Sabtu, 15 Maret 2014

Sosial dan Politik Pra-Islam di Mekah (Sejarah Peradaban Islam)


BAB I
PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang Masalah
Masa sebelum Islam, khususnya kawasan jazirah Arab, disebut masa jahiliyyah. Julukan semacam ini terlahir disebabkan oleh terbelakangnya moral masyarakat Arab khususnya Arab pedalaman (badui) yang hidup menyatu dengan padang pasir dan area tanah yang gersang. Mereka pada umumnya hidup berkabilah. Mereka berada dalam lingkungan miskin pengetahuan. Situasi yang penuh dengan kegelapan dan kebodohan tersebut, mengakibatkan mereka sesat jalan, tidak menemukan nilai-nilai kemanusiaan, membunuh anak dengan dalih kemuliaan, memusnahkan kekayaan dengan perjudian, membangkitkan peperangan dengan alasan harga diri dan kepahlawanan. Suasana semacam ini terus berlangsung hingga datang Islam di tengah-tengah mereka.
Namun demikian, bukan berarti masyarakat Arab pada waktu itu sama sekali tidak memiliki peradaban. Bangsa Arab sebelum lahirnya Islam dikenal sebagai bangsa yang sudah memiliki kemajuan ekonomi. Makkah misalnya pada waktu itu merupakan kota dagang bertaraf internasional. Hal ini diuntungkan oleh posisinya yang sangat strategis karena terletak di persimpangan jalan penghubung jalur perdagangan dan jaringan bisnis dari Yaman ke Syiria.
Rentetan peristiwa yang melatar belakangi lahirnya Islam merupakan hal yang sangat penting untuk dikaji. Hal demikian karena tidak ada satu pun peristiwa di dunia yang terlepas dari konteks historis dengan peristiwa-peristiwa sebelumnya. Artinya, antara satu peristiwa dengan peristiwa lainnya terdapat hubungan yang erat dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk hubungan Islam dengan situasi dan kondisi Arab pra Islam.

B.     Rumusan Masalah

Bagaimana keadaan sosial, kebudayaan, ekonomi, politik, agama dan bangsa Arab sebelum islam ?


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Keadaan sosial dan budaya bangsa Arab sebelum Islam
Masyarakat Arab terbagi menjadi dua kelompok besar, yaitu penduduk kota (Hadhary) dan penduduk gurun (Badui). Penduduk kota bertempat tinggal tetap. Mereka telah mengenal tata cara mengelola tanah pertanian dan telah mengenal tata cara perdagangan. Bahkan hubungan perdagangan mereka telah sampai ke luar negeri. Hal ini menunjukkan bahwa mereka telah memiliki peradaban cukup tinggi.
Sementara masyarakat Badui hidupnya berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya guna mencari air dan padang rumput untuk binatang gembalaan mereka[1]. Di antara kebiasaan mereka adalah mengendarai unta, mengembala domba dan keledai, berburu serta menyerang musuh. Kebiasaan ini menurut adat mereka adalah pekerjaan yang lebih pantas dilakukan oleh laki-laki. Oleh karena itu, mereka belum mengenal pertanian dan perdagangan. Karenanya, mereka hidup berpindah dari satu tempat ke tempat lain untuk mencari kehidupan, baik untuk diri dan keluarga mereka atau untuk binatang ternak mereka. Dalam perjalanan pengembaraan itu, terkadang mereka menyerang musuh atau menghadapi serangan musuh. Di sinilah terjadi kebiasaan berperang di antara suku-suku yang ada di wilayah Arabia.
Ketika mereka diserang musuh maka suku yang bersekutu dengan mereka biasanya ikut membantu dan rela mengorbankan apa saja untuk membantu kawan sekutunya itu. Di sinilah dapat kita lihat adanya unsur kesetiakawanan yang ada di antara mereka. Selain itu, manakala seorang anggota suku diserang oleh suku lain maka seluruh anggota wajib membela anggotanya meskipun anggotanya itu salah. Mereka tidak melihat kesalahan ada di pihak mana. Hal penting yang mereka lakukan adalah membela sesama anggota suku. Itulah yang dapat kita lihat dari sikap fanatisme dan patriotisme yang ada di dalam kehidupan masyarakat Badui.
Tidak dapat dipungkiri bahwa kondisi geografis Arab sangat besar pengaruhnya terhadap kejiwaan masyarakatnya. Arab sebagai wilayah tandus dan gersang telah menyelamatkan masyarakatnya dari serangan musuh-musuh luar. Pada sisi lainnya, kegersangan ini mendorong mereka menjadi pengembara-pengembara dan pedagang daerah lain. Keluasan dan kebebasan kehidupan mereka di padang pasir juga menimbulkan semangat kebebasan dan individualisme dalam pribadi mereka. Kecintaan mereka terhadap kebebasan ini menyebabkan mereka tidak pernah dijajah bangsa lain.
Kondisi kehidupan Arab menjelang kelahiran Islam secara umum dikenal dengan sebutan zaman jahiliyah. Hal ini dikarenakan kondisi sosial politik dan keagamaan masyarakat Arab saat itu. Hal itu disebabkan karena dalam waktu yang lama, masyarakat Arab tidak memiliki nabi, kitab suci, ideologi agama dan tokoh besar yang membimbing mereka. Mereka tidak mempunyai sistem pemerintahan yang ideal dan tidak mengindahkan nilai-nilai moral. Pada saat itu, tingkat keberagamaan mereka tidak berbeda jauh dengan masyarakat primitif.
Sesungguhnya sejak zaman jahiliyah, masyarakat Arab memiliki berbagai sifat dan karakter yang positif, seperti sifat pemberani, ketahanan fisik yang prima, daya ingat yang kuat, kesadaran akan harga diri dan martabat, cinta kebebasan, setia terhadap suku dan pemimpin, pola kehidupan yang sederhana, ramah tamah, mahir dalam bersyair dan sebagainya. Namun sifat-sifat dan karakter yang baik tersebut seakan tidak ada artinya karena suatu kondisi yang menyelimuti kehidupan mereka, yakni ketidakadilan, kejahatan, dan keyakinan terhadap tahayul.
Pada masa itu, kaum wanita menempati kedudukan yang sangat rendah sepanjang sejarah umat manusia. Masyarakat Arab pra Islam memandang wanita ibarat binatang piaraan bahkan lebih hina lagi. Karena para wanita sama sekali tidak mendapatkan penghormatan sosial dan tidak memiliki apapun. Kaum laki-laki dapat saja mengawini wanita sesuka hatinya dan menceraikan mereka semaunya. Bahkan ada suku yang memiliki tradisi yang sangat buruk, yaitu suka mengubur anak perempuan mereka hidup-hidup. Mereka merasa terhina memiliki anak-anak perempuan. Muka mereka akan memerah bila mendengar isteri mereka melahirkan anak perempuan. Perbuatan itu mereka lakukan karena mereka merasa malu dan khawatir anak perempuannya akan membawa kemiskinan dan kesengsaraan dan kehinaan.
Selain itu, sistem perbudakan juga merajalela. Budak diperlakukan majikannya secara tidak manusiawi. Mereka tidak mendapatkan kebebasan untuk hidup layaknya manusia merdeka. Bahkan para majikannya tidak jarang menyiksa dan memperlakukan para budak seperti binatang dan barang dagangan, dijual atau dibunu
Secara garis besar kehidupan sosial masyarakat Arab secara keseluruhan dan masyarakat kota Mekkah secara khusus benar-benar berada dalam kehidupan sosial yang tidak benar atau jahiliyah. Akhlak mereka sangat rendah, tidak memiliki sifat-sifat perikemanusiaan dan sebagainya. Dalam situasi inilah agama Islam lahir di kota Mekkah dengan diutusnya Muhammad saw. sebagai nabi dan rasul Allah.
Secara singkat dapat disimpulkan keaadaan sosial dan kebudayaan bangsa Arab sebelum islam diantaranya:
1.      Orang-orang Arab sebelum kedatangan Islam adalah orang-orang yang menyekutukan Allah (musyrikin), yaitu mereka menyembah patung-patung dan menganggap patung-patung itu suci.
2.      Kebiasaan mereka ialah membunuh anak perempuan mereka karena takut kemiskinan dan kelaparan.
3.      Mereka menguburkan anak-anak perempuan mereka hidup-hidup karena takut malu dan celaan.
4.      Mereka orang-orang yang suka berselisihan, yang suka bertengkar, lantaran sebab-sebab kecil, sebab segolongan dari mereka memerangi akan segolongannya.

B.     Keadaan ekonomi Bangsa Arab sebelum Islam
Perdagangan merupakan unsur penting dalam perekonomian masyarakat Arab pra Islam. Makkah misalnya, karena letak geografisnya yang sangat strategis maka ia menjadi tempat persinggahan para kafilah dagang yang datang dan pergi menuju pusat perniagaan[2]. Mereka berdagang bukan saja dengan orang Arab, tetapi juga dengan non-Arab. Kemajuan perdagangan bangsa Arab pra Islam dimungkinkan antara lain karena pertanian yang telah maju. Kemajuan ini ditandai dengan adanya kegiatan ekspor-impor yang mereka lakukan. Para pedagang Arab selatan dan Yaman pada 200 tahun menjelang Islam lahir telah mengadakan transaksi dengan Hindia, Afrika, dan Persia. Komoditas ekspor Arab selatan dan Yaman adalah dupa, kemenyan, kayu gaharu, minyak wangi, kulit binatang, buah kismis, dan anggur. Sedangkan yang mereka impor dari Afrika adalah kayu, logam, budak; dari Hindia adalah gading, sutra, pakaian dan pedang; dari Persia adalah intan. Data ini menunjukkan bahwa perdagangan merupakan urat nadi perekonomian yang sangat penting sehingga kebijakan politik yang dilakukan memang dalam rangka mengamankan jalur perdagangan ini.
Faktor-faktor yang mendorong kemajuan perdagangan Arab sebelum Islam sebagaimana dikemukakan Burhan al-Din Dallu adalah sebagai berikut:
1.      Kemajuan produksi lokal serta kemajuan aspek pertanian.
2.      Adanya anggapan bahwa pedagang merupakan profesi yang paling bergengsi.
3.      Terjalinnya suku-suku ke dalam politik dan perjanjian perdagangan lokal maupun regional antara pembesar Hijaz di satu pihak dengan penguasa Syam, Persia dan Ethiopia di pihak lain.
4.       Letak geografis Hijaz yang sangat strategis di jazirah Arab.
5.       Mundurnya perekonomian dua imperium besar, Byzantium dan Sasaniah, karena   keduanya terlibat peperangan terus menerus.
6.       Jatuhnya Arab selatan dan Yaman secara politis ke tangan orang Ethiopia pada tahun 535 Masehi dan kemudian ke tangan Persia pada tahun 257 M.
7.       Dibangunnya pasar lokal dan pasa musiman di Hijaz, seperti Ukaz, Majna, Zu al-Majaz, pasar bani Qainuna, Dumat al-Jandal, Yamamah dan pasar Wahat.
8.       Terblokadenya lalu lintas perdagangan Byzantium di utara Hijaz dan laut merah[3].
Data-data yang dikemukakan Dallu menunjukkan bahwa antara ekonomi dan politik tidak dapat dipisahkan dalam konteks kehidupan masyarakat Arab pra Islam. Kehidupan politik Byzantium dan Sasaniah turut memberikan sumbangan dalam memajukan proses perdagangan yang berlangsung di Hijaz, karena kedua kerajaan ini sangat berkepentingan terhadap jalur perdagangan ini.
Di lain sisi, Mekkah di mana terdapat ka’bah yang pada waktu itu sebagai pusat kegiatan Agama, telah menjadi jalur perdagangan internasional. Hal ini diuntungkan oleh posisinya yang sangat strategis karena terletak di persimpangan jalan yang menghubungkan jalur perdagangan dan jaringan bisnis dari Yaman ke Syiria, dari Abysinia ke Irak. Pada mulanya Mekkah didirikan sebagai pusat perdagangan lokal di samping juga pusat kegiatan agama. Karena Mekkah merupakan tempat suci, maka para pengunjung merasa terjamin keamanan jiwanya dan mereka harus menghentikan segala permusuhan selama masih berada di daerah tersebut. Untuk menjamin keamanan dalam perjalanan suatu sistem keamanan di bulan-bulan suci, ditetapkan oleh suku-suku yang ada di sekitarnya. Keberhasilan sistem ini mengakibatkan berkembangnya perdagangan yang pada gilirannya menyebabkan munculnya tempat-tempat perdagangan baru.
Dengan posisi Mekkah yang sangat strategis sebagai pusat perdagangan bertaraf internasional, komoditas-komoditas yang diperdagangkan tentu saja barang-barang mewah seperti emas, perak, sutra, rempah-rempah, minyak wangi, kemenyan, dan lain-lain. Walaupun kenyataan yang tidak dapat dipungkiri adalah pada mulanya para pedagang Quraish merupakan pedagang eceran, tetapi dalam perkembangan selanjutnya orang-orang Mekkah memperoleh kesuksesan yang besar, sehingga mereka menjadi pengusaha di berbagai bidang bisnis.

C.     Keadaan politik bangsa Arab sebelum Islam
Sebagaimana telah disinggung di atas bahwa sebagian besar daerah Arab adalah daerah gersang dan tandus, kecuali daerah Yaman yang terkenal subur. Ditambah lagi dengan kenyataan luasnya daerah di tengah Jazirah Arab, bengisnya alam, sulitnya transportasi, dan merajalelanya badui yang merupakan faktor-faktor penghalang bagi terbentuknya sebuah negara kesatuan serta adanya tatanan politik yang benar. Mereka tidak mungkin menetap. Mereka hanya bisa loyal ke kabilahnya saja. Oleh karena itu, mereka tidak akan tunduk ke sebuah kekuatan politik di luar kabilahnya yang menjadikan mereka tidak mengenal konsep negara.
Sementara menurut Nicholson, tidak terbentuknya Negara dalam struktur masyarakat Arab pra Islam, disebabkan karena konstitusi kesukuan tidak tertulis[4]. Sehingga pemimpin tidak mempunyai hak memerintah dan menjatuhkan hukuman pada anggotanya. Namun dalam bidang perdagangan, peran pemimpin suku sangat kuat. Hal ini tercermin dalam perjanjian-perjanjian perdagangan yang pernah dibuat antara pemimpin suku di Mekkah dengan penguasa Yaman, Yamamah, Tamim, Ghassaniah, Hirah, Suriah, dab Ethiopia.
Model organisasi politik bangsa Arab lebih didominasi kesukuan (model kabilah). Kepala sukunya disebut Shaikh, yakni seorang pemimpin yang dipilih antara sesama anggota. Shaikh  dipilih dari suku yang lebih tua, biasanya dari anggota yang masih memiliki hubungan famili.Shaikh tidak berwenang memaksa, serta tidak dapat membebankan tugas-tugas atau mengenakan hukuman-hukuman. Hak dan kewajiban hanya melekat pada warga suku secara individual, serta tidak mengikat pada warga suku lain.

D.    Keadaan agama bangsa Arab sebelum Islam
Sebelum kedatangan Islam di arab terdapat berbagai agama diantara ada yang beragama Yahudi, kristen dimana mayoritas penganut agama Yahudi tersebut pandai bercocok tanam dan membuat alat-alat dari besi seperti perhiasan dan persenjataan[5].
 Penduduk Arab menganut agama yang bermacam-macam. Paganisme, Yahudi, dan Kristen merupakan ragam agama orang Arab pra Islam. Pagan adalah agama mayoritas mereka. Ratusan berhala dengan bermacam-macam bentuk ada di sekitar Ka’bah. Setidaknya ada empat sebutan bagi berhala-berhala itu: sanam, wathan, nusub, dan hubal. Sanam berbentuk manusia dibuat dari logam atau kayu. Wathan juga dibuat dari batu. Nusub adalah batu karang tanpa suatu bentuk tertentu. Hubal berbentuk manusia yang dibuat dari batu akik. Dialah dewa orang Arab yang paling besar dan diletakkan dalam Ka’bah di Mekah. Orang-orang dari semua penjuru jazirah datang berziarah ke tempat itu. Beberapa kabilah melakukan cara-cara ibadahnya sendiri-sendiri. Ini membuktikan bahwa paganisme sudah berumur ribuan tahun. Sejak berabad-abad penyembahan patung berhala tetap tidak terusik, baik pada masa kehadiran permukiman Yahudi maupun upaya-upaya kristenisasi yang muncul di Syiria dan Mesir.
Agama Yahudi dianut oleh para imigran yang bermukim di Yathrib dan Yaman. Tidak banyak data sejarah tentang pemeluk dan kejadian penting agama ini di  Jazirah Arab, kecuali di Yaman. Dzū Nuwās merupakan penguasa Yaman yang condong ke Yahudi. Dia tidak menyukai penyembahan berhala yang telah menimpa bangsanya. Dia meminta penduduk Najran agar masuk agama Yahudi. sehingga kalau mereka menolak, maka akan dibunuh. Namun yang terjadi justru menolak, maka digalilah sebuah parit dan dipasang api di dalamnya. Mereka dimasukkan ke dalam parit itu, serta dibunuh dengan pedang atau dilukai sampai cacat bagi yang selamat dari api tersebut. Korban pembunuhan itu mencapai dua puluh ribu orang. Tragedi berdarah dengan motif fanatisme agama ini diabadikan dalam al-Quran dalam kisah “orang-orang yang membuat parit” (Ashab al-Ukhdud). Sedangkan Agama Kristen di jazirahArab dan sekitarnya sebelum kedatangan Islam tidak ternodai oleh tragedi yang mengerikan semacam itu. Yang tampak hanyalah pertikaian di antara sekte-sekte Kristen. Menurut Muhammad ‘Abid al-Jabiri, al-Quran menggunakan istilah “Nasara” bukan “al-Masihiyah” dan “al-Masihi” bagi pemeluk agama Kristen. Bagi pendeta Kristen resmi (Katolik, Ortodoks, dan Evangelis) istilah “Nasara” adalah sekte sesat, tetapi bagi ulama Islam mereka adalah “Hawariyun”. Para misionaris Kristen menyebarkan doktrinnya dengan bahasa Yunani yang waktu itu madhab-madhab filsafat dan aliran-aliran gnostik dan hermes menyerbu daerah itu. Inilah yang menimbulkan pertentangan antara misionaris dan pemikir Yunani yang memunculkan usaha-usaha mendamaikan antara filsafat Yunani yang bertumpu pada akal dan doktrin Kristen yang bertumpu pada iman. Inilah yang melahirkan sekte-sekte Kristen yang kemudian menyebar ke berbagai penjuru, termasuk jazirah Arab dan sekitarnya. Sekte Arius menyebar di bagian selatan jazirah Arab, yaitu dari Suria dan Palestina ke Irak dan Persia.
Salah satu corak beragama yang ada sebelum Islam datang selain tiga agama di atas adalah Hanifiyah[6], yaitu sekelompok orang yang mencari agama Ibrahim yang murni yang tidak terkontaminasi oleh nafsu penyembahan berhala-berhala, juga tidak menganut agama Yahudi ataupun Kristen, tetapi mengakui keesaan Allah. Mereka berpandangan bahwa agama yang benar di sisi Allah adalah Hanifiyah, sebagai aktualisasi dari millah Ibrahim. Gerakan ini menyebar luas ke berbagai penjuru Jazirah Arab khususnya di tiga wilayah Hijaz, yaitu Yathrib, Taif, dan Mekah.




BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Secara sosiologis, bangsa Arab sebelum Islam merupakan bangsa yang hidup secara kesukuan. Mereka hidup berpindah-pindah. Hal ini disebabkan kondisi geografis yang tidak mendukung, seperti model tanah yang tandus, berbatu, padang pasir luas serta beriklim panas dan jarang turun hujan. Dalam keadaan semacam ini, wajar jika mereka memiliki watak keras, suka berperang, merampok, berjudi, berzina, sehingga terkesan jauh dari nilai-nilai moral-kemanusiaan. Demikian ini seakan-akan menjadi tradisi masyarakat Arab sebelum Islam. Keadaan semacam inilah yang meniscayakan zaman tersebut disebut zaman jahiliyyah.
Dari sisi perekonomian, unsur penting yang menjadi andalan masyarakat Arab pra Islam adalah perdagangan di samping bertani dan beternak. Mereka telah lama mengenal perdagangan bukan saja dengan orang Arab, tetapi juga dengan non-Arab. Terbukti dengan adanya Mekkah sebagai kota dagang internasional. Demikian ini karena letak daerah Hijaz, khususnya Mekkah, sangatlah strategis, yakni penghubung jalur dagang antara Yaman dengan Syiria. Di samping itu, daerah pesisir ini juga di lewati kapal-kapal dagang Eropa dan Asia melalui laut merah.
Dunia politik Arab pra Islam lebih didominasi oleh model kesukuan. Pimpinan tertinggi dari suku dinamakan Shaikh. Fungsi pemerintahan Shaikh ini lebih banyak bersifat penengah (arbitrasi) dari pada memberi komando. Shaikh tidak berwenang memaksa, serta tidak dapat membebankan tugas-tugas atau mengenakan hukuman-hukuman. Dari dominasi model kesukuan ini, terbentuknya Negara kesatuan serta adanya tatanan politik yang benar agaknya sedikit terhalangi.
Sementara jika ditinjau dari sisi keagamaan, masyarakat Arab pra Islam memeluk berbagai macam agama, di antaranya Paganisme, Yahudi, Kristen dan Hanifiyah. Agama-agama ini merupakan agama warisan dari pendahu-pendahulunya. Keadaan tersebut masing terus berlangsung sampai datangnya Islam sebagai agama yang hak, serta penyempurna dari agama-agama samawi sebelumnya.





DAFTAR PUSTAKA
Al-Din, Burhan, Jazirat- Arab al-Islam, Beirut: t. p. 1989
Asy Syarkowi, Abdurrahman, Muhammad Sang Pembebas, Yogyakarta: Mitra Pustaka 2003
R A A, Nicholson, A Literary History of The Arabs, Cambridge : Cambridge University Perss 1997
Sa’id Romadhan al-Buthy, Muhammad, Sirah Nabawiyah, Jakarta: Robbani Press cet 11 2006
Yatim Badri, Sejarah Peradaban Islam , Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada 2008




[1] Dr. Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo. 2008 hlm 10.
[2] Abdurrahman Asy Syarkowi, Muhammad Sang Pembebas, Yogyakarta: Mitra Pustaka 2003 hlm 10
[3] Burhan Al-Din, Jazirat-Arab al-Islam, Beirut: T p . 1989 hlm 21.
[4] R A. Nicholson, A Literary History of The Arabs. Cambridge: Cambridge University Press. 1997 hlm 49
[5] Dr . Badri Yatim, op. Cit, hlm 15
[6] Dr. Muhammah Sa’id Ramadhan al-Buthy, Sirah Nabawiyah, Jakarta: Robbani Press cet 11 2006 hlm 21.

Rabu, 12 Maret 2014

Metode Pendidikan Islam


BAB I

A.    PENDAHULUAN
Semakin berkembangnya dunia dari tahun-ketahun mengakibatkan banyak perubahan dalam diri dunia Islam. Baik dari segi agama, pendidikan, politik dan seterusnya. Terutama dalam bidang pendidikan, akibat adanya sikap serba boleh dan pemenjaan dari orang tua, banyak anak-anak terjerumus pada pergaulan yang mengabaikan syari'at. Banyak kaum wanita melupakan fitrohnya sebagai seorang ibu yang berkewajiban mendidik putra-putrinya.
 Sehingga mengakibatkan dunia anak sia-sia. Pemberian andel yang cukup banyak dalam kesia-siaan trsebut adalah metode pendidikan barat yang tampaknya telah menjadi kiblat pendidikan kita. Sebenarnya Islam mempunyai metode pendidikan yang sempurna kepada umat manusia, terutama dalam bidang pendidikan. Oleh karena itu dalam makalah ini kami akan sedikit membahas tentang metode-metode pendidikan dalam Islam.
B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Apa pengertian Metode Pendidikan Islam ?
2.       Apa saja fungsi Metode Pendidikan Islam ?
3.       Apa saja asas-asas Metode Pendidikan Islam ?
4.       Bagaimana cara pendekatan Metode Pendidikan Islam ?
5.       Apa saja prinsi-prinsip Metode Pendidikan Islam ?


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Metode Pendidikan Islam
Pengertian Metode secara etimologi, berasal dari dua perkataan yaitu meta dan hodosMeta berarti “melalui” dan hodos berarti “jalan” atau “cara”. Menurut DR.  Ahmad Husain al-liqaniy, metode adalah : “Langkah–langkah yang diambil guru guna membantu para murid merealisasikan tujuan tertentu”. Dalam bahasa arab dikenal dengan istilah Thariqoh yang berarti langkah-langkah strategis yang harus dipersiapkan untuk melakukan suatu pekerjaan. Bila dihubungkan dengan Pendidikan maka langkah tersebut harus diwujudkan dalam proses pendidikan dalam rangka pembentukan kepribadian.
Muhammad Athiyah al-Abrasyi mengartikan metode sebagai jalan yang dilalui untuk memperoleh pemahaman pada peserta didik. Abd al-Aziz mengartikan metode kebiasaan berpikir, serta cinta kepada ilmu, guru, dan sekolah.[1] Jadi teknik merupakan pengejawantahan dari metode, sedangkan metode merupakan penjabaran asumsi-asumsi dasar dari pendekatan materi al-Islam.
Sementara itu , pendidikan merupakan usaha membimbing dan membina serta bertanggung jawab untuk mengembangkan intelektual pribadi anak didik ke arah kedewasaan dan dapat menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Maka pendidikan Islam adalah sebuah proses dalam membentuk manusia-manusia muslim yang mampu mengembangkan potensi yang dimilikinya untuk mewujudkan dan merealisasikan tugas dan fungsinya sebagai Khalifah Allah SWT., baik kepada Tuhannya, sesama manusia, dan sesama makhluk lainnya. Pendidikan yang dimaksud selalu berdasarkan kepada ajaran Al Qur'an dan Al Hadits. Oleh karena itu, yang dimaksud dengan metodologi pendidikan Islam adalah cara yang dapat ditempuh dalam memudahkan pencapaian tujuan pendidikan Islam[2].
Dalam penggunaan metode pendidikan Islam yang perlu dipahami adalah bagaimana seseorang pendidik dapat memahami hakikat metode dalam relevansinya dengan tujuan utama pendidikan Islam yaitu terbentuknya pribadi yang beriman yang senantiasa siap sedia mengabdi kepada Allah SWT. Tujuan diadakan metode adalah menjadikan proses dan hasil belajar mengajar ajaran Islam lebih berdaya guna dan berhasil guna dan menimbulkan kesadaran peserta didik untuk  mengamalkan ketentuan ajaran islam melalui teknik motivasi yang menimbulkan gairah belajar peserta didik secara mantab. Uraian itu menunjukkan bahwa fungsi metode pandidikan Islam adalah mengarahkan keberhasilan belajar, memberi kemudahan kepada peserta didik untuk belajar berdasarkan minat, serta mendorong usaha kerja sama dalam kegiatan belajar mengajar antara pendidik dengan peserta didik. Di samping itu, dalam uaraian tersebut ditunjukkan bahwa fungsi metode pendidikan adalah memberi inspirasi pada peserta didik melalui proses hubungan yang serasi antara pendidik dan peserta didik.
Tugas utama metode pendidikan Islam adalah mengadakan aplikasi prinsip-prinsip psikologis dan paedagogis sebagai kegiatan antar hubungan pendidikan yang terealisasi  melalui penyampaian keterangan dan pengetahuan agar siswa mengetahui, memahami, menghayati, dan meyakini materi yang diberikan, serta meningkatkan ketrampilan olah pikir.[3]
Dalam penggunaan metode pendidikan Islam yang perlu dipahami adalah bagaimana seorang pendidik dapat memahami hakikat metode dan relevansinya dengan tujuan utama pendidikan Islam, yaitu terbentuknya pribadi yang beriman dan senantiasa siap mengabdi kepada Allah SWT. Di samping itu, pendidik pun perlu memahami metode-metode instruksional yang aktual yang ditujukan dalam Al-Qur’an atau yang didedukasikan dari Al-Qur’an, dan dapat member motivasi dan disiplin atau atau dalam istilah Al-Qur’an disebut dengan pemberian anugerah (tsawab) dan hukuman (‘iqab).[4]
Apabila metode dipandang sebagai alat untuk mencapai tujuan pendidikan, metode mempunyai fungsi ganda, yaitu yang bersifat polipragmatis dan monopragmatis.[5] Polipragmatis bilamana metode menggunakan kegunaan yang serbaganda (multipurpose), misalnya suatu metode tertentu pada suatu situasi-kondisi tertentu dapat digunakan untuk merusak, dan pada kondisi yang lain bisa digunakan membangun dan memperbaiki. Kegunaannya dapat bergantung pada si pemakai atau pada corak, bentuk, dan kemampuan dari metode sebagai alat. Sebaliknya, monopragmatis bilamana metode mengandung implikasi bersifat konsisten, sistematis, dan kebermaknaan menurut kondis sasarannya, mengingat sasaran metode adalah manusia, sehingga pendidik dituntut untuk berhati-hati dalam penerapannya.

B.     Fungsi Metode Pendidikan Islam
Dalam proses pendidikan Islam pendidik tidak hanya dituntut untuk menguasai sejumlah materi yang akan diberikan kepada peserta didiknya, akan tetapi ia harus menguasai berbagai berbagai metode dan teknik pendidikan guna kelangsungan transformasi dan internalisasi mata pelajaran. Hal ini karena metode dan teknik pendidikan Islam tidak sama dengan metode dan teknik pendidikan lainnya.
Fungsi metode secara umum dapat dikemukakan sebagai pemberi jalan atau cara yang sebaik mungkin bagi pelaksanaan operasional dari ilmu pendidikan tersebut. Sedangkan dalam konteks lain metode dapat merupakan sarana untuk menemukan, menguji dan menyusun data yang diperlukan bagi pengembangan disiplin ilmu.[6]
Dari dua pendekatan tersebut dapat dilihat pada intinya metode berfungsi mengantarkan pada suatu tujuan objek sasaran tersebut. Oleh karena itu terdapat suatu prinsip yang umum dalam memfungsikan metode, yaitu suatu prinsip agara pengajaran dapat disampaikan dalam suasana yang menyenangkan, menggembirakan, penuh dorongan dan motivasi, sehingga pelajaran atau materi didikan itu dapat dengan mudah diberikan.
Dalam Al-Qur’an sebagaimana akan dijelaskan di bawah ini, metode dikenal sebagai sarana yang menyampaikan seseorang kepada tujuan penciptaannya sebagai khalifah  di muka bumi dengan melaksanakan pendekatan di mana manusia ditempatkan sebagai makhluk yang memiliki potensi rohaniah dan jasmaniah yang keduanya dapat digunakan saluran penyampaian materi pelajaran. Karenanya terdapat suatu prinsip umum dalam memfungsikan metode, yaitu prinsip agar pengajaran dapat disampaikan dalam suasana menyenangkan, menggembirakan, penuh dorongan, dan motivasi, sehingga pelajaran atau materi didikan itu dapat dengan mudah diberikan. Banyaknya metode yang ditawarkan para ahli sebagaimana dijumpai dalam buku-buku kependidikan lebih merupakan usaha mempermudah atau mencari jalan paling sesuai dengan perkembangan jiwa anak dalam menerima pelajaran.

C.     Asas-asas Metode Pendidikan Islam
Asas-asas pelaksanaan metode pendidikan Islam pada dasarnya dapat diformulasikan sebagai berikut :[7]
1.       Asas Motivasi
Pendidik harus berusaha membangkitkan minat peserta didiknya sehingga seluruh perhatian mereka tertuju dan terpusat pada bahan pelajaran yang sedang disajikan. Asas ini dapat diupayakan melalui pengajaran dengan cara yang menarik sesuai dengan tingkat perkembangan peserta didik, mengadakan selingan yang sehat, menggunakan alat-alat perasa yang sesuai dengan sifat materi, menghindari pengaruh yang menganggu konsentrasi peserta didik, dab juga mengadakan kompetisi sehat dengan memberikan hadiah hukuman yang bijaksana.
2.      Asas aktivitas
Dalam proses belajar mengajar pendidikan peserta didik harus diberikan kesempatan untuk mengambil bagian yang aktif, baik rohani maupun jasmani, terhadap pengajaran yang akan diberikan, secara individual maupun kolektif. Asas aktivitas dapat diupayakan dengan aktivitas jasmani berupa penelitian, eksperimen, pembuatan konstruksi model, cocok tanam, atau juga dengan aktivitas rohani berupa ketekunan dalam mengikuti pelajaran, mengamati secara cermat, berpikir untuk memecahkan masalah dan tergugah perasaannya, serta berkemauan keras untuk mendapatkan hasil belajar yang maksimal. Allah SWT, berfirman : “ Dan bahwasanya seseorang tiada memperoleh selain apa yang telahh diusahakannya, dan bahwasanya usaha itu kelak akan diperlihatkan, kemudian akan diberi balasan kepadanya degan balasan yang paling sempurna”( QS.An-Najm: 39-41).
3.       Asas Apersepsi
Apersepsi adalah gejala jiwa yang dialami jika kesan baru masuk kedalam kesadaran seseorang yang berjalin dengan kesan-kesan lama yang sudah dimiliki disertai proses pengelolaan, sehungga menjadi kesan yang lebih luas. Asas ini bertujuan menghubungkan bahan pelajaran yang akan diberikan dengan apa yang telah dikenal oleh peserta didik.
4.       Asas Peragaan
Dalam asas ini, pendidik memberikan variasi dalam cara-cara mengajar dengan mewujudkan bahan-bahan yang diajarkan secara nyata, baik dalam bentuk aslinya maupun tiruan (model-model), sehingga peserta didik dapat mengamati dengan jelas dan pengajaran lebih tertuju untuk mencapai hasil yang diinginkan.
Asas ini diupayakan melalui penggunaan brbagai macam alat peraga secara wajar, yaitu dengan memeragakan pelajaran dengan percobaan, bulletin board, poster serta menyelanggarakan karyawisata dan mengadakan sandiwara, pantonim, dan drama. Nabi SAW sering memeragakan sewaktu mengajarkan materi pada umat-umatnya, seperti yang dikenal dengan “sunnah fi’liyah”. Dan dalam pepatah Arab dikatakan : “Tindakan itu lebih baik dari ucapan”. Seperti sabda Nabi SAW :
صَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمُوْ نِى أُصَلِّى
“Sahalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat”
(HR. Al-Bukhari)

5.       Asas Ulangan
Asas yang merupakan usaha untuk mengetahui taraf kemajuan atau keberhasilan belajar peserta didik dalam aspek pengetahuan, ketrampilan, serta sikap setelah mengikuti pengajaran sebelumnya. Hal ini karena penguasaan pengetahuan mudah terlupakan oleh peserta didik apabila dialami hanya sekali atau diingat setengah-setengah. Oleh karena itu, pengetahuan yang sering diulang-ulang menjadi pengetahuan yang  berkesan dalam ingatan dan dapat difungsikan dengan baik. Asas ini dapat melalui okasional, yaitu diberikan secara teratur, kontinu, dan terencana.
Oleh karena itu, Allah SWT sering mengingatkan agar manusia selalu mengulangi ibadah tanpa ada akhirnya sehingga mendatangkan suatu kebenaran. Firman-Nya : “Dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini” (QS. Al-Hijr : 99). “Maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam” (QS. Al-Baqarah : 132).

6.       Asas Korelasi
Proses belajar mengajar secar menyelurh yang mencakup berbagai dimensi yang kompleks dan saling berhubungan. Oleh sebab itu, dalam setiap pengajaran pendidik harus menghubungkan suatu bahann pelajaran dengan pelajaran yang lain, sehingga membentuk mata rantai yang erat. Asas korelasi akan menimbulkan asosiasi dan arsepsi dalam kesadaran dan sekaligus membangkitkan minat peserta didik terhadap mata pelajaran..
 Firman Allah SWT yang menganjurkan untuk mengorelasikan sesuatu pada sesuatu yang lain, misalnya :
“Maka tidaklah mereka bepergian dimuka bumi lalu melihat bagaiman kesudahan orang-orang sebelum mereka, dan sesungguhnya kamoung akhirat lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa, maka tidaklah kamii memikirkannya”. (QS. Yusuf : 109)

7.       Asas Konsentrasi
Asas yang memfokuskan pada suatu pokok masalh tertentu dari keseluruhan bahan pelajaran untuk melaksanakan tujuan pendidikan serta memerhatikan peserta didik dalam segala aspeknya. Asas ini dapat diupayakan dengan memberikan masalah yang menarik seperti masalah yang baru muncul. Firman Allah SWT :
“Maka apabila kamu telah selesai (dari suatu urusan), kerjankanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain”. (QS. An-Inshirah : 7)

8.       Asas Individu
Asas yang memerhatikan perbedan-perbedaan individu, baik pembawaan dan lingkungan yang meliputi seluruh pribadi peserta didik. Aplikasi asas ini adalah pendidik dapat mempelajari pribadi setiap peserta didik, terutama tentang kepandaian, kelebihan, kekurangan, dan memberi tugas sebatas dengan kemampuannya.
Firman Allah SWT : “Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan oleh Allah kepada sebagian kamu yang lebih banyakdari sebagian yang lain.” (QS. An-Nisa’: 32)

9.       Asas Sosialisasi
Asas yang memerhatikan penciptaan suasana sosial yang dapat membangkitkan semangat kerja sama antara peserta didik dengan pendidik atau sesame peserta didik dan masyarakat sekitarnya. Dalam menerima pelajaran agar lebih berdaya guna, seperti mengadakan karyawisata. Dalam hal ini, Rasulullah SAW bersabda : “Sebaik-baiknya manusia adalah mereka yang paling banyak manfaatnya terhadap manusia lain.”(Al-Hadis)

10.   Asas Evaluasi
Asas yang memerhatikan hasil dari penilaian terhadap kemampuan yang dimiliki peserta didik sebagai feedback pendidik dalam memperbaiki cara mengajar. Asas evaluasi tidak hanya diperuntukan bagi peserta didik, akan tetapi juga bagi pendidik, yaitu sejauh mana keberhasilannya dalam menunaikan tugasnya.

11.  Asas Kebebasan
Asas yang memberikan keluasaan keinginan dan tindakan bagi peserta didik dengan dibatasi atas kebebasan yang mengacau pada hal-hal yang positif. Asas ini menyarankan membuat keputusan-keputusan tentang tindakan seseorang didasarkan pada ukuran kebajikan, dan mampu membuat pilihan berdasarkan nilai-nilai pribadi, serta adanya pengarahan diri sehingga sistem control diri berkembang.

12.   Asas Lingkungan
Asas yang menentukan metode dengan berpijak pada pengaruh lingkungan. Walaupun peserta didik lahir dengan berbekal pembawaan yang masih bersifat umum. Sehingga pembawaan dan lingkungan bukanlah hal yang tidak bersatu, akan tetapi saling membutuhkan mengingat pembawaan itu.

13.   Asas Globalisasi
Asas sebagai akibat pengaruh psikologi totalitas, yaitu bereaksi terhadap lingkungan secara keseluruhan, tidak hanya secara intelektual, tetapi juga secara fisik, sosial, dan sebagainya.

14.   Asas Pusat-pusat Minat
Asas yang memerhatikan kecenderungan jiwa yang tetap kejurusan suatu hal yang berharga bagi seseorang. Sesuatu berharga apabila sesuai dengan kebutuhan. Pelaksanaan asas pusat-pusat minat dalam Islam dengan ruang lingkupnya terdiri atas bahan hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesama, dan manusia terhadap alam semesta.

15.   Asas Keteladanan
Pada fase-fase tertentu, memiliki kecenderungan belajar lewat peniruan terhadap kebiasaan dan tingkah laku orang sekitarnya. Misalnya kisah Qabil dalam mengebumikan Habil (adik yang telah dibunuhnya) meniru contoh yang diberikan oleh burung gagak dalam mengubur gagak yang lain, dimana penguburan gagak tersebut merupakan ilham dari Allah SWT.

16.   Asas Pembiasaan
Asas yang memerhatikan kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan peserta didik. Pembiasaan merupakan upaya praktis dalam pembinaan dan pembentukan peserta didik. Upaya pembiasaan sendiri dilakukan mengingat manusia mempunyai sifat lupa dan lemah.

D.    Pendekatan Metode Pendidikan Islam
Perwujudan strategi pendidikan Islam dapat dikonfigurasikan dalam bentuk metode pendidikan yang lebih luasnya mencakup pendekatan (approach)-nya. Pendekatan-pendekatan metode pendidikan Islam ada enam kategori yaitu sebagai berikut :
1.       Pendekatan Tilawah (Pengajaran)
Pendekatan tilawah meliputi membacakan ayat-ayat Allah yang bertujuan memandang fenomena alam sebagai ayat-Nya, mempunyai keyakinan bahwa semua ciptaan Allah yang memiliki keteraturan yang bersumber dari Rabb al-‘alamin, serta memandang bahwa segala yang ada tidak diciptakan-Nya secara sia-sia belaka. Bentuk tilawah mempunyai indikasi tafakkur (berpikir) dan tadzakur (berdzikir).

2.       Pendekatan Takziyah (Penyucian)
Menyucikan diri dengan upaya amar ma’ruf dan nahi munkar (tindakan proaktif dan tindakan reaktif). Pendekatan ini bertujuan untuk memlihara dan mengembangkan akhlak yang baik, menolak dan menjauhi akhlak tercela, berperan serta dalam memelihara kesucian lingkungannya.

3.       Pendekatan Ta’lim Al-Kitab
Mengajarkan Al-Kitab (Al-Qur’an) dengan menjelaskan hukum halal dan haram. Pendekatan ini bertujuan untuk membaca, memahami, dan merenungkan Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai keterangan. Pendekatan ini bukan hanya memahami fakta, tetapi juga makna dibalik fata, sehingga dapat menafsirkan informasi secara kreatif dan produktif.

4.       Pendekatan Ta’lim Al-Hikmah
Pendekatan ini hampir sama dengan pendekatan ta’lim al-kitab, hanya saja bobot dan proposi serta frekuensinya diperluas dan diperbesar. Indikator utama pendekatan ini adalah mengadakan perenungan, reinovasi, dan interpretasi terhadap pendekatan ta’lim al- Kitab.

5.       Yu’allim-kum ma lam takunu ta’lamun
Suatu pendekatan yang mengajarkan suatu hal yang memang benar-benar asing dan belum diketahui, sehingga pendekatan ini membawa pada suatu alam pemikiran yang benar-benar luar biasa. Pendekatan ini mungkin hanya dapat dinikmati oleh nabi dan rasul saja, seperti mukjizat. 

6.       Pendekatan Ishlah (Perbaikan)
Pelepasan beban dan belenggu-belenggu yang bertujuan memiliki kepekaan terhadap penderitaan orang lain, sanggup menganalisis kepincangan-kepincangan yang lemah, memiliki komitmen memihak bagi kaum yang tertindas, dan berupaya menjembatani perbedaan paham..

E.      Prinsip-prinsip Metode Pendidikan Islam
Metode pendidikan Islam harus digunakan dengan memperhatikan prinsip-prinsip yang mampu memberikan pengarahan dan petunjuk tentang pelaksanaan metode penddikan tersebut sebab dengan prinsip-prinsip ini diharapkan metode pendidikan Islam dapat berfungsi lebih efektif dan efisien dan tidak menyimpang dari tujuan semula dari pendidikan Islam. Oleh karena itu, seorang pendidik perlu memperhatikan prinsip-prinsip metode pendidikan, sehingga mampu menerapkan metode yang tepat dan cocok sesuai dengan kebutuhannya. Prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai berikut : 

1.      Prinsip Mempermudah
Metode pendidikan yang digunakan oleh pendidik pada dasarnya adalah menggunakan suatu cara yang memberikan kemudahan bagi peserta didik untuk menghayati dan mengamalkan ilmu pengetahuan, keterampilan dan sekaligus mengidentifikasi dirinya dengan nilai-nilai yang terdapat dalm ilmu pengetahuan dan ketreampilan tersebut sehingga metode yang digunakan haruslah mampu membuat peserta didik untuk merasa mudah menguasai ilmu pengetahuan dan keterampilan itu. Inilah barangkali yang perlu dipahami oleh seorang pendidik. Pendidik tidak harus menggunakan metode yang muluk-muluk sementara materi yang disampaikan tidak mampu diserap oleh peserta didik. Bagaimana peserta didik akan mengaktualisasikan nilai-nilai materi tersebut, sementara materinya itu sendiri belum dapat dipahami dan dikuasai oleh peserta didik.[8] 


2.       Berkesinambungan
Berkesinambungan dijadikan sebagai prinsip metode pendidikan Islam, karena dengan asumsi bahwa pendidikan Islam adalah sebuah proses yang akan berlangsung terus menerus, sehingga dalam menggunakan metode pendidikan seorang pendidik perlu memperhatikan kesinambungan pelaksanaan pemberikan materi. Jangan hanya karena mengejar target kurikulum seorang pendidik menggunakan metode yang efektif yang pada gilirannya akan memberikan pengaruh yang negatif pada peserta didik karena peserta didik merasa dibohongi oleh pedidik.

3.       Fleksibel dan Dinamis
Metode pendidikan Islam harus digunakan dengan prinsip fleksibel dan dinamis, sebab dengan kelenturan dan kedinamisan metode tersebut, pemakaian metode tidak hanya monoton dan zaklik dengan satu macam metode saja. Seorang pendidik mampu memilih salah satu dari berbagai alternatif yang ditawarkan oleh para pakar yang dianggapnya cocok dan prasarana, situasi dan kondisi lingkungan, serta suasana pada waktu itu. Dan prinsip kedinamisan ini berkaitan erat dengan prinsip berkesinambungan, karena dalam kesinambungan tersebut metode pendidikan Islam akan selalu dinamis bila disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ada.


BAB III



A.    KESIMPULAN
Dalam penggunaan metode pendidikan Islam yang perlu dipahami adalah bagaimana seseorang pendidik dapat memahami hakikat metode dalam relevansinya dengan tujuan utama pendidikan Islam yaitu terbentuknya pribadi yang beriman yang senantiasa siap sedia mengabdi kepada Allah SWT. Pada intinya metode berfungsi mengantarkan pada suatu tujuan objek sasaran tersebut. Oleh karena itu terdapat suatu prinsip yang umum dalam memfungsikan metode, yaitu suatu prinsip agar pengajaran dapat disampaikan dalam suasana yang menyenangkan, menggembirakan, penuh dorongan dan motivasi, sehingga pelajaran atau materi didikan itu dapat dengan mudah diberikan.
Adapun asas metode pendidikan Islam yaitu sebagai berikut : Asas Motivas, aktivitas, Apersepsi, Peragaan, Ulangan, Korelasi, Konsentrasi, Individu, Sosialisasi, Evaluasi, Kebebasan, Lingkungan, Globalisasi, Pusat-pusat Minat, Keteladanan, Pembiasaan. Pendekatan metode pendidikan Islam terbagi menjadi beberapa bagian yaitu Pendeketan Tilawah (Pengajaran)m, Takziyah (Penyucian), Ta’lim Al-Kitab, Ta’lim Al-Hikmah, Yu’allim-kum ma lam takunu ta’lamun, Ishlah (Perbaikan).
Metode pendidikan Islam sangat memperhatikan prinsip-prinsipnya karenamampu memberikan pengarahan dan petunjuk tentang pelaksanaan metode penddikan tersebut. Prinsipny juga berkesinambungan, mempermudah, fleksibel serta dinamis.

B.     PENUTUP
Demikian makalah yang dapat kami susun dan kami sangat menyadari Smakalah ini jauh dari kesempurnaan maka kritik dan saran yang membangun demi perbaikan dan pengembangan sangat kami harapkan. Dan semoga ini   dapat menambah    pengetahuan kita dan bermanfaat. Amin.





DAFTAR PUSTAKA

Abdullah Mujib,  Ilmu  Pendidikan Islam, Jakarta : Fajar Inter Pratama Uffset, 2008.
Abd Rahman Shaleh, Teori-teori Pendidikan Berdasarkan Al-Qur’an,terj.Arifin HM, judul
asli: Educational Theory a Qur’anic Outlook, Jakarta : Rineka Cipta, 1991.
Arief Armai, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, Jakarta : Ciputat Press,2002.
Arifin HM, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta : Bina Aksara, 1987.
H. Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005.
Imansjah Alipandie, Didaktik Metodik Pendidikan Umum, Surabaya : Usaha Nasional, 1984.
Mujib, Abdul, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta : Kencana Prenada Media, 2010.
Muzayyin, Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta : PT. Bumi Aksara, 2010.
Omar Muhammad al-Thaumi al-Syaibani, Falsafah Pendidikan Islam, ter. Arifin Langgulung Jakarta: Bulan Bintang, 1979.
Prof. DR. H. Rama Yulis, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta : Kalam Mulia, 2002.
Prof. H. M. Arifin, M.Ed, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta : Bumi Aksara, 1996.
Ramayulis, Metodologi Pengajaran Agama Islam, Jakarta : Kalam Mulia, 1990.
Sudiyono, HM, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta : PT. Rineka Cipta, 2009.
Tim Depag RI, Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam, Jakarta : DPPTAI,1981.
Umar, Bukhari, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta : Sinar Grafika Offset, 2010

[1] Omar Muhammad al-Thaumi al-Syaibani, Falsafah Pendidikan Islam, ter. Arifin Langgulung (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), hlm. 551-552.
[2]  Arief Armai, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam (Jakarta : Ciputat Press, 2002), hlm.41.
[3] Abdullah Mujib,  Ilmu  Pendidikan Islam (Jakarta : Fajar Inter Pratama Uffset, 2008), hlm. 167.
[4] Abd Rahman Shaleh ‘Abd Allah, Teori-teori Pendidikan Berdasarkan Al-Qur’an,terj.Arifin HM, judul asli: Educational Theory, a Qur’anic Outlook, (Jakarta:Rineka Cipta, 1991), hlm. 198.   
[5] Arifin HM, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta:Bina Aksara, 1987), hlm. 97-98.
[6] H. Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005), hal. 146
[7] Tim Depag RI, Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam, (Jakarta: DPPTAI,1981), hlm. 97-105. Ramayulis, Metodologi Pengajaran Agama Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 1990), hlm. 96-110. Imansjah Alipandie, Didaktik Metodik Pendidikan Umum, (Surabya: Usaha Nasional, 1984), hlm. 16-41.
[8] Prof. DR. H. Rama Yulis, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta, Kalam Mulia. 2002), hlm. 162. Lihat juga Prof. H. M. Arifin, M.Ed, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), h. 199-201.

NOVEL "JERUK MAKAN JERUK "

Pagi duniaku, Suasana pagi yang sejuk bagi seorang pemuda yang mencoba menjadi seorang pendidik di sebuah lembaga MTs dipedalaman desa...