BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah
Masa sebelum
Islam, khususnya kawasan jazirah Arab, disebut masa jahiliyyah. Julukan semacam
ini terlahir disebabkan oleh terbelakangnya moral masyarakat Arab khususnya
Arab pedalaman (badui) yang hidup menyatu dengan padang pasir dan area tanah
yang gersang. Mereka pada umumnya hidup berkabilah. Mereka berada dalam
lingkungan miskin pengetahuan. Situasi yang penuh dengan kegelapan dan
kebodohan tersebut, mengakibatkan mereka sesat jalan, tidak menemukan
nilai-nilai kemanusiaan, membunuh anak dengan dalih kemuliaan, memusnahkan
kekayaan dengan perjudian, membangkitkan peperangan dengan alasan harga diri
dan kepahlawanan. Suasana semacam ini terus berlangsung hingga datang Islam di
tengah-tengah mereka.
Namun demikian, bukan berarti masyarakat Arab pada waktu itu sama sekali
tidak memiliki peradaban. Bangsa Arab sebelum lahirnya Islam dikenal sebagai
bangsa yang sudah memiliki kemajuan ekonomi. Makkah misalnya pada waktu itu merupakan kota dagang bertaraf internasional. Hal ini
diuntungkan oleh posisinya yang sangat strategis karena terletak di
persimpangan jalan penghubung jalur perdagangan dan jaringan bisnis dari Yaman
ke Syiria.
Rentetan peristiwa yang melatar
belakangi lahirnya Islam merupakan hal yang sangat penting untuk dikaji. Hal
demikian karena tidak ada satu pun peristiwa di dunia yang terlepas dari
konteks historis dengan peristiwa-peristiwa sebelumnya. Artinya, antara satu
peristiwa dengan peristiwa lainnya terdapat hubungan yang erat dalam berbagai
aspek kehidupan, termasuk hubungan Islam dengan situasi dan kondisi Arab pra
Islam.
B.
Rumusan Masalah
Bagaimana keadaan sosial, kebudayaan, ekonomi, politik, agama dan bangsa
Arab sebelum islam ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Keadaan sosial dan budaya bangsa
Arab sebelum Islam
Masyarakat Arab terbagi menjadi
dua kelompok besar, yaitu penduduk kota (Hadhary) dan penduduk gurun (Badui).
Penduduk kota bertempat tinggal tetap. Mereka telah mengenal tata cara
mengelola tanah pertanian dan telah mengenal tata cara perdagangan. Bahkan
hubungan perdagangan mereka telah sampai ke luar negeri. Hal ini menunjukkan
bahwa mereka telah memiliki peradaban cukup tinggi.
Sementara masyarakat Badui
hidupnya berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya guna mencari air
dan padang rumput untuk binatang gembalaan mereka[1]. Di antara kebiasaan mereka adalah
mengendarai unta, mengembala domba dan keledai, berburu serta menyerang musuh.
Kebiasaan ini menurut adat mereka adalah pekerjaan yang lebih pantas dilakukan
oleh laki-laki. Oleh karena itu, mereka belum mengenal pertanian dan
perdagangan. Karenanya, mereka hidup berpindah dari satu tempat ke tempat lain
untuk mencari kehidupan, baik untuk diri dan keluarga mereka atau untuk
binatang ternak mereka. Dalam perjalanan pengembaraan itu, terkadang mereka
menyerang musuh atau menghadapi serangan musuh. Di sinilah terjadi kebiasaan
berperang di antara suku-suku yang ada di wilayah Arabia.
Ketika mereka diserang musuh maka
suku yang bersekutu dengan mereka biasanya ikut membantu dan rela mengorbankan
apa saja untuk membantu kawan sekutunya itu. Di sinilah dapat kita lihat adanya
unsur kesetiakawanan yang ada di antara mereka. Selain itu, manakala seorang
anggota suku diserang oleh suku lain maka seluruh anggota wajib membela
anggotanya meskipun anggotanya itu salah. Mereka tidak melihat kesalahan ada di
pihak mana. Hal penting yang mereka lakukan adalah membela sesama anggota suku.
Itulah yang dapat kita lihat dari sikap fanatisme dan patriotisme yang ada di
dalam kehidupan masyarakat Badui.
Tidak dapat dipungkiri bahwa
kondisi geografis Arab sangat besar pengaruhnya terhadap kejiwaan
masyarakatnya. Arab sebagai wilayah tandus dan gersang telah menyelamatkan
masyarakatnya dari serangan musuh-musuh luar. Pada sisi lainnya, kegersangan
ini mendorong mereka menjadi pengembara-pengembara dan pedagang daerah lain.
Keluasan dan kebebasan kehidupan mereka di padang pasir juga menimbulkan semangat
kebebasan dan individualisme dalam pribadi mereka. Kecintaan mereka terhadap
kebebasan ini menyebabkan mereka tidak pernah dijajah bangsa lain.
Kondisi kehidupan Arab menjelang
kelahiran Islam secara umum dikenal dengan sebutan zaman jahiliyah. Hal ini
dikarenakan kondisi sosial politik dan keagamaan masyarakat Arab saat itu. Hal
itu disebabkan karena dalam waktu yang lama, masyarakat Arab tidak memiliki
nabi, kitab suci, ideologi agama dan tokoh besar yang membimbing mereka. Mereka
tidak mempunyai sistem pemerintahan yang ideal dan tidak mengindahkan
nilai-nilai moral. Pada saat itu, tingkat keberagamaan mereka tidak berbeda
jauh dengan masyarakat primitif.
Sesungguhnya sejak zaman
jahiliyah, masyarakat Arab memiliki berbagai sifat dan karakter yang positif,
seperti sifat pemberani, ketahanan fisik yang prima, daya ingat yang kuat,
kesadaran akan harga diri dan martabat, cinta kebebasan, setia terhadap suku
dan pemimpin, pola kehidupan yang sederhana, ramah tamah, mahir dalam bersyair
dan sebagainya. Namun sifat-sifat dan karakter yang baik tersebut seakan tidak
ada artinya karena suatu kondisi yang menyelimuti kehidupan mereka, yakni
ketidakadilan, kejahatan, dan keyakinan terhadap tahayul.
Pada masa itu, kaum wanita
menempati kedudukan yang sangat rendah sepanjang sejarah umat manusia.
Masyarakat Arab pra Islam memandang wanita ibarat binatang piaraan bahkan lebih
hina lagi. Karena para wanita sama sekali tidak mendapatkan penghormatan sosial
dan tidak memiliki apapun. Kaum laki-laki dapat saja mengawini wanita sesuka
hatinya dan menceraikan mereka semaunya. Bahkan ada suku yang memiliki tradisi
yang sangat buruk, yaitu suka mengubur anak perempuan mereka hidup-hidup.
Mereka merasa terhina memiliki anak-anak perempuan. Muka mereka akan memerah
bila mendengar isteri mereka melahirkan anak perempuan. Perbuatan itu mereka
lakukan karena mereka merasa malu dan khawatir anak perempuannya akan membawa
kemiskinan dan kesengsaraan dan kehinaan.
Selain itu, sistem perbudakan
juga merajalela. Budak diperlakukan majikannya secara tidak manusiawi. Mereka
tidak mendapatkan kebebasan untuk hidup layaknya manusia merdeka. Bahkan para
majikannya tidak jarang menyiksa dan memperlakukan para budak seperti binatang
dan barang dagangan, dijual atau dibunu
Secara garis besar kehidupan
sosial masyarakat Arab secara keseluruhan dan masyarakat kota Mekkah secara
khusus benar-benar berada dalam kehidupan sosial yang tidak benar atau
jahiliyah. Akhlak mereka sangat rendah, tidak memiliki sifat-sifat
perikemanusiaan dan sebagainya. Dalam situasi inilah agama Islam lahir di kota
Mekkah dengan diutusnya Muhammad saw. sebagai nabi dan rasul Allah.
Secara singkat dapat disimpulkan
keaadaan sosial dan kebudayaan bangsa Arab sebelum islam diantaranya:
1.
Orang-orang Arab sebelum kedatangan Islam adalah orang-orang yang
menyekutukan Allah (musyrikin), yaitu mereka menyembah patung-patung dan
menganggap patung-patung itu suci.
2.
Kebiasaan mereka ialah membunuh anak perempuan mereka karena takut
kemiskinan dan kelaparan.
3.
Mereka menguburkan anak-anak perempuan mereka hidup-hidup karena takut malu
dan celaan.
4.
Mereka orang-orang yang suka berselisihan, yang suka bertengkar, lantaran
sebab-sebab kecil, sebab segolongan dari mereka memerangi akan segolongannya.
B.
Keadaan ekonomi Bangsa Arab
sebelum Islam
Perdagangan merupakan unsur
penting dalam perekonomian masyarakat Arab pra Islam. Makkah misalnya, karena
letak geografisnya yang sangat strategis maka ia menjadi tempat persinggahan
para kafilah dagang yang datang dan pergi menuju pusat perniagaan[2]. Mereka berdagang bukan saja dengan orang
Arab, tetapi juga dengan non-Arab. Kemajuan perdagangan bangsa Arab pra Islam
dimungkinkan antara lain karena pertanian yang telah maju. Kemajuan ini
ditandai dengan adanya kegiatan ekspor-impor yang mereka lakukan. Para pedagang
Arab selatan dan Yaman pada 200 tahun menjelang Islam lahir telah mengadakan
transaksi dengan Hindia, Afrika, dan Persia. Komoditas ekspor Arab selatan dan
Yaman adalah dupa, kemenyan, kayu gaharu, minyak wangi, kulit binatang, buah
kismis, dan anggur. Sedangkan yang mereka impor dari Afrika adalah kayu, logam,
budak; dari Hindia adalah gading, sutra, pakaian dan pedang; dari Persia adalah
intan. Data ini menunjukkan bahwa perdagangan merupakan urat nadi perekonomian
yang sangat penting sehingga kebijakan politik yang dilakukan memang dalam
rangka mengamankan jalur perdagangan ini.
Faktor-faktor yang mendorong
kemajuan perdagangan Arab sebelum Islam sebagaimana dikemukakan Burhan al-Din
Dallu adalah sebagai berikut:
1.
Kemajuan produksi lokal serta kemajuan aspek pertanian.
2.
Adanya anggapan bahwa pedagang merupakan profesi yang paling bergengsi.
3.
Terjalinnya suku-suku ke dalam politik dan perjanjian perdagangan lokal
maupun regional antara pembesar Hijaz di satu pihak dengan penguasa Syam,
Persia dan Ethiopia di pihak lain.
4.
Letak geografis Hijaz yang sangat
strategis di jazirah Arab.
5.
Mundurnya perekonomian dua imperium
besar, Byzantium dan Sasaniah, karena keduanya terlibat peperangan
terus menerus.
6.
Jatuhnya Arab selatan dan Yaman
secara politis ke tangan orang Ethiopia pada tahun 535 Masehi dan kemudian ke
tangan Persia pada tahun 257 M.
7.
Dibangunnya pasar lokal dan pasa
musiman di Hijaz, seperti Ukaz, Majna, Zu al-Majaz, pasar bani Qainuna, Dumat
al-Jandal, Yamamah dan pasar Wahat.
8.
Terblokadenya lalu lintas
perdagangan Byzantium di utara Hijaz dan laut merah[3].
Data-data yang
dikemukakan Dallu menunjukkan bahwa antara ekonomi dan politik tidak dapat
dipisahkan dalam konteks kehidupan masyarakat Arab pra Islam. Kehidupan politik
Byzantium dan Sasaniah turut memberikan sumbangan dalam memajukan proses
perdagangan yang berlangsung di Hijaz, karena kedua kerajaan ini sangat
berkepentingan terhadap jalur perdagangan ini.
Di lain sisi, Mekkah
di mana terdapat ka’bah yang pada waktu itu sebagai pusat kegiatan Agama, telah
menjadi jalur perdagangan internasional. Hal ini diuntungkan oleh posisinya
yang sangat strategis karena terletak di persimpangan jalan yang menghubungkan
jalur perdagangan dan jaringan bisnis dari Yaman ke Syiria, dari Abysinia ke
Irak. Pada mulanya Mekkah didirikan sebagai pusat perdagangan lokal di samping
juga pusat kegiatan agama. Karena Mekkah merupakan tempat suci, maka para
pengunjung merasa terjamin keamanan jiwanya dan mereka harus menghentikan segala
permusuhan selama masih berada di daerah tersebut. Untuk menjamin keamanan
dalam perjalanan suatu sistem keamanan di bulan-bulan suci, ditetapkan oleh
suku-suku yang ada di sekitarnya. Keberhasilan sistem ini mengakibatkan
berkembangnya perdagangan yang pada gilirannya menyebabkan munculnya
tempat-tempat perdagangan baru.
Dengan posisi Mekkah
yang sangat strategis sebagai pusat perdagangan bertaraf internasional,
komoditas-komoditas yang diperdagangkan tentu saja barang-barang mewah seperti
emas, perak, sutra, rempah-rempah, minyak wangi, kemenyan, dan lain-lain.
Walaupun kenyataan yang tidak dapat dipungkiri adalah pada mulanya para
pedagang Quraish merupakan pedagang eceran, tetapi dalam perkembangan
selanjutnya orang-orang Mekkah memperoleh kesuksesan yang besar, sehingga
mereka menjadi pengusaha di berbagai bidang bisnis.
C.
Keadaan politik bangsa Arab sebelum Islam
Sebagaimana telah disinggung di
atas bahwa sebagian besar daerah Arab adalah daerah gersang dan tandus, kecuali
daerah Yaman yang terkenal subur. Ditambah lagi dengan kenyataan luasnya daerah
di tengah Jazirah Arab, bengisnya alam, sulitnya transportasi,
dan merajalelanya badui yang merupakan faktor-faktor penghalang bagi
terbentuknya sebuah negara kesatuan serta adanya tatanan politik yang benar.
Mereka tidak mungkin menetap. Mereka hanya bisa loyal ke kabilahnya saja. Oleh
karena itu, mereka tidak akan tunduk ke sebuah kekuatan politik di luar
kabilahnya yang menjadikan mereka tidak mengenal konsep negara.
Sementara menurut Nicholson,
tidak terbentuknya Negara dalam struktur masyarakat Arab pra Islam, disebabkan
karena konstitusi kesukuan tidak tertulis[4]. Sehingga pemimpin tidak mempunyai hak
memerintah dan menjatuhkan hukuman pada anggotanya. Namun dalam bidang
perdagangan, peran pemimpin suku sangat kuat. Hal ini tercermin dalam
perjanjian-perjanjian perdagangan yang pernah dibuat antara pemimpin suku di
Mekkah dengan penguasa Yaman, Yamamah, Tamim, Ghassaniah, Hirah, Suriah, dab
Ethiopia.
Model organisasi politik bangsa
Arab lebih didominasi kesukuan (model kabilah). Kepala sukunya disebut Shaikh, yakni
seorang pemimpin yang dipilih antara sesama anggota. Shaikh
dipilih dari suku yang lebih tua, biasanya dari anggota yang masih memiliki
hubungan famili.Shaikh tidak berwenang memaksa, serta tidak dapat
membebankan tugas-tugas atau mengenakan hukuman-hukuman. Hak dan kewajiban
hanya melekat pada warga suku secara individual, serta tidak mengikat pada
warga suku lain.
D.
Keadaan agama bangsa Arab sebelum
Islam
Sebelum kedatangan Islam di arab
terdapat berbagai agama diantara ada yang beragama Yahudi, kristen dimana
mayoritas penganut agama Yahudi tersebut pandai bercocok tanam dan membuat
alat-alat dari besi seperti perhiasan dan persenjataan[5].
Penduduk Arab menganut agama yang
bermacam-macam. Paganisme, Yahudi, dan Kristen merupakan ragam agama orang Arab
pra Islam. Pagan adalah agama mayoritas mereka. Ratusan berhala dengan
bermacam-macam bentuk ada di sekitar Ka’bah. Setidaknya ada empat sebutan bagi
berhala-berhala itu: sanam, wathan, nusub, dan hubal. Sanam berbentuk manusia
dibuat dari logam atau kayu. Wathan juga dibuat dari batu. Nusub adalah batu
karang tanpa suatu bentuk tertentu. Hubal berbentuk manusia yang dibuat dari
batu akik. Dialah dewa orang Arab yang paling besar dan diletakkan dalam Ka’bah
di Mekah. Orang-orang dari semua penjuru jazirah datang
berziarah ke tempat itu. Beberapa kabilah melakukan cara-cara ibadahnya
sendiri-sendiri. Ini membuktikan bahwa paganisme sudah berumur ribuan tahun.
Sejak berabad-abad penyembahan patung berhala tetap tidak terusik, baik pada
masa kehadiran permukiman Yahudi maupun upaya-upaya kristenisasi yang muncul di
Syiria dan Mesir.
Agama Yahudi dianut oleh para
imigran yang bermukim di Yathrib dan Yaman. Tidak banyak data sejarah tentang
pemeluk dan kejadian penting agama ini di Jazirah Arab,
kecuali di Yaman. Dzū Nuwās merupakan penguasa Yaman yang condong ke
Yahudi. Dia tidak menyukai penyembahan berhala yang telah menimpa bangsanya.
Dia meminta penduduk Najran agar masuk agama Yahudi. sehingga kalau mereka
menolak, maka akan dibunuh. Namun yang terjadi justru menolak, maka digalilah
sebuah parit dan dipasang api di dalamnya. Mereka dimasukkan ke dalam parit
itu, serta dibunuh dengan pedang atau dilukai sampai cacat bagi yang selamat
dari api tersebut. Korban pembunuhan itu mencapai dua puluh ribu orang. Tragedi
berdarah dengan motif fanatisme agama ini diabadikan dalam al-Quran dalam kisah
“orang-orang yang membuat parit” (Ashab al-Ukhdud). Sedangkan Agama
Kristen di jazirahArab dan sekitarnya sebelum kedatangan Islam
tidak ternodai oleh tragedi yang mengerikan semacam itu. Yang tampak hanyalah
pertikaian di antara sekte-sekte Kristen. Menurut Muhammad ‘Abid al-Jabiri,
al-Quran menggunakan istilah “Nasara” bukan “al-Masihiyah” dan “al-Masihi”
bagi pemeluk agama Kristen. Bagi pendeta Kristen resmi (Katolik, Ortodoks, dan
Evangelis) istilah “Nasara” adalah sekte sesat, tetapi bagi ulama Islam
mereka adalah “Hawariyun”. Para misionaris Kristen menyebarkan
doktrinnya dengan bahasa Yunani yang waktu itu madhab-madhab filsafat dan
aliran-aliran gnostik dan hermes menyerbu daerah itu. Inilah yang menimbulkan
pertentangan antara misionaris dan pemikir Yunani yang memunculkan usaha-usaha
mendamaikan antara filsafat Yunani yang bertumpu pada akal dan doktrin Kristen
yang bertumpu pada iman. Inilah yang melahirkan sekte-sekte Kristen yang
kemudian menyebar ke berbagai penjuru, termasuk jazirah Arab dan sekitarnya.
Sekte Arius menyebar di bagian selatan jazirah Arab, yaitu
dari Suria dan Palestina ke Irak dan Persia.
Salah satu corak beragama yang
ada sebelum Islam datang selain tiga agama di atas adalah Hanifiyah[6],
yaitu sekelompok orang yang mencari agama Ibrahim yang murni yang tidak
terkontaminasi oleh nafsu penyembahan berhala-berhala, juga tidak menganut
agama Yahudi ataupun Kristen, tetapi mengakui keesaan Allah. Mereka
berpandangan bahwa agama yang benar di sisi Allah adalah Hanifiyah,
sebagai aktualisasi dari millah Ibrahim. Gerakan ini menyebar
luas ke berbagai penjuru Jazirah Arab khususnya di tiga wilayah Hijaz, yaitu
Yathrib, Taif, dan Mekah.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Secara sosiologis, bangsa Arab
sebelum Islam merupakan bangsa yang hidup secara kesukuan. Mereka hidup
berpindah-pindah. Hal ini disebabkan kondisi geografis yang tidak mendukung,
seperti model tanah yang tandus, berbatu, padang pasir luas serta beriklim
panas dan jarang turun hujan. Dalam keadaan semacam ini, wajar jika mereka
memiliki watak keras, suka berperang, merampok, berjudi, berzina, sehingga
terkesan jauh dari nilai-nilai moral-kemanusiaan. Demikian ini seakan-akan
menjadi tradisi masyarakat Arab sebelum Islam. Keadaan semacam inilah yang
meniscayakan zaman tersebut disebut zaman jahiliyyah.
Dari sisi perekonomian, unsur
penting yang menjadi andalan masyarakat Arab pra Islam adalah perdagangan di
samping bertani dan beternak. Mereka telah lama mengenal perdagangan bukan saja
dengan orang Arab, tetapi juga dengan non-Arab. Terbukti dengan adanya Mekkah
sebagai kota dagang internasional. Demikian ini karena letak daerah Hijaz,
khususnya Mekkah, sangatlah strategis, yakni penghubung jalur dagang antara Yaman
dengan Syiria. Di samping itu, daerah pesisir ini juga di lewati kapal-kapal
dagang Eropa dan Asia melalui laut merah.
Dunia politik Arab pra Islam
lebih didominasi oleh model kesukuan. Pimpinan tertinggi dari suku dinamakan Shaikh. Fungsi
pemerintahan Shaikh ini lebih banyak bersifat penengah
(arbitrasi) dari pada memberi komando. Shaikh tidak berwenang
memaksa, serta tidak dapat membebankan tugas-tugas atau mengenakan
hukuman-hukuman. Dari dominasi model kesukuan ini, terbentuknya Negara kesatuan
serta adanya tatanan politik yang benar agaknya sedikit terhalangi.
Sementara jika ditinjau dari sisi
keagamaan, masyarakat Arab pra Islam memeluk berbagai macam agama, di antaranya
Paganisme, Yahudi, Kristen dan Hanifiyah. Agama-agama ini merupakan
agama warisan dari pendahu-pendahulunya. Keadaan tersebut masing terus
berlangsung sampai datangnya Islam sebagai agama yang hak, serta penyempurna
dari agama-agama samawi sebelumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Din, Burhan, Jazirat-
Arab al-Islam, Beirut: t. p. 1989
Asy Syarkowi, Abdurrahman, Muhammad
Sang Pembebas, Yogyakarta: Mitra Pustaka 2003
R A A, Nicholson, A
Literary History of The Arabs, Cambridge : Cambridge University Perss
1997
Sa’id Romadhan al-Buthy,
Muhammad, Sirah Nabawiyah, Jakarta: Robbani Press cet 11 2006
Yatim Badri, Sejarah
Peradaban Islam , Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada 2008
[4] R A. Nicholson, A Literary History of The Arabs. Cambridge:
Cambridge University Press. 1997 hlm 49
[6] Dr. Muhammah Sa’id Ramadhan al-Buthy, Sirah Nabawiyah,
Jakarta: Robbani Press cet 11 2006 hlm 21.
.jpg)
