BAB
I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pemikiran
filsafat mencakup ruang lingkup yang berskala makro yaitu: kosmologi, ontology,
epistimologi, dan aksiologi. Untuk melihat bagaimana sesungguhnya manusia dalam
pandangan filsafat pendidikan Islami, maka setidaknya karena manusia merupakan
bagian dari alam semesta (kosmos). Berangkat dari situ dapat kita ketahui bahwa
manusia adalah ciptaan Allah yang pada hakekatnya sebagai abdi tuhan sang
penciptanya (ontology). Sedangkan pertumbuhan serta perkembangan manusia dalam
hal memperoleh pengetahuan itu berlajan secara berjenjang dan bertahap
(berproses) melalui pengembangan potensinya, pengalaman dengan lingkungan serta
bimbingan, didikan dan arahan dari Tuhan (epistimologi), oleh karena itu
hubungan antara alam lingkungan, manusia, semua makhluk ciptaan Allah dan
hubungan dengan Allah sebagai pencita seluruh alam raya itu harus berjalan
bersama dan tidak bisa dipisahkan. Adapun manusia sebagai makhluk dalam usaha
meningkatkan kualitas sumber daya insaninya itu, manusia diikat oleh
nilai-nilai illahi (aksiologi), sehingga manusia merupakan makhluk alternatif
(dapat memilih), tetapi ditawarkan padanya pilihan yang terbaik yakni nilai
illahiyat. Dari sini dapat kita simpulkan bahwa manusia itu makhluk alternatif (bebas)
tetapi sekaligus terikat (tidak bebas nilai).
Tuhan, Manusia dan Alam adalah murupakan tiga
komponen yang memiliki keterkaitan yang sangat penting dan tidak dapat di
pisahkan antara yang satu dengan yang lainnya. Bencana atau ketidak selarasan
alam akan terjadi apabila interaksi antara ketiganya tidak terhubungkan dengan
baik, Konsep keselarasan ini ditawarkan oleh Islam untuk diterima oleh
mahluk-Nya.[[1]]
Manusia adalah subyek pendidikan, sekaligus juga
obyek pendidikan. manusia dewasa yang berkebudayaan adalah subyek pendidikan
yang berarti bertanggung jawab menyelenggareakan pendidikan. mereka
berkewajiban secara moral atas perkembangan probadi anak-anak mereka, yang
notabene adalah generasi peneruis mereka. manusia dewasa yang berkebudayaaan
terutama yang berfrofesin keguruan (pendidikan) bertanggung jawab secara formal
untuk melaksanakan misi pendidikan sesuai dengan tujuan dan nilai-nilai yang
dikehendaki ,asyarakan bengsa itu.
Manusia yang belum dewasa, dalam proses perkembangan
kepribadiannya, baik menuju pembudayaan maupun proses kematangan dan
intregitas, adalah obyek pendidikan. Artinya mereka adalah sasaran atau bahan
yang dibina. Meskipun kita sadarai bahwa perkembangan kepribadian adalah self
development melalui self actifities, jadi sebagai subjek yang sadar
mengembangkan diri sendiri.
Alam semesta adalah media pendidikan sekaligus
sebagai sarana yang digunakan oleh menusia untuk melangsungkan proses
pendidikan. Didalam alam semesta ini manusia tidak dapat hidup dan “mandiri”
dengan sesungguhnya. Karena antara manusia dan alam semesta saling membutuhkan
dan saling melengkapi antara satu dengan yang lainnya. Dimana alam semesta ini
butuh manusia untuk merawat dan memeliharanya sedangkan manusia butuh alam
semesta sebagai sarana berinteraksi dengan manusia lainnya.[[2]]
Proses pendidikan yang berlangsung didalam antar
aksi yangh pruralistis (antara subjek dengan lingkungan alamiah, sosial dan
cultural) amat ditentukan oleh aspek manusianya. Sebab kedudukan manusia
sebagai subyek didalam masyarakat, bahkan didalam alam semesta, memberikan
konsekuensi tanggung jawab yang besar bagi diri manusia. Manusia mengembang
amanat untuk membimbing masyarakat, memelihara alam lingkungan hidup bersama.
bahkan manusia terutama bertanggung jawab atas martabat kemanusiaannya (human
dignity).
B.
RUMUSAN
MASALAH
1. Tuhan dalam Perspektif
Filsafat Pendidikan Islam
2. Manusia dalam Perspektif
Filsafat Pendidikan Islam
3. Alam dalam Perspektif
Filsafat Pendidikan Islam
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Tuhan dalam Perspektif Filsafat Pendidikan Islam
Kata Tuhan merujuk kepada suatu zat abadi dan supranatural, biasanya dikatakan mengawasi dan memerintah manusia dan alam semestaatau jagat raya.[[3]] Tuhan
adalah sesuatu yang terdapat dalam pikiran (mind) manusia. Dalam stuktur
dalam manusia, hati merupakan kamar kecil yang terdapat di dalamnya yaitu hati
nurani atau suara hati atau disebut denganbashirah merupakan satu
titik kecil atau kotak kecil (black box) yang tersembunyi secara kuat
dan rapih di dalam hati, hati nurani merupakan hot line manusia
dengan Tuhan atau yang menghubungkan manusia dengan
tuhan atau disebut dengan (god spot) titik Tuhan disinilah
Tuhan hadir di setiap manusia. Menurut Ibn Qayyim Al-Jauzy, bashirah adalah
cahaya yang ditempatkan Allah di dalam hati manusia.[[4]] Di
dalam Hadits Rasulullah SAW (Hadis Qudsi) bahwa Allah SWT berada di dalam inti
manusia berikut Hadistnya:
“Aku jadikan pada manusia itu ada istana (qashr),
didalam istana itu ada dada (Shadr), di dalam shadr itu ada kalbu (Qalb), di
dalam qalb itu ada (fu’ad) , di dalam fu’ad itu ada (syaghaf), di dalam syaghaf
itu ada (lubb), di dalam lubb itu ada (sirr), dan di dalam sirr itu ada Aku
(Ana).”[[5]]
Hadist ini menjelaskan
bahwa Aku ini adalah Allah SWT. Hati nurani akan
menjadi pembimbing terhadap apa yang harus ditempuh dan apa yang harus
diperbuat sesuai dengan world viewnya (iman). Karena iman terletak di kalbu.
Untuk itulah kalbu itulah yang menjadi sasaran pendidikan untuk diisi dengan
iman.
Allah SWT merupakan sang pencipta
manusia dan alam semesta yang disebut dengan khalik (sang
pencipta) namun sering disebut juga dengan Al-Rabb, Rabb
al-Alamin, Rabb kulli syai’. Berdasarkan kata dasar dari Rabb yaitu
memperbaiki, mengurus, mengatur dan juga mendidik. Rabb biasa diterjemahkan
dengan Tuhan yang mengandung pengertian sebagaiTarbiyah (yang
menumbuhkembangkan sesuatu secara bertahap dan berangsur-angsur sampai
sempurna), juga sebagai murabbi (yang mendidik). Dengan
demikian sebagai al-rabb, atau rabb al-alamin, Allah
adalah yang mengurus, mengatur, memperbaiki proses penciptaan alam semesta.[[6]]
Allah dalam artian menumbuh
kembangkan merupakan fungsi rububiyah yang biasa dipahami sebagai fungsi
kependidikan. Jadi proses penciptaan alam semesta dan manusia merupakan hakikat
perwujudan atau realisasi dari fungsi rububiyah (kependidikan). Sebagaimana
dalam Firman Allah yang merupakan wahyu yang pertama yang di terima oleh
Rasulullah SAW yaitu sebagai berikut:
Terjemahan:
Bacalah dengan (menyebut) nama
Tuhanmu Yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal
darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajar
(manusia) dengan perantaran kalam. Dia mengajar kepada manusia apa yang
tidak diketahuinya. (Qs. Al-Alaq:1-5).
Dalam Ayat diatas Allah merupakan
seorang pendidik yang memberi pengajaran dari ciptaan-Nya, karena Allah SWt
menginginkan manusia menjadi baik dan bahagia hidup di dunia dan akhirat karena
itulah manusia harus mempunyai bekal pengetahuan agar mengetahui apa yang belum
diketahuinya.
B. Manusia dalam Perspektif Filsafat Pendidikan Islam
1.
Pengertian Manusia
Dalam
Al-Qur’an manusia disebut dengan nama:
a.
Insan, ins, nas, unas
Manusia secara bahasa
disebut juga insan yang dalam bahasa arab yaitu:
1) Nasiya yang
berarti lupa. Kata insan dipakai untuk menyebut manusia, karena manusia
memiliki sifat lupa.[[7]] Ini
menunjukan bahwa adanya keterkaitan manusia dengan kesadaran dirinya.
2) Al-uns yang
berarti jinak atau harmoni dan tampak. Jinak artinya manusia selalu
menyesuaikan diri dengan keadaan yang baru disekitarnya.[[8]]
3) Anasa yanusu yang
artinya berguncang menunjuk kepada manusia dengan seluruh totalitasnya, jiwa
dan raganya.[[9]] Ini menunjukan adanya keterkaitan
substansial antara manusia dengan kemampuan penalaran. Dengan penalaran manusia
dapat mengambil pelajaran dari apa yang dilihatnya, mengetahui apa yang benar
dan apa yang salah, dan terdorong untuk meminta izin menggunakan sesuatu yang
bukan haknya. Pengertian ini menunjukan bahwa pada manusia terdapat potensi
untuk dapat dididik , sehingga ia disebut juga makhluk yang di beri pelajaran (animal
educabil).
Manusia dalam pengertian insan
menunjukan makhluk yang berakal, yang berperan sebagai subyek kebudayaan. Dapat
juga dikatakan bahwa manusia sebagai insan menunjukan manusia sebagai makhluk
psikis yang mempunyai potensi rohani, seperti fitrah, kalbu, akal. Potensi
inilah yang menjadikan manusia sebagai makhluk yang tertinggi martabatnya
dibandingkan makhluk-makhluk lainnya.[[10]]
b.
Al-Basyar (makhluk
Biologis)
Al-Basyar meupakan
bentuk jamak dari kata Basyarah(permukaan kulit kepala, wajah, dan tubuh
yang menjadi tempat tumbuh rambut). Manusia merupakan subjek kebudayaan dalam
pengertian material sebagai yang tampak dalam aktivitas fisiknya.[[11]]
c.
Bani Adam atau
Zurriyat Adam
Manusia
disebut dengan Bani Adam karena manusia merupakan keturunan dari Nabi Adam.
2.
Hakekat Manusia
Dalam
pengertian yang telah dijelaskan diatas bahwa manusia mempunyai dua komponen
yaitu jasmani dan rohani. Dengan kelengkapan fisik atau jasmani manusia dapat
melaksanakan tugas-tugasnya yang memerlukan dukungan fisik dan dengan
kelengkapan rohaninya ia dapat melaksanakan tugas-tugas yang memerlukan
dukungan mental. Selanjutnya untuk memfungsikan kedua unsur tersebut secara
baik diperlukan pembinaan dan bimbingan disinilah pendidikan sangat diperlukan
berikut ini penjelasan penulis antara dua komponen tersebut yaitu sebagai berikut:
a. Jasmani
Manusia
sebagai pribadi yang berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya. Hal ini bisa
diraih dengan jasmani yang sehat dan kuat sebagaimana firman Allah Dalam QS.
Al-Baqarah: 247 berikut penggalan ayatnya:
Nabi (mereka) berkata: "Sesungguhnya
Allah telah memilih rajamu dan menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang
perkasa.(Qs. Al-Baqarah:247)
Aspek jasmaniah
merupakan salah satu pokok untuk mendapatkan kemajuan dan kebahagiaan dalam
kehidupan manusia, Kebutuhan jasmani berfungsi sebagai alat atau sarana untuk
mencapai tujuan-tujuan manusia terutama sebagai sarana untuk melaksanakan
kewajiban-kewajibannya.
b. Rohani
Maka apabila Aku telah
menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniup kan kedalamnya ruh (ciptaan)-Ku,
maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud.(Qs. AL-Hijr:29).
Dalam ayat tersebut bahwa Allah
SWT menyempurnakan proses kejadian manusia dengan meniupkan ruh pada
diri manusia maka ketika ruh telah ditiupkan maka pada saat itulah manusia
dalam bentuk yang sempurna mempunyai sifat dan potensi untuk mengetahui sesuatu
berikut ini beberapa potensi rohani yang dimiliki oleh manusia yaitu sebagai
berikut:
1) Fitrah
Kata
fitrah (fathara) mempunyai arti belahan, muncul, kejadian dan
penciptaan. Maka yang dimaksud fitrah adalah keadaan semula jadi atau bawaan
sejak lahir manusia.[[12]]
Maka hadapkanlah wajahmu dengan
lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan
manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah)
agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui(Qs. AR-Ruum:30).
Pada ayat tersebut bahwa sejak
asal kejadian manusia telah diciptakan membawa fitrah (potensi) keberagamaan
yang benar, yakni agama hanif dan agama tauhid, tidak bisa menghindar (la
tabdila) dari fitrah itu.
Fitrah-fitrah ini merupakan
kesiapan-kesiapan anak manusia untuk bisa dibentuk menjadi manusia dengan
segala keunggulannya. Kesiapan manusia menjadi makhluk rasional intelektual
misalnya, sudah diberikan oleh Allah dalam bentuk kemampuan untuk membuat
kategori-kategori dan kemampuan menempatkan realita-realita dalam suatu
kerangka ruang dan waktu. Kesepakatan-kesepakatan yang dimiliki manusia dalam
menyerap fenomena-fenomena empiris menunjukkan kesiapannya untuk menjadi
makhluk rasional yang mampu untuk menalar dan mampu menggagas konsep dan
inferensi dari apa yang diamatinya.
Namun pengetahuan dan kesiapan
alamiah untuk tersebut tertutup oleh kesibukan manusia dalam memenuhi
jasmaninya oleh karena itu manusia perlu sesuatu yang dapat membangkitkan
kesiapan alamiahnya mengingat kelalaian dan membangkitkannya dari ketidak
sadaran. Semua itu akan terwujud melalui Pendidikan yang merupakan usaha
sadar mengembangkan potensi-potensi yang ada pada seorang anak didik. Dengan
kata lain, pendidikan berusaha untuk mengoptimalkan kemampuan dari anak didik
sesuai dengan potensinya dengan menyuguhkan kepada anak didik media-media dan
informasi-informasi yang akan mengembangkan kemampuan yang dimilikinya.
Pendidikan yang baik seyogyanya
mampu mengenal potensi-potensi yang dimiliki oleh seorang anak didik untuk bisa
dikembangkan sesuai dengan kemampuannya. Bisa disebutkan disini suatu proses
pemurnian potensi manusia yang bisa diistilahkan sebagai proses penghanifan.
Penghanifan berarti membawa kembali potensi dari seorang manusia rujuk ke
potensi fitrah untuk kemudian diisi dengan informasi dan
pengetahuan-pengetahuan yang baik dan berguna sehingga potensi mampu berkembang
sesuai dengan fitrahnya.
Karena Manusia telah di desain
jiwanya untuk beragama secara benar, memiliki fitrah diri (keadaan semula),
jadi manusia mempunyai karakter alamiah untuk berbuat baik sehingga manusia
mudah mengerjakan perbuatan baik karena sesuai dengan fitrahnya.
2) Syahwat
Syahwat
berasal dari bahasa arab syahiya-syaha yasyha-syahwatan secara
lughawi berarti menyukai dan menyenangi. Sedangkan pengertian syahwat adalah
kecenderungan jiwa terhadap apa yang dikehendakinya.[[13]] Berikut ini Allah SWT menggambarkan
potensi syahwat dalam QS. Al-Imran ayat 14 yaitu sebagai berikut:
Terjemahan:
Dijadikan indah pada (pandangan) manusia
kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta
yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak[186] dan
sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat
kembali yang baik (surga). (Qs. Al-Imran:14).
Dalam ayat diatas pada dasarnya
manusia mempunyai kecenderungan kesenangan kepada wanita (Seksual), anak-anak
(kebanggaan), harta kekayaan (kebanggaan, kesombongan, dan kemanfaatan),
kendaraan yang bagus (kebanggaan, kenyamanan, kemanfaatan), binatang ternak (
kesenangan dan kemanfaatan) dan sawah ladang (Kesenangan da kemamfaatan).
Dengan demikan Syahwat
merupakan bentuk yang berhubungan dengan kesenangan duniawi saja namun menurut
Al-Qur’an ini manusiawi, syahwat menimbulkan potensi untuk berlaku menyimpang.
Namun baik dan bagusnya syahwat itu kalau di bimbing dan diberi petunjuk hikmah
(petunjuk akal dan syariat). Dalam Qs. Al-Hujurat: 14 merupakan refleksi dari
potensi syahwat yang dibimbing dan dibina oleh petunjuk hikmah dan syariat
berikut Firman Allah SWT:
Sesungguhnya orang-orang yang
beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan
Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad)
dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang
benar (QS. Al-Hujurat:150).
Berjuang dengan harta benda
adalah sifat pemurah dan berjuang dengan jiwa ini merupakan refleksi dari
syahwat yang terpimpin dan terbina. Dengan adanya syahwat maka manusia
memerlukan arahan bimbingan dan binaan untuk mencapai syahwat yang lurus.
3) Aql (Akal)
Akal
yang berasal dari bahasa arab aqala yaitu mengikat atau
menahan. secara umum akal difahami sebagai potensi yang disiapkan untuk
menerima ilmu pengetahuan.[[14]] aqala mengandung arti
yaitu mengerti, memahami, berfikir.
Menurut
Al-ghazali yang dikutif oleh Zainuddin dalam bukunya seluk beluk pendidikan
dari Al-Ghazali pengertian akal ada empat tahapan sesuai dengan tahap
perkembangan akal pikiran manusia yaitu:
a) Akal yaitu suatu sifat yang membedakan manusia dari
segala binatang.
b) Hakikat akal adalah ilmu pengetahuan yang tumbuh pada
anak usia tamyiz.
c) Hakikat akal adalah ilmu pengetahuan yang diperoleh
dari pengalaman dengan berlangsung berbagai keadaan.
d) Hakikat akal adalah puncak kekuatan ghaizah (semangat)
untuk mengetahui akibat dari segala persoalan dan mencegah hawa nafsu, yang
mengajak pada kesenangan seketika dan mengendalikan syahwat tersebut.
Pendidikan akal merupakan cakupan
pencapaian kebenaran ilmiah yaitu kebenaran diperoleh melalui penelaahan
terhadap sumber-sumber yang valid. Dalam ayat berikut ini bahwa manusia agar
memperhatikan apa yang sebenarnya terjadi dalam realitas kehidupan ini
merupakan kegiatan pendidikan dari akal.
Maka apakah mereka tidak
memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan. Dan langit, bagaimana ia
ditinggikan. Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan?. Dan bumi
bagaimana ia dihamparkan?
3.
Proses Kejadian
Manusia
Terjemahan:
Dan sesungguhnya Kami telah
menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian
Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh
(rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal
darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan
tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian
Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah,
Pencipta Yang Paling Baik.(Qs. Al-Muminuun:12-14).
Dalam ayat diatas Allah
menjelaskan tahapan demi tahapan proses kejadian manusia sampai kepada
kesempurnaan. Manusia diciptakan dari sejak awal pemancaran (bentuk nutfah)
berkembang menuju martabat manusia yang sempurna dengan segala
karakterristiknya, Allah bermaksud membuktikan ketuhanan-Nya dengan
mempersaksikan hakikat dirinya sendiri. Manusia merupakan makhluk lemah yang
tidak mampu menguasai, mengatur dan memelihara dirinya sendiri sehingga ia
membutuhkan penguasa, pengatur, dan pemelihara yaitu Allah Rabb
Al-Alamin.
Terjemahan:
Dan Allah mengeluarkan kamu dari
perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu
pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.(Qs. An-Nahl 78).
Manusia ketika lahir yang tidak
mengetahui apa-apa tetapi Allah SWt membekali manusia alat berupa pendengaran,
penglihatan dan hati untuk dipergunakan secara baik dan benar aga manusia bisa
mengetahui segala sesuatunya melalui alat tersebut sehingga manusia bersyukur
apa yang di dapatnya dari Alah SWT.
4.
Golongan Manusia
Al-Ghazali
membagi umat manusia kedalam tiga golongan:
a) Kaum Awam; yang
cara berpikirnya sederhana sekali tidak dapat menangkap hakekat-hakekat, mereka
mempunyai sifat lekas percaya dan menurut. Golongan ini harus dihadapi dengan
sikap memberi nasehat dan petunjuk.[[15]]
b) Kaum pilihan; yang
akalnya tajam dan berpikir secara mendalam harus dihadapi dengan sikap
menjelaskan hikmat-hikmat.
c) Kaum Penekar; harus
dihadapi dengan sikap mematahkan argumen-argumen.
Terjemaahan:
Serulah (manusia) kepada jalan
Tuhanmu dengan hikmah, dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan
cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang
sesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui siapa yang dapat
petunjuk. (Qs. AN-Nahl: 125).[[16]]
C. Alam dalam Perspektif Filsafat Pendidikan Islam
Alam semesta,
kata ini digunakan untuk menjelaskan seluruh ruang waktu kontinu di mana kita
berada, dengan energi dan materi yang dimilikinya.[[17]] Alam semesta adalah kumpulan jauhar
yang tersusun dari materi (maddah) dan bentuk (Shurah) yang
ada di langit (al-jawhar al murakka min al-madah wa al-shurah min ardh wa
sama).[[18]]
Islam memandang bahwa alam adalah ciptaan Allah SWT,
sekaligus merupakan bukti karya agung-Nya, sebagai konsekuensinya alam adalah
pesan dan tanda-tanda Allah akan keberadaan-Nya. Alam merupakan wahyu yang
tidak tertulis. Jadi setiap manusia harus membaca wahyu Allah yang baik yang
tertulis maupun yang tidak tertulis.[[19]]
Seluruhnya makhluk Tuhan yang diciptakan untuk satu
tujuan, alam ini tunduk di bawah sunah Allah dengan ketentuan-ketentuan-Nya.[[20]]
Terjemahan:
Langit yang tujuh, bumi dan semua
yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada suatupun melainkan
bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka.
Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun.(Qs. Al-Israa:44).
Tuhan telah menjadikan alam dengan seperangkat aturannya yang dia sebut
dengan istilah qadar. Qadar baginya bukanlah
seperti apa yang dipahami oleh mayoritas para teolog (mutakallimum)
sebagai ketentuan yang deterministik, mengikat serta membatasi kebebasan
manusia, melainkan segala ketentuan yang ada pada alam ini, terutama
benda-benda fisik. Qadaritulah yang memberikan karakteristik dan
sifat khusus padanya. Karakteristik dan sifat itulah yang merupakan amar Tuhan
terhadap alam. Karenanya segala yang ada di alam adalah Islam, karena ia tunduk
dan patuh terhadap amarTuhan. Amar Tuhan itulah yang kemudian
menjadi amanah bagi alam ini. Karenanya, pula, al-Qur`an
mengatakan bahwa alam bertasbih kepada Tuhan.Tuhan menciptakan alam semesta ini
bukanlah tanpa tujuan. Ia hendak merealisasikan tujuanNya itu lewat ciptaanNya
dan misiNya yaitu untuk beribadah
kepada-Nya.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari
pembahasan di atas dapat di simpulkan bahwa pada hakikatnya Allah swt sebagai
pencipta dan sekaligus sebagai penunjuk jalan bagi manusia (maha guru) Tuhan
didalam menciptakan manusia di muka bumi ini adalah semata-semata untuk
mengabdi kepada-Nya dan untuk menjadi khalifah dimuka bumi. Hakikat penciptaan
manusia terdiri dari tiga unsur, yaitu unsur jasmani, unsur akal, dan unsur
ruhani, yang mana ketiga unsur tersebut menjadi satu kesatuan pada diri
manusia.
Dalam
hal manusia dapat mengelola alam semesta , maka manusia perlu mendapatkan
pendidikan (Subyek pendidikan dan sekaligus se bagai obyek pendidikan)
Dalam
pemikiran filsafat pendidikan Islami, Al-Farabi menggunakan proses konseptual
yang disebutnya dengan nazhariyyah al-faidh (teori emanasi) untuk memahami
hubungan antara Tuhan dan alam pluralis dan empirik.
Menurut
teori ini, alam terjadi dan tercipta karena pancaran dari Yang Esa (Tuhan);
yaitu keluarnya mumkin al-wujūd (disebut alam) dari pancaran Wājib al-Wujūd
(Tuhan). Proses terjadinya emanasi (pancaran) ini melalui tafakkur (berpikir)
Tuhan tentang diri-Nya, sehingga Wājib al-Wujūd juga diartikan sebagai “Tuhan
yang berpikir”. Tuhan senantiaa aktif berpikir tentang diri-Nya sendiri
sekaligus menjadi obyek pemikiran.
Allah
menciptakan alam semesta ini bukan untukNya, tetapi untuk seluruh makhluk yang
diberi hidup dan kehidupan. Sebagai pencipta dan sekaligus pemilik, Allah
mempunyai kewenangan dan kekuasaan absolut untuk melestarikan dan
menghancurkannya tanpa diminta pertanggungjawaban oleh siapapun. Namun begitu,
Allah telah mengamanatkan alam seisinya dengan makhlukNya yang patut diberi
amanat itu, yaitu MANUSIA. Dan oleh karenanya manusia adalah makhluk Allah yang
dibekali dua potensi yang sangat mendasar, yaitu kekuatan fisi dan kekuatan rasio,
disamping emosi dan intuisi. Ini berarti, bahwa alam seisinya ini adalah amanat
Allah yang kelak akan minta pertanggungjawaban dari seluruh manusia yang selama
hidupnya di dunia ini pasti terlibat dalam amanat itu.
Manusia
diberi hidup oleh Allah tidak secara outomatis dan langsung, akan tetapi
melalui proses panjang yang melibatkan berbagai faktor dan aspek. Ini tidak
berarti Allah tidak mampu atau tidak kuasa menciptakannya sealigus. Akan tetapi
justru karena ada proses itulah maka tercipta dan muncul apa yang disebut
“kehidupan” baik bagi manusia itu sendiri maupun bagi mahluk lain yang juga
diberi hidup oleh Allah, yakni flora dan fauna. Kehidupan yang demikian adalah
proses hubungan interaktif secara harmonis dan seimbang yang saling menunjang antara
manusia, alam dan segala isinya utamanaya flora dan fauna, dalam suatu “tata
nilai” maupun “tatanan” yang disebut ekosistem. Tata nilai dan tatanan itulah
yang disebut pula “moral dan etika kehidupan alam” yang sering dipengaruhi oleh
paradigma dinamis yang berkembang dalam komunitas masyarakat disamping pengaruh
ajaran agama yang menjadi sumber inspirasi moral dan etika itu.
DAFTAR
PUSTAKA
Ahmad Mubarok. Al-Irsyad
an Nafsiy Konseling Agama Teori dan Kasus. (2002. Bina Rena
Pariwara:Jakarta).
Muhaimin. Paradigma
Pendidikan Islam. (2004.PT. Remaja Rosdakarya:Bandung)
Syamsudin Noor dan
Karman Al-Kuninganiy. Tafsir Tarbawiy. (2002. P3M STAIN:
Ambon)
Al Qur’an dan
Terjemahannya, hal, 80-81 cet: 2007.
Noor Syam,
Mohammad, Filsafat Pendidikan dan Dasar Filasafat Pendidikan Pancasila,
Surabaya: Usaha Nasional
Hasyim Syah
Nasution. Filsafat Islam. (Bulan Bintang_____.______)
http://id.wikipedia.org/wiki/Alam Semesta.
http://id.wiktionary.org/wiki/Tuhan.
Jamil Syaliba. Mu’jam
al-Falsafiy. jilid II (Beirut: Dar al-kitab al-Lubnaniy, 1973),
Abdurrahman
Mas’ud. Menggagas Format Pendidikan NonDikhotomik. (2002.
Gama Media: Yogyakarta).
[1] Al Qur’an dan Terjemahannya,
hal, 80-81 cet: 2007.
[2] Noor Syam, Mohammad, Filsafat
Pendidikan dan Dasar Filasafat Pendidikan Pancasila, Surabaya: Usaha Nasional,
1986, hal. 153.
[4] Ahmad Mubarok. Al-Irsyad an
Nafsiy Konseling Agama Teori dan Kasus. (2002. Bina Rena Pariwara:Jakarta). Hal
31
[19] Abdurrahman Mas’ud. Menggagas
Format Pendidikan NonDikhotomik. (2002. Gama Media: Yogyakarta). Hal
45.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar