energi dan materi dalam alam semesta ditentukan jumlahnya. Suhu kosmos selama ekspansi itu telah turun, namun masih terlalu panas.
            Peristiwa tahap pertama ini sesuai dengan firman Allah dalam Q.S. Al-Anbiya: 30 yang berbunyi :
أَوَلَمْ يَرَ الَّذِينَ كَفَرُوا أَنَّ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ كَانَتَا رَتْقًا فَفَتَقْنَاهُمَا وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَاءِ كُلَّ شَيْءٍ حَيٍّ أَفَلَا يُؤْمِنُونَ
“Dan apakah orang-orang kafir itu tidak tahu bahwa langit dan bumi itu dahulu kala merupakan suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan mereka itu…”

Tahap Kedua:  Ketika suhu bubur kosmos telah turun hinggas mencapai 100.000 juta derajat, kerapatan materi di alam diperkirakan mencapai 4 juta ton per liter. Dalam tahap ini bahan penyusun inti-inti atom telah tertentu jumlahnya.
Tahap Ketiga: Ketika suhu bubur kosmos tinggal 1000 juta derajat, kerapatan turun hingga 100.000 ton per liter. Dalam tahap ini muatan kelistrikan alam semesta telah ditetapkan. Usia alam semesta belum mencapai 300.000 tahun sejak dentuman dasyat.
Tahap Keempat:   Ketika suhu bubur kosmos berada di bawah 100 jua derajat, kerapatan materinya tinggal 0,1 kg/liter. Dalam tahap  ini usia alam semesta kurang lebih 300.000 tahun sejak dentuman dasyat. Pada tahap ini telah dimulai penyusunan inti-inti atom. Selain itu terdapat kemungkinan terjadinya pengelompokan materi, sebagi akibat dari kondisi tidak seragam, yang nantinya berevolusi menjadi galaksi-galaksi.
Tahap Kelima:    Pada tahap ini atom mulai terbentuk dan elektron-elektron bebas sangat berkurang jumlahnya. Dalam tahap ini pula sinar/cahaya mengisi seluruh ruangan langit.
Tahap Keenam:   Ketika itu kabut materi (dukhan) yang  terdiri dari atom-atom itu mulai mendingin terus, lalu mengumpul dan membentuk bintang-bintang serta galaksi-galaksi. Di antara bintang-bintang dan galaksi itu terdapat matahari kita yang dikelilingi planet-planet di dalam galaksi Bimasakti.
            Setelah kira-kira setengah juta tahun berlalunya sejak dentuman dasyat, atau pada akhir tahap VI, suhu kosmos tinggal 40 juta derajat. Karena timbul ketidakseragaman penyebaran materi dan energi, maka pada waktu itu timbul pemisahan antara calon-calon galaksi (termasuk pula galaksi bima sakti kita yang mengandung matahari dan bumi), dan selanjutnya calon-calon galaksi itu berevolusi menjadi bintang-bintang dan planet-planet seperti yang ditemukan saat ini. [20]
            Sedangkan khusus tentang sejarah planet Bumi kita setidaknya dapat kita temukan laporan penelitian sebagaimana dikutip Dedy Suardi, yang membagi terdiri dari tiga zaman sesuai dengan usia fosil yang ditemukan.  Ketiga fase geologi itu adalah Paleozoikum (primer), Mesoikum (sekunder), dan Senozoikum (tersier).

a.      Masa Paleozoikum, merupakan masa yang paling tua, melukiskan fosil-fosil dari bentuk kehidupan primitif. Masa ini terdiri atas enam bagian waktu: Kambrium, Ordovisium, Silurium, Devonium, Karbon, dan Permium. Masa Prakambrium  cuma mengukirkan sedikit fosil, dan masa ini dimulai sejak terbentuknya planet bumi, 4.600 juta tahun yang lampau. Mungkin saja kehidupan di bumi ini dimulai kira-kira 4.000 juta tahun silam. Dan fosil-fosil yang paling purba ialah jamur hijau dengan usia 3.100 juta tahun serta stromatolit dengan usia 2.800 juta tahun. Masa Kambrium, 570 juta tahun yang lalu, mengukirkan banyaknya fosil, di antaranya graptolit, trilobit, kece primitif, dan sebangsa yuyu. Sedangkan masa Ordovisium, 500 juta tahun yang lalu, melukiskan fosil invertebrata, binatang bertulang belakang penghuni air. Pada masa Silurium, 435 juta tahun yang lampau, terbentuklah makhluk yang disebut Okstrakodermata, yang tipenya mirip ikan berbentuk kasar, memiliki kerangka dalam, berbeda dengan invertebrata yang tidak memilikinya. Makhluk itu dipersenjatai dengan sisik tulang. Bangun tubuhnya kokoh, namun tidak berahang. Binatang tersebut merayap menyusuri dasar laut sambil mengisap makanannya. Pada masa silurium ini terbentuk pula tanah yang diliputi rawa, juga hidup kalajengking laut. Masa Devonium, 395 juta tahun yang lalu, merupakan masa ikan bertulang. Pada masa itu muncullah binatang ampibi, dan pula terbentuklah tumbuh-tumbuhan daratan. Ikan bertulang atau berahang itu tidak perlu lagi menyusuri dasar laut guna mencari mangsanya. Masa Karbon, 345 juta tahun yang lampau, menampilkan lebih banyak lagi ampibi. Pada masa itu terbentuklah binatang melata atau reptil dan muncul pula tumbuh-tumbuhan sejenis cemara. Pada masa Permium, 280 juta tahun yang lampau, jumlah binatang reptil meningkat, dan Trilobit mulai punah.

b.      Masa Mesoikum terbagi menjadi tiga bagian: Trias, Yura dan Kapur. Masa Trias, 230 juta tahun yang lampau, ditandai dengan munculnya Dinosaurus yang paling awal serta reptil laut.  Masa Yura, 195 juta tahun yang lalu, berkembanglah Dinosaurus dan reptil yang terbang. Sedang masa Kapur, 141 juta tahun yang lalu, Dinosaurus dan reptil lainnya punah. Maka muncullah tumbuh-tumbuhan berbunga.

c.       Masa Senozoikum dibagi menjadi dua bagian; masa Tersier dan masa Kuarter. Masa Tersier terbagi lagi menjadi lima bagian: Paleosin, Eosin, Oligosin, Miosin, dan Pliosin.  Pada masa Paleosin, 65 juta tahun yang lampau, punah binatang reptil besar, namun binatang binatang menyusui berkembang  dengan pesat. Kemudian masa Eosin, 55 juta tahun yang lalu, menampilkan binatang menyusui yang asing. Kuda dan gajah mulai muncul terlihat pula tumbuhan mutakhir.  Masa Oligosin, 38 juta tahun silam, menampilkan monyet paling awal. Juga muncul binatang mamalia atau binatang menyusui. Pada masa itu tumbuh-tumbuhan yang berbunga meningkat jumlahnya. Pada masa Meosin, 22,5 juta tahun yang lalu, terdapat monyet yang jumlahnya cukup banyak di Afrika, juga kelompok binatang menyusui yang memakan rumput di padang-padang luas.  Masa Pliosin, 6 juta tahun yang lampau, menampilkan monyet manusia yang pertama. Pada masa tersebut terjadi glesyer atau mendinginnya udara, yang menyebabkan punahnya binatang menyusui yang besar-besar. Sedang masa Kuarter terdiri dua bagian; Peistosin dan Holosin. Pada masa Pleistosin, 1,8 juta tahun yang lampau, dimulai mendinginnya iklim Bumi yang mewujudkan Zaman Es di belahan bumi Utara. Namun, binatang menyusui yang berbulu tebal dapat mengatasi udara dingin ini. Masa Holosin, 10.000 tahun yang lalu, menampilkan sosok manusia mutakhir yang mengembangkan kebudayaannya.[21]

C. Analisa
      Paparan tentang penciptaan alam dan proses munculnya kehidupan di muka bumi setidaknya pernah diungkap dalam Al-Qur’an walau dalam bentuk yang sangat sederhana. Perlu kiranya dikutip pernyataan Baiquni yang menyerang para pengagum Al-Qur’an yang mengatakan segala ilmu pengetahuan termasuk ilmu kealaman secara mendetail dapat ditemukan dalam Al-Qur’an. Sia-sialah mereka yang terlalu mengabdi pada ilmu dengan mengerahkan segala daya dan dana. Padahal menurut Baiquni  Al-Qur’an hanyalah memberikan patokan atau garis besar saja yang tak mungkin diketahui secara rinci maksud dan tujuannya tanpa usaha maksimal manusia dengan berbagai penelitian dan pemahaman. Tidak dapat dipungkiri bahwa banyak pertanyaan yang meragukan muatan saintifik Qur'an yang mengarah pada otentisitas Qur’an sebagai sumber ajaran agama atau sebaliknya sebagai kitab panduan sains karya manusia dikarenakan tidak adanya penjelasan detail tentang segala sesuatu yang berhubungan sains.
Permasalahan di atas pada dasarnya merupakan suatu refleksi dari kebutuhan akan pemahaman tentang qur'an sendiri sebagai sumber petunjuk bagi  umat Islam secara global dengan keberadaan sains sendiri. Hal ini pada dasarnya merupakan suatu indikasi bahwa al-Qur’an bukanlah merupakan kitab sains yang dapat dibuat oleh manusia yang memuat penjelasan detail tentang sains atau ilmu kealaman. al-Qur'an hanya memiliki ruh dari ilmu kealaman yang mengindikasikan adanya suatu proses yang terjadi di bumi secara saintifik agar manusia melakukan eksplorasi lebih lanjut lagi untuk menemukan jawaban secara teknis dan aplikatif.
            Manusia dalam hal ini telah mampu menunjukkan keselarasan antara ilmu agama dan sains dengan melalui eksplorasi yang akhirnya melahirkan teori tentang kejadian alam semesta itu sendiri. Dimana manusia tersebut harus bisa menyadari bahwa hal tersebut sebenarnya sudah diisyaratkan oleh al-Qur’an walaupun tidak semua ilmuan mengakui adanya isyarat tersebut dan al-Qur’an sendiri tidak memaksakan manusia membenarkan hal itu.  
D. PENUTUP
Teranglah bahwa Al-Qur’an dan Ilmu Kealaman memiliki hubungan erat yang saling melengkapi. Manusia tidak dapat memahami langsung isyarat dalam Al-Qur’an yang berkaitan dengan ilmu kealaman sebagaimana dicontoh perubahan persepsi manusia tentang langit tanpa adanya eksplorasi yang dilakukan oleh manusia itu sendiri. Mereka yang hidup pada abad IX akan berbeda pemaknaannya terhadap langit dengan mereka yang hidup abad XX, dan tidak menutup kemungkinan bahwa pencapaian pemahaman yang saat ini dianggap paling valid akan berubah seiring pertambahan waktu dan. perkembangan zaman. Bukankah asumsi yang dipakai dalam filsafat ilmu bahwa kebenaran itu relatif sehingga asas yang digunakan adalah asas probalistik?[22]
            Demikian tulisan ini, semoga apa yang telah diusahakan oleh penulis dapat memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi segenap civitas akademika yang berkenan menelaahnya. Wallahu a’lamu bisshawab.




DAFTAR PUSTAKA


Al-Qur’an Al-Karim

Alim, Sahirul, Menguak Keterpaduan Sains, Teknologi, dan Islam, (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1996), cet. ke-1
Bahreisj, Hussein,  Kehancuran Alam Semesta, (Surabaya: Bina Ilmu, 1985),  cet. ke-2

Baiquni, Achmad, Al-Qur’an, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995), cet. ke-3

Jamaluddin, Muhammad, On Cosmic Verses in The Qur’an, (Kairo: Syaria Al-Amir Kadadar,tt).
Kholil, Imaduddin, Madkhal ila Mauqifi Al-Qur’an Al-Karim min Al-Ilmi, (Beyrut: Muassasah Al-Risalah, 1983), cet. ke-1

Komisi Nasional Mesir untuk UNESCO, alih bahasa: A. Tafsir, Sumbangan Islam kepada Ilmu dan Kebudayaan, (Bandung: Pustaka, 1986), cet. ke-1

Nasution, Harun, Akal dan Wahyu dalam Islam, (Jakarta: UI Press, 1986), cet. ke-2

Qardhawi, Yusuf, alih bahasa : Abdul Hayyie dkk, Al-Qur’an Berbicara tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan,  (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), cet. ke-2

-----------, alih bahasa Abu barzani, Ijtihad Kontemporer, (Surabaya: Rislah Gusti, 1995)

Rahman, Afzalur, alih bahasa: Arifi M.Ed, Al-Qur’an Sumber Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1992), cet. ke-2


Rahman, Fazlur, alih bahasa: Anas Mahyuddin, Tema Pokok Al-Qur’an, (Bandung: Pustaka, 1996), cet. ke-2


Shouwy, Ahmad, (et.al), Mukjizat Al-Qur’an tentang IPTEK, (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), cet. ke-1

Suardi, Dedy, Makhluk Berdasi Mencari Tuhan, (Bandung: Remaja Erosdakarya, 1991), cet ke-1

Suprapto, B., Aturan Permainan dalam ilmu-ilmu Alam, dalam Jujun S. Suriasumantri (ed.), Ilmu dalam Perspektif, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), cet. ke-14

Suriasumantri, Jujun S., Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1999), cet. ke-12
Sya’rawi, Asy-, M. Mutawali, alih bahasa: Azis Salim, Bukti-bukti Adanya Allah, (Jakarta: Gema Insani Press, 1993), cet.ke-5
Tim Perumus Fakultas Teknik UMJ Jakarta, Al-Islam dan IPTEK II, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1998), cet. ke-1

Whitehead, Alfred North, (et.al), alih bahasa : Wasi Waskita dkk, Sains, Moral, dan Agama, (Bandung: Eraseni Media, 1994),  cet.ke-1


[1] Writen By Moch Nadziri
[2] Lihat Sahirul Alim, Menguak Keterpaduan Sains, Teknologi, dan Islam, (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1996), cet. ke-1, h. 5
[3] Negeri Cina sebagai gambaran suatu tempat yang jauh atau negeri yang belum memeluk Islam. Dengan demikian menuntut ilmu tak terbatas pada persoalan keislaman, akan tetapi lebih luas menyangkut segala bidang ilmu yang bermanfaat untuk keberlangsungan hidup manusia di muka bumi ini.
[4] Lihat Yusuf Qardhawi, alih bahasa : Abdul Hayyie dkk, Al-Qur’an Berbicara tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan ,  (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), cet. ke-2, h. 19-27
[5] Fazlur Rahman, alih bahasa: Anas Mahyuddin, Tema Pokok Al-Qur’an, (Bandung: Pustaka, 1996), cet. ke-2, h. 95
[6] Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam, (Jakarta: UI Press, 1986), cet. ke-2, h. 52
[7] lebih lanjut telaah buku karya Muhammad Jamaluddin, On Cosmic Verses in The Qur’an, (Kairo: Syaria Al-Amir Kadadar,tt).
[8] Jauh dimasa pra-sejarah, nenek moyang kita bekerja dengan metode “trial and error  dan mengkombinasikannya secara sederhana. Mereka terbiasa dengan metode non-sains sebagai pengendali yang kita sebut sebagai supra-natural. Ini sama halnya dengan rasionalisasi jawaban non-sains yang digunakan sebagai penjelasan. Sains pada tahap ini masih merupakan sesuatu yang tidak ilmiah menurut pandangan modern kita. Lebih lanjut silakan lihat Alfred North Whitehead (et.al), alih bahasa : Wasi Waskita dkk, Sains, Moral, dan Agama, (Bandung: Eraseni Media, 1994),  cet.ke-1, h. 10
[9] B. Suprapto, Aturan Permainan dalam ilmu-ilmu Alam, dalam Jujun S. Suriasumantri (ed.), Ilmu dalam Perspektif, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), cet. ke-14, h. 129
[10] Sungguh diakui bahwa orang Arab Muslim telah menjadi perintis berbagai lapangan ilmu dan menguatkan pendapat orentalis, Cajori. Lihat pengakuannya dalam Komisi Nasional Mesir untuk UNESCO, alih bahasa: A. Tafsir, Sumbangan Islam kepada Ilmu dan Kebudayaan, (Bandung: Pustaka, 1986), cet. ke-1, h. 175-177.

[11] Afzalur Rahman, alih bahasa: Arifin M.Ed, Al-Qur’an Sumber Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1992), cet. ke-2, h. 71-73

[12] Kita tak dapat pungkiri bahwa setiap zaman memiliki penafsiran tertentu tentang kandungan Al-Qur’an baik ayat-ayat hukum  maupun ayat lain semacam ayat kauniyah. Ijtihad memang sangat dianjurkan Islam agar agama samawi terakhir ini tetap aktual sepanjang masa. Lebih jelasnya lihat Yusuf Qardawi, alih bahasa Abu barzani, Ijtihad Kontemporer, (Surabaya: Rislah Gusti, 1995), h. 5-7
[13] Achmad Baiquni, Al-Qur’an, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995), cet. ke-3, h. 30-31
[14] Ahmad Baiquni, op. cit,  h. 34-35
[15] lihat M. Mutawali Asy-Sya’rawi, alih bahasa: Azis Salim, Bukti-bukti Adanya Allah, (Jakarta: Gema Insani Press, 1993), cet.ke-5, h. 88-89
[16] tentang akfitas para sarjana NASA dapat ditelaah lebih lanjut Hussein Bahreisj, Kehancuran Alam Semesta, (Surabaya: Bina Ilmu, 1985),  cet. ke-2

[17] Tim Perumus Fakultas Teknik UMJ Jakarta, Al-Islam dan IPTEK II, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1998), cet. ke-1, h. 2-3
[18]  Kumpulan ayat-ayat berkaitan dengan ilmu-ilmu dapat ditelaah dalam Imaduddin Kholil, Madkhal ila Mauqifi Al-Qur’an Al-Karim min Al-Ilmi, (Beyrut: Muassasah Al-Risalah, 1983), cet. ke-1
[19] Kesesuaian enam tahap antara rumusan Al-Qur’an dan  pendapat kaum ilmuwan mnunjukkan bahwa Al-Qur’an mempunyai antisipasi ilmiah yang mengagumkan, suatu ramalan tentang penemuan-penemuan zaman modern.Demikian apresiasi yang dinyatakan Maurice Bucaille dalam Ahmad Shouwy (et.al), Mukjizat Al-Qur’an tentang IPTEK, (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), cet. ke-1, h. 286

[20] Tim Perumus Fakultas Teknik UMJ Jakarta, op. cit.,  h. 4-8
[21] Dedy Suardi, Makhluk Berdasi Mencari Tuhan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1991), cet ke-1, h. 11-12
[22] keterangan lebih mendetail dapat dijumpai dalam Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1999), cet. ke-12, h. 72-81

NOVEL "JERUK MAKAN JERUK "

Pagi duniaku, Suasana pagi yang sejuk bagi seorang pemuda yang mencoba menjadi seorang pendidik di sebuah lembaga MTs dipedalaman desa...